Bab 4
"Kalian mau apa, sih?" bentak Pak Sopir, sontak menyadarkanku dari lamunan. Aku pun beralih menatap tajam ke arah Zavier.
"Pak, kami batal pergi," kata Zavier sambil melambaikan tangan pada sopir, lalu bermurah hati mengeluarkan uang 400 ribu rupiah dan memintanya untuk pergi.
"Apa maumu, hah?" Aku menghela napasku panjang. "Tuan Muda Zavier, permainan ini sudah berakhir."
"Khaira, aku ..." Zavier mengernyitkan dahi, matanya agak merah. Setelah meragu, dia membuka mulut dengan suara pelan. "Maafkan aku. Nggak seharusnya kupermainkan kamu begini. Awalnya, aku memang merasa ini menyenangkan, tapi sekarang, aku tahu kalau itu salah. Aku minta maaf, Khaira."
Aku menatap wajah Zavier dengan cermat, mencoba menyelidiki seberapa banyak kebenaran dan kebohongan dalam kata-katanya.
"Omonganku ini apa adanya," lanjutnya, seolah-olah meyakinkanku.
Zavier kira, aku masih marah. Jadi, dia mulai bicara dengan tulus. "Jangan pergi, ya? Besok, aku temani ke mal. Nanti, kubelikan hadiah sebagai permintaan maaf. Ingat sama tas yang kamu suka waktu itu, 'kan?"
Aku mengingatnya. Aku memang sempat jatuh hati pada sebuah tas dengan harga yang cukup mahal, yakni dua juta rupiah, saat aku ke mal waktu itu. Walaupun sangat menyukainya, aku putuskan untuk menahan diri dan hanya melihatnya dua kali saja.
Aku tidak pernah bilang apa-apa padanya tentang itu.
Ternyata, Zavier tahu apa yang aku sukai, sekalipun aku tidak bilang. Akan tetapi, dia hanya menerima segala kebaikanku tanpa pernah berusaha menyenangkanku selama ini.
Dalam sekejap, aku bisa merasakan Zavier menyesali perbuatannya.
"Kamu benar-benar mau kumaafkan?" tanyaku, menatap lurus ke matanya.
Zavier tersenyum lega. Tampaknya, dia kira, aku sudah berubah pikiran. "Pastilah, Khaira. Kamu sudah lupa, ya, betapa bahagianya kita waktu bersama? Semua kenangan itu nggak sepadan buat putus karena hal sepele begini."
Ouch!
Hal sepele, katanya. Bertahun-tahun Zavier mempermainkanku untuk dia sebut sebagai hal sepele?
"Oke, kita bisa batal putus."
Aku melipat kedua tangan dan menatapnya tajam. "Tapi, aku nggak terima kalau kamu masih suka sama orang lain. Kalau kamu putus dengan Sela, hubungan kita bisa kembali seperti semula."
"Nggak bisa!" teriak Zavier, nyaris langsung menolak tanpa pikir panjang.
Aku tersenyum sinis. Mendapati reaksiku, wajah Zavier agak menunjukkan ketidaknyamanan, tetapi dia bersikeras. "Aku sama Sela nggak ada apa-apa, jangan salah paham."
"Salah paham?" Aku melihat Zavier dengan tatapan dingin. "Apa yang aku lihat dan dengar pakai telingaku sendiri, di mana letak salah pahamnya?"
Aku merasa tidak perlu buang waktu lebih banyak untuk berdebat. Tanpa bicara lagi, kurebut koper dari tangannya dan menghentikan taksi yang lewat.
Zavier, yang tampaknya ingin memainkan trik lama, mencoba mendekat lagi, tetapi aku menarik cepat pintu mobil dan menghalau gerak-geriknya dengan menutup pintu lebih dulu. Mataku menatap tajam, penuh ancaman. "Zavier, drama ini sudah selesai."
"Khaira!" teriaknya. Mendapatiku bersikeras pergi, dia mengancam, "Kini, kamu tahu siapa aku. Pikirkan baik-baik. Kalau kamu lewatkan peluang ini, kamu nggak akan pernah dapat kesempatan seperti ini lagi!"
Aku menatapnya datar. "Selama kamu kembali padaku sekarang, aku bisa pastikan, kamu nggak akan kurang makan dan pakaian di masa depan. Kamu nggak perlu lagi kerja keras, bisa hidup nyaman, semua serba mewah. Investasi ini pasti menguntungkan."
Melihat kepuasan dan keyakinan di mata Zavier, aku tertawa sinis seraya berkata, "Aku nggak tertarik. Lepaskan tanganmu. Kalau kamu terus saja menghalangiku, aku akan lapor ke polisi dan tuduh kamu mengganggu."
Zavier menatapku keheranan, seolah-olah tidak mengerti.
"Kalau kamu nggak ingin namamu diberitakan sebagai 'Putra Pewaris Takhta Keluarga Januarta yang Mengganggu Gadis Muda', lebih baik minggir sekarang juga." Suaraku begitu yakin, tekadku pun sudah bulat.
Mungkin tatapanku terlihat begitu yakin, Zavier sempat kaget dan melepas tangannya tanpa sadar. Tanpa ragu sedikit pun, aku masuk ke taksi.
"Ayo jalan, Pak," kataku tegas.
Taksi mulai bergerak perlahan, makin menjauh. Lewat kaca spion, aku bisa lihat Zavier bergerak dua langkah mengikuti taksi, kemudian berhenti untuk berdiri di tempat dan menatapku.
Aku menghela napas dalam hati, mataku menatap pemandangan malam di luar jendela. Hatiku terasa campur aduk.
Aku benar-benar mencintai Zavier. Namun, dia malah mempermainkanku. Sedih? Bohong kalau kubilang tidak. Namun, aku tahu. Apabila drama tidak kunjung kuakhiri, aku akan terus terjebak di kekacauan ini.
Perbedaan status sekaligus latar belakang keluarga antara aku dan Zavier mungkin bukan masalah terbesar kami. Namun, perbedaan sudut pandang dan pola pikir telah menciptakan jurang yang tidak bisa kami jembatani.
Meskipun begitu, ada rasa sesak yang sulit kujelaskan, sungguh mengimpit dada dan menolak pergi.
Taksi pun melaju melintasi separuh kota, dengan setiap sudut yang terasa akrab di mataku. Bertahun-tahun demi Zavier, aku telah menjelajahi nyaris semua penjuru Kota Senorita. Jalanan ini serasa menyimpan jejak langkah serta kenangan yang tidak terhapuskan.
Ketika sebuah mercusuar hadir di kejauhan, gelombang emosi seketika menyeruak. Aku tidak kuat lagi menahannya. "Pak, tolong berhenti," pintaku lirih, tercekat.
Di pusat Kota Senorita, mengalir sebuah sungai yang membelah kota. Di kedua sisi, terhampar kawasan paling ramai dan hidup. Dulu, setiap kali aku melintas di sini, langkahku selalu buru-buru. Namun, malam ini, aku memilih untuk melambat dan menikmati pemandangan yang selama ini terlewat.
Angin di tepi sungai berembus cukup kencang, tetapi dinginnya serasa tidak mampu menembus tubuhku. Aku terus melangkah perlahan, menyusuri tepiannya dengan pikiran yang melayang-layang.
Di tengah sungai, sebuah mercusuar berdiri kokoh, memancarkan cahaya yang menerobos kegelapan. Tatapanku tertuju pada mercusuar itu hingga kenangan tentang Zavier pun berputar di benakku. Sambil mengamati mercusuar itu, Zavier berjanji padaku, dia tidak akan menikah dengan siapa pun selain aku. Dia juga berkata, dia akan menyewa mercusuar itu kelak saat dia sukses dan kaya, membuat lampunya menyala hanya untukku sebagai bukti keseriusan cintanya.
Dia berjanji akan melamarku di sana. Setelah itu, dia berjanji akan menjadi mercusuarku, mengusir kegelapan seraya menerangi hidupku.
Kenangan itu berputar bagai cahaya lampu sorot yang menembus kabut malam, menerangi luka-luka lama yang masih membekas.
Tanpa kusadari, air mata pun mulai mengalir. Tangisku dimulai dari isakan pelan, lalu menjadi isak tangis yang tidak lagi bisa kutahan.
Aku telah memberikan segalanya untuk Zavier. Cintaku, kepercayaanku, dan hatiku. Bagaimana mungkin dia tega mempermainkanku seperti ini? Menjadikanku lelucon bertahun-tahun?
Suara ponsel sontak memecah keheningan. Aku menatapnya sejenak. Nama Zavier tampil di layar, tampak mengirimkan sebuah pesan.
"Khaira, aku sudah belikan tas yang kamu mau."
"Masih ada beberapa hadiah lain, sebagai permintaan maaf."
"Aku sadar, semua ini salahku."
"Maafkan aku."
Aku menatap pesan itu sebentar, menyisakan muak dalam hatiku. Betapa hipokritnya dia.
Ponselku berdering lagi, nama Zavier tampil di layar. Hatiku gelisah, tetapi aku memilih untuk menekan tombol mati tanpa ragu. Suasana di sekitarku kembali hening seraya aku melangkah perlahan di sepanjang tepi sungai. Namun, di balik langkahku, aku hanya berputar-putar di sekitar mercusuar itu.
Isi hati dan pikiranku seperti terperangkap dalam kekacauan yang tidak kunjung reda. Aku hampir tidak menyadari ketika rintik hujan mulai jatuh dari langit. Ketika aku sadar, hujan sudah turun deras hingga membasahi segalanya.
Hujan ini datang tanpa aba-aba.
Hujan yang membasahi tubuhku serasa mencuci bersih amarah yang mengendap di hatiku, meninggalkan rasa sejuk dan ketenangan yang perlahan meresap.
Aku mengangkat wajah, menatap langit yang gelap dengan rasa putus asa. Tanpa sadar, air mata pun mengalir deras.