Bab 6
Kala itu, Zavier memasang ekspresi serius sambil mengomel, "Ah, belanjaanmu cuma buang-buang duit. Nggak usah pergi, hemat sedikit. Beberapa hari lagi, aku mau beli sepatu baru."
Hatiku serasa disiram cairan asam, pahit dan kecut. Bagai terjebak dalam adegan komedi yang menyedihkan.
Sepertinya, Zavier juga melihatku. Setelah meragu sejenak, dia langsung berjalan ke arahku.
Kini, wujud Zavier di mataku terlalu mengganggu. Aku benar-benar enggan menghiraukannya. Tanpa pikir panjang, aku berbalik menuju toko reparasi jam di sebelah.
Aku mengeluarkan jam tangan dari tas dan menyerahkannya pada pemilik toko. "Halo, tolong perbaiki jam ini."
Pegawai toko menerimanya, lalu memeriksa dengan saksama. Tatapannya segera berubah hormat. "Jam ini produksi lama. Kami perlu mencari suku cadang khusus untuk memperbaikinya. Mohon tunggu sebentar di sini."
Tidak kusangka, memperbaiki jam tangan ini butuh proses panjang. Mau tidak mau, aku duduk patuh dan menunggu. Belum sempat aku bosan, pemilik toko telah menyuguhkan makanan ringan dan buah-buahan.
"Nona Khaira, silakan dinikmati hidangannya."
Baru saja aku hendak mengucapkan terima kasih, suara Zavier tiba-tiba menyela. "Khaira."
Zavier terlihat marah sekaligus kebingungan. Aku melirik sekilas, kemudian pura-pura tidak peduli.
Zavier malah terkejut dengan reaksiku. Dia segera mendekat dan menarik kasar pergelangan tanganku. "Toko ini cuma terima orang-orang dari kalangan atas. Kenapa kamu bisa di sini?"
Aku menatapnya tajam nan sinis. "Aku di sini atau di mana pun, perlukah lapor ke kamu?"
"Kamu ..." Zavier terlihat kewalahan. Tatapan aneh yang dilayangkan pelayan toko membuat wajahnya makin muram. Dia pun mengecilkan suaranya saat bertanya, "Kamu bisa masuk ke sini karena pemilik jam itu, 'kan?"
Aku mengangkat alis. Oh, ternyata Zavier masih cukup pintar menebak.
Melihat reaksiku diam saja, Zavier menganggap tebakannya benar. "Siapa pria itu? Khaira, kamu pikir semua orang di kalangan atas gampang ditipu? Kusarankan, lebih baik kamu cepat-cepat bangun dari mimpi bodohmu itu."
Aku menghela napas, malas berdebat dengan Zavier. Toh, aku tidak punya kewajiban menjelaskan apa pun padanya.
Pegawai, yang merasa situasi mulai tidak nyaman, segera mendekat dan bertanya. "Nona, apakah pria ini teman Anda?"
Aku menggeleng. "Bukan, aku nggak kenal dia."
Zavier melotot tidak percaya. "Khaira! Bicara apa kamu?"
Tanpa menunggu penjelasan lanjutan, pegawai itu mengusir Zavier dengan sopan. Kebetulan, di toko sebelah, Sela baru saja keluar usai mencoba pakaian. Menyadari Zavier tidak ada di sana, Sela mulai mencari keberadaannya.
Meskipun enggan, Zavier keluar dari sana dengan wajah kesal.
Melalui jendela kaca, aku bisa melihat Zavier keluar dengan wajah kesal. Namun, dia segera menghibur Sela dengan lembut, menunduk, dan berbicara sesuatu kepada Sela.
"Nona Khaira." Pemilik toko datang membawa selembar nota. "Ini tanda terima. Mohon simpan baik-baik. Jamnya baru bisa diambil tiga hari lagi."
Aku menerima nota itu dan bergegas merogoh ponselku untuk membayar. "Berapa biayanya?"
Pegawai itu terlihat terkejut, lalu tersenyum sabar. "Biaya perbaikan akan dibayar setelah selesai. Saat ini, tidak perlu membayar apa pun."
Aku mengernyit bingung. Sistem seperti ini terdengar asing. Namun, sorot mata meyakinkan dari pegawai itu membuatku tidak berani membantah.
Setelah berterima kasih, aku bangkit dan pergi.
Di luar, Zavier dan Sela sudah tidak terlihat lagi. Sepertinya, mereka sudah pergi lebih dulu.
Aku menghela napas panjang.
Sial sekali hari ini. Bisa-bisanya aku bertemu Zavier.
Kota Senorita memang terkenal dengan kemewahan yang mencolok. Sambil melangkah di koridor pusat perbelanjaan, mataku tertuju pada deretan tas dan pakaian puluhan juta rupiah. Dadaku mendadak sesak.
Selama bertahun-tahun, aku menutup diri dari segala kenikmatan dunia demi mengejar uang. Parahnya, aku tidak pernah membayangkan hidupku akan berakhir seperti ini.
"Khaira," seru seseorang dari belakang. Ketika menoleh, aku mendapati Zavier berlari cepat ke arahku.
Belum sempat bersuara, Zavier sudah lebih dulu menarik dan menyeretku ke toilet. Ketika tersadar kembali, itu adalah toilet pria. Aku panik sambil berusaha melepaskan diri, tetapi kekuatan pria itu jauh di atasku. Aku berakhir di bilik toilet bersamanya.
"Apa yang kamu lakukan?" bentakku penuh amarah.
Mata Zavier tampak kemerahan, dipenuhi rasa sedih dan sakit hati. "Kamu mengkhianatiku?"
Aku tertawa sinis. "Aku mengkhianatimu? Waktu kamu lagi bermesraan, menjalani hubungan nggak jelas sama Sela, aku masih berjuang mati-matian cari uang buat menghidupi kamu."
"Aku..." Zavier terdiam sejenak, lalu dengan suara pelan dan terbata-bata, dia berkata, "Aku hanya mencari alasan untuk membuatnya pergi lebih dulu. Sekarang, kita berdua. Jadi, mari kita bicarakan ini baik-baik."
"Bicara? Di toilet pria? Begitu caramu?" Suaraku bernada dingin, amarah di hatiku sama sekali belum surut.
"Kamu selingkuh dariku?" Zavier mengabaikan setiap pertanyaanku. Sikapnya memanas dan agresif. "Kamu sudah menggoda pria kaya, sampai tega meninggalkan aku?"
"Zavier!" Aku mendengus marah. "Kamu sendiri yang kotor, lalu menuduh orang lain kotor. Aku meninggalkanmu karena kamu membuatku merasa ... muak."
"Aku nggak percaya." Zavier tidak menyerah, bahkan mulai merobek pakaianku. "Buktikan padaku! Apakah dia sudah menyentuhmu?"
Bahuku terbuka penuh, udara dingin membuatku merinding dibarengi rasa takut. Amarahku pun memuncak.
Aku berjuang keras, tetapi tubuhku kalah kuat. Ketika aku kebingungan, tanganku meraba sesuatu yang keras.
Tanpa pikir panjang, aku meraihnya dan menghantam kepala Zavier.
Aku terengah-engah, terperangkap olehnya, tetapi pukulanku cukup untuk menyadarkan Zavier. Dia melirik benda di tanganku, sebuah asbak yang kujadikan senjata. Perlahan-lahan, akal sehatnya kembali.
"Maaf," gumamnya lirih. Matanya penuh rasa sakit yang membuatku ingin makin menjauh. "Khaira ... aku hanya terdesak."
Plak! Tanganku melayang, menampar keras wajahnya.
Zavier memegangi pipinya. Setelah itu, aku menarik napas dalam-dalam, merapikan pakaian, lalu membuka pintu dan pergi tanpa menoleh kembali.
Zavier!
Pria yang dulu selalu menghiasi pikiranku, yang setiap kali kuingat hingga membuatku dipenuhi cinta, kini hanya meninggalkan rasa sesak.
Ini bagaikan menelan lalat hidup-hidup. Tidak bisa dikeluarkan, tetapi perut merasa mual dan bergolak tanpa henti.
Setelah keluar dari pusat perbelanjaan, aku menghela napas berat. Aku bertekad, mulai hari ini, aku akan memusatkan seluruh perhatianku pada diriku sendiri.
Aku mengambil barang-barangku dari hotel dan pindah kembali ke asrama mahasiswa.
Sama seperti Zavier, aku juga seorang mahasiswa di Universitas Senorita. Bedanya, selama bertahun-tahun ini, aku lebih banyak menghabiskan energi untuk bekerja dan mencari uang demi Zavier.
Untungnya, pelajaranku tidak tertinggal.
Dengan hati-hati, aku membuka pintu asrama sambil membawa semua barangku. Asrama di Universitas Senorita berisi dua orang per kamar. Aku pikir, teman sekamarku, Wina, pasti sudah tidur.
Namun, ketika menutup pintu dan berjalan pelan ke sisi tempat tidur, aku mendapati tatapan penuh keluhan dari seberang.
"Loh, loh? Juliet-ku sudah pulang, nih?" Wina membuka tirai ranjangnya dengan perlahan, lalu duduk dengan kedua tangan tersilang di depan dada.
Aku terdiam sejenak sambil memegang koper. Tiba-tiba, kenangan ketika aku memutuskan pindah dari asrama demi Zavier kembali terlintas. Saat itu, Wina mati-matian mencegahku hingga marah besar padaku.