Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa
Hati yang TersesatHati yang Tersesat
Oleh: Webfic

Bab 3

Yudha tertawa sinis, nada bicaranya terdengar mengejek. "Kalau kamu tertarik sama orang begitu, berarti kamu benar-benar nggak punya otak. Kamu terlalu lama berkeliaran di luar, ya? Bisa-bisanya malah bergaul dengan pria nggak jelas begitu dan dipermainkan?" Bentakan itu langsung meledakkan pikiranku hingga terasa berdengung. Yudha ... apakah selama ini dia sudah tahu tentang hubunganku dengan Zavier? Kalau dipikir-pikir, memang ada benarnya. Yudha dan Zavier masuk dalam satu lingkaran yang sama. Pantas saja dia tahu identitas asli Zavier. Jadi, selama ini, dia hanya menonton dengan tatapan dingin hingga sekian tahun berlalu? Entah mengapa, berhadapan dengan mata elang nan bengis milik pria itu justru membuat hatiku terasa lebih dingin dari sebelumnya. Melihat keadaanku yang terpuruk seperti ini, Yudha pasti senang, 'kan? Di matanya, Yudha pasti melihatku sama dengan Ibu. Seorang wanita yang materialistis dan ingin mengubah nasib dengan menjilat pria kaya. Dia pasti mengira aku tahu identitas Zavier sejak awal dan menganggapku sebagai penjilat yang terus menempel. Aku sungguh marah. Emosiku memuncak hingga tubuhku gemetar hebat. Namun, aku sadar, aku tidak berhak menyalahkannya. Yudha bukan siapa-siapaku. Dia tidak punya hak untuk menasihatiku. "Mau aku bodoh, nggak punya otak sekalipun, itu urusanku. Pak Yudha nggak ada hubungannya denganku." Suaraku serak. Aku menjeda ucapanku sesaat, mataku mulai kemerahan. "Kalau Pak Yudha kemari hanya untuk mentertawakanku ..." Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Yudha tiba-tiba melangkah ke arahku dan mendekatkan tubuhnya. Aku refleks ingin menghindar, tetapi dia menahan pergelangan tanganku. "Aku nggak punya waktu buat mentertawakanmu," ucapnya datar. "Tapi, coba lihat keadaanmu sekarang? Memalukan. Aku sebagai Kakak saja ikut malu. Lebih baik kamu pulang. Jadi, nggak akan diperlakukan macam badut sama orang lain." Aku segera melepaskan genggamannya. Suaraku bergetar. "Mau kisahku seperti apa saja, memangnya ada hubungan sama Bapak?" Tatapan Yudha makin dingin, menatap telapak tangan yang kosong, hingga balik bertanya, "Masih mau mengeyel juga?" Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Kuku yang menancap di telapak tanganku sudah meninggalkan bekas. "Aku lagi nggak mau berdebat denganmu. Ibuku memang menikah dengan keluarga Zuriawan, tapi aku nggak ada hubungan apa-apa sama mereka, termasuk Bapak. Jadi, Bapak juga nggak berhak ikut campur urusanku." "Aku mau istirahat. Mohon Pak Yudha pulang dulu. Aku akan transfer buat biaya pengobatannya nanti." "Oke," jawab Yudha, netranya tidak lepas dariku. Tanpa basa-basi, dia langsung mengambil ponselku, memindai wajahku untuk membuka kunci, lalu membuka WhatsApp untuk menambahkan kontaknya sendiri. Aku mengernyit, mencoba untuk merebut ponselku. "Apa yang lagi kamu lakukan?" "Kamu mau bayar utang, 'kan? Tapi, kamu saja nggak punya nomorku, mau bayar lewat mana? Lagi pula, tagihannya juga belum keluar," balasnya santai. Aku terdiam. Mau membalas pun rasanya percuma. Aku hanya menarik kembali ponselku dengan kikuk. "Kalau tagihannya sudah keluar, biar aku transfer." Tanpa jawaban, Yudha langsung berbalik dan keluar dari bangsal pasien. Setelah dia pergi, aku mencoba duduk. Sorot mataku langsung tertuju ke arah jam tangan Patek Philippe di meja samping tempat tidur. Tidak perlu menebak siapa pemiliknya. Jelas itu milik Yudha. 'Dasar Yudha. Umur sudah sebanyak ini, masih saja ceroboh.' Aku mengirimkan pesan WhatsApp, memintanya untuk mengambil kembali jam tangan, tetapi dia tidak membalas. Aku terpaksa harus menyimpannya dulu. Jam tangan ini terlalu berharga. Kalau sampai hilang, jual diri sekalipun tidak cukup menggantikannya. Meskipun tubuhku belum pulih total, penyakit semacam ini bukan masalah besar. Saat siang tiba, aku langsung keluar dari rumah sakit. Aku mentransfer uang ke Yudha sesuai tagihan. Setelah itu, aku langsung pulang ke rumah. Di ruang tamu, Zavier terlihat sedang bermain gim. Begitu mendapatiku masuk, wajahnya seketika masam. "Ke mana kamu semalam? Memangnya perlu semalaman bekerja sampai nggak pulang ke rumah?" Melihat tatapan kesalnya, aku tidak merasa bersalah, justru merasa konyol. Zavier yang bilang, cinta pertamanya adalah sang pacar. Jadi, buat apa dia masih peduli denganku? Aku muak. Aku tidak mau bersamanya lagi sedetik pun. "Ini bukan urusan kamu. Kita putus," ucapku dingin, singkat, dan jelas. Zavier tertegun mendengarnya. Awalnya, kupikir dia akan senang hati setuju. Namun, aku tidak menyangka bahwa dia justru mencengkeram tanganku dan balik bertanya, "Kenapa?" "Pasti karena kamu nggak suka aku miskin, makanya kamu minta putus, 'kan?" Dia bersandar pada dagunya dan perlahan bersuara, "Khaira, aku nggak menyangka kamu begini. Awalnya, aku masih mengira kamu ..." Aku langsung menepis tangannya dan menampar keras wajahnya. "Kamu pikir aku akan terus dibodohi dan dipermainkan sama kamu, Tuan Muda Zavier?" Zavier membelalak tidak percaya. Aku mengambil tumpukan uang yang dia beri kemarin, lalu kulemparkan ke wajahnya. Lembaran uang kertas berserakan di mana-mana. Aku menatapnya tajam. "Kenapa sekarang nggak mau putus? Bukannya katamu semalam, aku cuma mainan buatmu? Kalau aku nggak layak buatmu?" Wajah Zavier pucat. Matanya tertuju ke arah uang kotor bercampur noda darah dan air. "Pelayan kemarin ... itu kamu?" Aku tersenyum pahit. "Benar. Terima kasih atas kemurahan hatimu, Tuan Muda. Tip untuk teh susu sudah cukup untuk gaji sebulan kerjaku." Zavier mengepalkan tinjunya erat-erat, mendadak terdiam. Aku sudah muak bicara dengannya. Setelah menaruh tas, aku berbalik ke kamar untuk merapikan barang-barang. Rumah ini memang rumah yang kusewa. Namun, untuk berdiam lebih dari sedetik di sini saja, sungguh membuatku mual dan sumpek. Sebenarnya, barang-barangku tidak banyak. Semua cukup dimuat dalam dua koper tanpa ada yang tersisa. Saat bersiap keluar, mataku menangkap Zavier sedang memegang Patek Philippe yang ditinggalkan Yudha. Mendengar suara grasak-grusuk dariku, Zavier melangkah mendekat sambil menggenggam jam tangan itu. "Jam tangan siapa ini? Kenapa barang semahal ini bisa ada di tanganmu? Siapa yang kasih padamu?" sergahnya. Aku menatapnya. Zavier benar-benar sudah gila. "Apa hakmu untuk mempertanyakanku?" balasku tajam. Matanya tampak menyalang merah. "Aku ini pacarmu! Aku belum setuju buat putus!" Melihat uang kertas berserakan di lantai, aku hanya tersenyum sinis. "Kamu? Pacarku? Lalu, siapa wanita kemarin malam itu?" tanyaku sinis. "Kamu anggap sepatu yang dia berikan buatmu sebagai harta, sementara pemberianku kamu anggap sampah. Kupikir kamu tulus mencintaiku, ingin berumah tangga denganku. Ternyata, hubungan ini hanya permainan di matamu. Sekarang, kamu masih punya muka menyebut dirimu pacarku?" Zavier menghela napas gusar. Dadanya naik turun tidak karuan, mulutnya membisu. Aku benar-benar enggan terlibat lebih jauh dengannya. Aku merampas kembali jam tangan itu. "Uang yang kuhabiskan untukmu bertahun-tahun, akan kubuat daftarnya. Harap segera dilunasi, Tuan Muda Zavier. Kalau nggak, aku akan langsung ajukan gugatan." Aku tahu, lebih baik tidak lagi terikat dengan orang semacam Zavier. Akan tetapi, ada rasa sedih, jauh di lubuk hatiku. Pengorbanan bertahun-tahun dariku terasa bak sampah tidak berharga. Menghela napas panjang, aku menyeret koper seraya melangkah keluar. Rumah ini memang kusewa untuk memudahkan Zavier. Namun, sekarang, rumah ini juga memudahkanku untuk pergi. Setelah keluar dari lingkup area, aku segera mengangkat tangan untuk menghentikan taksi. Mobil berhenti di hadapanku. "Mau ke mana, Nona?" tanya sopir taksi. Ucapan Pak Sopir membuatku tertegun sejenak. Benar juga, ke mana lagi aku bisa pergi? Selama bertahun-tahun, hidupku hanya berpusat pada Zavier. Sekarang, setelah memutuskan pergi, aku hilang arah. Jadi, ke mana lagi aku bisa berpulang? Memikirkan itu, hatiku kembali perih. "Antarkan aku ke hotel terjauh dari sini," kataku final. Koper langsung aku masukkan ke bagasi, berniat pergi sejauh mungkin dari tempat ini. Sebisa mungkin, aku ingin menjauh dari orang-orang seperti Zavier yang tidak berguna. Siapa sangka, Zavier mengejarku keluar sebelum aku sempat memasuki mobil. Matanya tampak kemerahan. Dia membuka bagasi taksi dan mengambil semua barang bawaanku. Melihat tangannya agak bergetar saat mengeluarkan koper, aku justru tersenyum sinis. Wow, dulu, aku hanya dia anggap hiburan. Sekarang, saat kebenarannya terbongkar, dia malah panik? Zavier, Zavier ... aku benar-benar tidak mampu lagi menilai sifatmu yang sebenarnya.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.