Bab 5
"Kenapa! Kenapa semua orang tega padaku!" Kubiarkan hujan deras membasahi tubuhku, meluapkan seluruh emosi yang memuncak bersama deru hujan yang makin deras. Aku berniat membebaskan diriku, meskipun hanya sekali ini.
Besok, aku harus menjadi Khaira yang baru.
Setelah puas menangis, tubuhku basah kuyup. Pening mulai menyerang, membuatku lemah.
Aku mengusap air mata yang tercampur dengan air hujan. Kuambil koper dan bersiap mencari tempat tinggal sementara.
Namun, saat berbalik, aku terkejut. Seorang pria yang tidak asing berdiri di belakangku, memegang payung dan menatapku dengan tatapan dingin.
Yudha.
Lagi-lagi, aku memperlihatkan sisi terburukku di depannya. Rasa malu pun menyelimutiku. Aku menunduk, menarik koper, dan berusaha menghindar.
Andai Yudha peka, dia pasti pura-pura tidak mengenaliku.
Sayangnya, pria itu tidak peka.
Saat aku melewatinya, dia tiba-tiba menarik tanganku.
"Kamu benar-benar bodoh," sindir Yudha sambil menggertakkan gigi. Aku bingung, apa yang membuatnya marah? "Demi seorang pria, kamu tega hati membuat dirimu sehancur ini?"
"Apa urusannya denganmu?" balasku, berusaha keras menyembunyikan kelemahanku. Aku melirik tangan yang masih digenggam Yudha, dengan nada dingin berkata, "Kalau merasa aku memalukan, mestinya pura-pura nggak kenal."
Yudha menarikku lebih dekat dan berbagi payung dengannya.
Ruang di bawah payung itu sempit. Gerakannya yang tiba-tiba hampir membuatku jatuh ke pelukannya, tetapi Yudha segera menahanku. Jarak kami begitu dekat hingga aku bisa merasakan napas hangatnya.
Aku refleks berniat mundur.
"Jangan gerak," ancamnya dingin. "Kamu sadar lagi demam nggak, sih?"
Dia menyentuh dahiku, merasakan suhu panas yang menjalar di tubuhku. Sentuhannya membuatku sedikit lebih nyaman.
"Kenapa panas sekali?" Yudha mengerutkan kening. "Matahari saja kalah dari panasmu! Kamu kerja keras demi anak keluarga Januarta yang nggak peduli sama kamu. Sepadankah?"
Kecaman itu terasa seperti batu besar yang jatuh menimpa dadaku. Akan tetapi, aku masih berusaha bersikap tegar.
Pusing di kepalaku makin parah. Tubuhku makin lemas. Aku harus segera mencari tempat bersih untuk beristirahat.
Aku benar-benar tidak mampu lagi berdebat, hanya terus berusaha keras untuk melepaskan diri dari genggaman Yudha.
"Ayo, kuantar ke rumah sakit." Yudha, tanpa menunggu jawabanku, menarik tanganku. Namun, baru beberapa langkah, penglihatanku menggelap. Tubuhku limbung hingga aku kehilangan kesadaran.
Saat terbangun, tenggorokanku terasa kering. Aku berusaha bangun, tetapi tubuhku lemah.
Sebuah sendok dengan cairan manis menyentuh bibirku, meluncur lembut ke mulutku.
Aku perlahan membuka mata secara paksa. Tidak disangka, Yudha hadir di hadapanku.
Dia masih mengenakan setelan jas rapi, duduk di tepi tempat tidur sembari memegang segelas air untuk memberiku minum.
Aku terkejut. Waktu sudah menunjukkan petang. Hari sudah berganti.
"Ternyata aku pingsan seharian, ya," ucapku pelan.
Melihatku siuman, Yudha meletakkan gelas dan mengambil jam tangan itu.
"Ini, kamu yang tinggalkan terakhir kali." Suaraku masih agak serak. "Aku sekalian simpankan. Nih, ambil," lanjutku.
Yudha melirik jamnya sesaat, lalu mengernyitkan dahi. "Rusak?"
"Nggak, kok," ujarku sambil berusaha duduk, tetapi gagal. "Jangan-jangan kamu mau memalak aku, ya?"
Yudha tertawa kecil. "Aku jemput kamu yang hampir mati di tepi sungai dan dibawa ke rumah sakit. Sekarang, kamu menuduhku mau memalak? Serius?"
"Lagi pula, kamu saja miskin. Apa yang bisa kuambil, coba?" Yudha terlihat kelabakan, menatap tidak percaya atas pertanyaan konyolku.
Aku terbatuk pelan, menghindari tatapan Yudha. "Lalu, kenapa jamnya?"
Yudha hanya diam dan menyerahkan jam tangan kepadaku.
Setelah diamati, jarum detik terhenti. Jam itu mati di angka sepuluh.
Kemarin, aku memang sedang basah kuyup dan berkeliaran di tepi sungai sekitar pukul 10 pagi. Sementara itu, jam miliknya memang selalu kubawa. Jangan-jangan karena itu?
Aku mengernyitkan dahi. "Jam semahal ini, malah nggak tahan air?"
Yudha menatapku tajam. Sorot matanya terlihat seperti sedang mencibir dan menuduhku.
"Hmph. Kalau dari awal tahu nggak tahan air, harusnya aku biarkan saja ketinggalan di rumah sakit kemarin. Toh, itu juga barangmu," keluhku penuh sesal.
"Nona Khaira." Dokter datang dari luar dengan sikap penuh penghormatan. "Bagaimana rasanya sekarang?"
Aku langsung tersadar. Alasan di balik sikap hormat itu sudah jelas karena kehadiran Yudha. Aku berusaha bangkit dan tersenyum pada dokter. "Sudah jauh lebih baik."
"Selanjutnya, kita perlu melakukan pemeriksaan lagi. Kalau semua hasil aman, Nona bisa langsung keluar dari rumah sakit. Jangan lupa, harus banyak minum air, ya."
Aku mengangguk.
"Lalu, untuk biaya pemeriksaannya ..." ujar dokter dengan raut canggung.
Aku ikut merasa canggung.
Uang yang kuhasilkan selama ini sudah habis untuk Zavier. Tabunganku sudah kosong. Kalau membayar biaya pengobatan untuk malam ini, aku mungkin harus tidur di jalanan.
Saat hendak meminta pembayaran cicilan, Yudha mengulurkan tangan dan berkata, "Berikan padaku."
Tuh! Lagi-lagi, aku harus berutang pada Yudha.
"Sebagai rasa terima kasihku, aku akan perbaiki jam itu," tawarku setelah dokter pergi.
"Oke," jawab Yudha sambil mengambil barangnya. "Nanti, aku kirim alamat tempat reparasi jam-nya. Aku masih ada urusan, mau pergi dulu."
Usai berkata demikian, Yudha berbalik dan keluar dari bangsal.
Aku menatap punggungnya dengan hati yang makin campur aduk.
Aku benar-benar tidak mengerti. Setiap kali aku terjatuh, mengapa Yudha selalu ada di sana?
Aku sama sekali tidak bisa memecahkan teka-teki ini.
Satu-satunya alasan yang terlintas di benakku adalah ... Yudha pembawa sial untukku.
Setelah keluar rumah sakit, aku memeriksa saldo di rekening. Jumlahnya tidak banyak, tetapi aku putuskan untuk memperbaiki jam Yudha dulu.
Selesai memperbaiki jam, aku tinggal mencari pekerjaan baru lainnya. Aku tidak mau berutang lebih lama padanya.
Tempat reparasi jam terletak di pusat perbelanjaan mewah yang ada di Kota Senorita. Berdiri di luar gedung, aku menghela napas panjang, ragu-ragu uangku akan cukup atau tidak.
Sesuai alamat dari Yudha, aku naik lift ke lantai teratas. Lantai itu dipenuhi toko-toko barang mewah, tempat yang tidak berani aku masuki pada hari-hari biasanya.
Begitu pintu lift terbuka, tatapanku langsung menangkap dua sosok yang sangat kukenal.
Mereka adalah Zavier dan Sela.
Sela sedang mencoba-coba pakaian di sebuah butik mahal. Sementara itu, Zavier berdiri di sampingnya, memegang tas belanja sambil tersenyum manis, sesekali memberi pendapat.
Pikiran dan kenangan tentang Zavier langsung menyerbuku. Kenangan waktu aku pernah meminta Zavier menemaniku berbelanja di sore hari yang begitu langka untuk dijumpai.