Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa
Hati yang TersesatHati yang Tersesat
Oleh: Webfic

Bab 7

Sayangnya, aku sudah terhanyut oleh cinta sejak saat itu. Nasihat Wina terasa bagai angin lalu yang berlalu tanpa jejak. Sekarang, kalau diingat kembali, kata-kata yang diteriakkan Wina penuh amarah saat itu masih terngiang di telingaku. "Zavier cuma pria sampah! Suatu saat nanti, kamu akan menyesal, Khaira!" Lalu, tada! Ucapannya benar-benar menjadi realitas. Namun, aku tahu Wina sama sekali tidak bermaksud jahat. Setelah itu, aku letakkan koper dan duduk di atas ranjang. "Wina, benar katamu. Zavier memang pria sampah." Pikiranku perlahan memutar ulang semua pengorbanan yang sudah kulakukan pada Zavier. Hatiku terasa dicabik-cabik, perasaan sedih ini sulit kubendung. Melihatku mendadak murung, Wina sempat tertegun. Dia segera turun dari ranjangnya dan berjalan menghampiriku. "Ada apa?" Tatapan matanya penuh kekhawatiran, membuatku merasa hangat. Emosi yang sudah lama kupendam berakhir pecah. Aku menceritakan semuanya pada Wina. "Berengsek. Bajingan kamu, Zavier!" maki Wina sambil menghapus air mata yang membasahi pipiku. Matanya menyalang penuh amarah. "Dia pikir dia hebat? Hidup dari harta uang kotor saja belagu! Ayo, kita labrak Zavier sekarang juga! Ini harus diselesaikan empat mata!" Aku buru-buru menahan Wina dan mulai terisak. "Wina, aku cuma ingin jauh-jauh dari Zavier. Aku nggak mau lagi ada urusan sama dia, sampai kapan pun." Wina memelukku erat, suaranya dipenuhi rasa sakit. "Tapi, aku nggak tega lihat kamu diperlakukan nggak adil begini." Aku menangis dalam diam. Jujur saja, bohong adanya kalau kubilang tidak sedih maupun tertekan. Segala hal tentang Zavier bukan sekadar mimpi buruk. Ini bukan ilusi yang mudah terlupakan. Semua ini kenyataan. Bertahun-tahun aku berjuang, membanting tulang demi dia, dan berakhir dianggap mainan saja. Setiap kali memikirkan semua itu, perasaan sedih dan tidak adil membanjiri hatiku. Air mata pun mengalir deras. Wina menepuk lembut punggungku. "Sudah, jangan menangis lagi. Khaira, kamu itu cantik luar biasa. Pria-pria di luar sana sudah antre berebut buat mendapatkan kamu. Zavier si bajingan miskin? Hah! Selain uang kotor, dia nggak punya apa-apa." Wina menepuk punggungku, berusaha menghiburku. "Kamu tahu apa yang paling menarik dari Zavier?" "Apa?" balasku, masih terisak. "Kejelekkannya! Mukanya yang mirip katak bisa-bisanya disukai angsa putih seperti kamu. Seharusnya, dia bersyukur punya kamu. Kalau nggak, siapa juga yang tahu kalau dia hidup di dunia ini?" Kata-kata Wina berhasil membuatku tertawa kecil. Padahal, Zavier pun tidak buruk rupa. Ya, paling tidak ... cukup menarik. "Menangis saja, keluarkan semua unek-unekmu." Wina menghela napas. "Untungnya, belum terlambat. Besok, kamu akan bangun dengan kecantikan yang tetap sempurna." "Wina, maaf soal waktu itu. Aku sampai debat sama kamu cuma gara-gara Zavier." Hatiku terasa pahit. Betapa bodohnya aku. Menyakiti teman yang tulus hanya demi bajingan sekelas Zavier. "Ya." Wina menepuk kepalaku. "Makanya, sekarang kamu dapat karmanya, 'kan?" Kami saling tatap, lalu tertawa kecil. Keesokan paginya, aku pergi ke kampus bersama Wina. Menjelang kelulusan, aku putuskan untuk fokus pada studi dan melupakan semua tentang Zavier si berengsek. Namun, seperti biasa, hidup senang bercanda. Takdir tidak pernah berjalan sesuai harapan. Baru saja aku menginjakkan kaki di bawah gedung asrama, Zavier sudah menungguku di sana. "Cih!" Wina mendengus sambil memutar bola matanya. "Katak bintilan lagi mau makan daging angsa, tuh. Ayo, Khaira. Kita lewat jalan lain saja." Wina menarik tanganku, dengan niat untuk menghindari Zavier. Aku pun mengangguk. Namun, sebelum kami sempat berbalik, Zavier mengejar dan menghalangi jalan kami. "Khaira." Wina mendesis. "Anjing baik nggak akan menghalangi jalan, Zavier. Lebih baik kamu pergi." Zavier merasa tidak terima dengan sindiran Wina, dia tersulut emosi. "Eh! Lancangnya! Kamu tahu aku ini siapa? Jaga mulutmu, atau aku ..." "Wina benar," potongku. Aku menatap lurus ke arahnya. "Nggak ada yang perlu diobrolkan lagi, Zavier. Minggir." "Khaira," panggilnya pelan, menyodorkan kantong berisi dimsum kepiting. Aku melirik makanan itu sekilas, lalu kembali menatapnya dingin. Melihatku terdiam, Zavier kembali menyodorkan sarapan itu padaku sembari tulus berucap, "Khaira, aku tahu betul kalau ini semua salahku. Maukah kamu maafkan aku?" Melihat Zavier penuh ketulusan, aku tidak bisa menahan diri untuk tampil dengan senyum sinis di hati. Aku dan Zavier adalah teman sekelas. Kami sama-sama mengambil Jurusan Keuangan. Namun, sekarang, kurasa Zavier salah pilih jurusan. Pria itu justru jauh lebih cocok di Jurusan Seni Pertunjukan. "Kalau aku nggak mau?" balasku dengan nada dingin. Ekspresi Zavier berubah. Dia sama sekali tidak mengira akan ditolak. Nada suaranya meninggi. "Khaira! Mau marah juga ada batasnya. Jangan pikir aku selalu sabar buat membujuk kamu!" "Hahaha." Wina, yang berdiri di sebelahnya, tertawa. Situasi begini serasa konyol, bagai sinetron di hadapannya. Zavier menatapnya tajam.' Sorot mataku terarah lurus pada Zavier. Sadar ditatap olehku, tatapannya sontak melembut. "Minta maaf itu soal merendahkan hati dan merenungi kesalahan. Bukan memaksa orang buat memaafkan kamu. Coba kamu? Itu namanya pemaksaan moral," sindir Wina tajam. "Kamu ..." Zavier menatap Wina dengan mata terbelalak. Aku tidak ingin Wina terlibat sedikit pun dalam masalah ini. Aku berencana menyelesaikannya sendiri, tetapi Wina maju membelaku. Dia menatap Zavier penuh keberanian. Zavier langsung mundur selangkah. "Kamu sendiri yang mau Khaira memaafkanmu, tapi kamu sama sekali nggak punya itikad baik. Kamu benar-benar pria berengsek yang bisanya cuma melakukan pemaksaan moral. Parahnya, masih mau mengelak? Khaira alergi kepiting, kamu malah bawakan dia sarapan dimsum kepiting?" Zavier refleks menoleh ke arah dimsum kepiting, lalu beralih menoleh ke arahku. Zavier terbelalak hingga terdiam sejenak, lalu perlahan bertanya, "Kenapa kamu nggak pernah kasih tahu kalau kamu alergi kepiting?" Aku tertawa dingin. "Bukannya kamu yang nggak pernah peduli padaku?" Teman-teman sekelas mulai berkumpul, mengerumuni kami. Zavier tampak canggung, berhadapan dengan begitu banyak jemari yang menunjuknya dari segala arah. Saat itu juga, Zavier seperti teringat sesuatu, lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil dari sakunya. "Khaira, lihat. Ini kalung Tiffany & Co yang kubeli khusus untukmu. Cantik, 'kan?" Aku dan Wina mengernyit. "Khaira, aku benar-benar minta maaf atas semua yang terjadi sebelumnya. Jangan marah lagi, ya. Maafkan aku, Khaira. Oke?" ucap Zavier, berpura-pura tulus, seolah-olah sangat bersalah. Teman-teman yang tidak mengerti situasinya mulai bergosip. "Hei, lihat-lihat. Tiffany & Co mahal nggak, sih." "Bukannya Zavier bergantung terus sama Khaira? Dapat uang dari mana buat beli kalung Tiffany & Co untuk Khaira?" "Halah, lagaknya seperti nggak tahu saja. Pasti Khaira yang paksa Zavier membelikan itu. Mana ada yang gratis di dunia ini." Zavier jelas dengar desas-desus itu, tetapi dia masih berdiri tegap, seperti bangga dan puas sambil memamerkan kalung itu. Sementara itu, aku hanya diam menatapnya. Ya, Zavier memang selalu begini, seorang pelaku yang berpura-pura menjadi korban. Aku tahu persis, Zavier ingin memanfaatkan rumor ini untuk memaksaku berkompromi. Aku sungguh sudah kehabisan kata-kata kasar untuk memakinya. Api emosi perlahan membakar hatiku. "Khaira, kalung ini adalah bentuk ketulusanku. Terimalah," kata Zavier, mencoba memanfaatkan opini publik untuk menekanku lagi. "Maaf, ya. Putri keluarga Zuriawan nggak level sama kalung murahan."

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.