Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa
Hati yang TersesatHati yang Tersesat
Oleh: Webfic

Bab 2

"Tip" yang dia berikan berupa setumpuk uang yang tebal. Dilirik sekilas, nominalnya mencapai lebih dari empat juta rupiah. Genggamanku pada sapu makin mengerat, sampai-sampai tajamnya kuku bisa kurasakan membekas ke dagingku. Wow, dermawan sekali. Cukup membelikan secangkir teh susu, sudah bisa memperoleh begitu banyak uang. Bahkan, kalau mataku tidak salah tangkap, ada bekas darah mengering di permukaan lembaran uang itu. Artinya, uang itu adalah uang yang aku tinggalkan untuknya semalam saat aku belum berangkat kerja. Yang mana, uang itu adalah gaji kerja paruh waktuku dari restoran barbeku. Sebelum terim gaji, tanganku terluka tanpa sengaja akibat pecahan botol kaca hingg darahnya mengalir ke mana-mana. Ketika menerima uang itu, darahnya pun belum berhenti mengalir. Jadi, itu agak mengotori uang yang aku terima. Namun, aku enggan membuat Zavier khawatir. Aku hanya pakai sejumlah plester dan membalutnya asal, lalu mengenakan sarung tangan sebelum pulang ke rumah. Zavier saja tidak sadarkan diri. Selesai acara makan malam dan perayaan ulang tahun, dia mulai meracau, memberi kode "uang sakunya habis". Aku sama sekali tidak menyangka, uang yang menjadi hadiah untuk dia malah berbalik menjadi ponsel untukku, imbalan membelikan teh susu buat "pacarnya". Kalau Sela pacarnya, lalu apa statusku? Oh, benar. Aku sosok hiburan semata, hanya mainan buatnya. Hatiku sungguh sakit dan terluka, serasa daging teriris dan tercabik pisau tumpul hingga berulang kali. Namun, aku hanya diam, menerima lembaran uang itu dari tangannya, lalu berbalik pergi. Di luar sana, hujan turun sangat deras. Aku tidak bawa payung. Lagi pula, payung tidak punya arti di depan hujan deras disertai angin ribut begini. Setibanya aku ke ruang VIP bersama teh susu, wujudku sungguh tidak karuan. Aku kelihatan bagai seekor anak ayam tercebur ke kolam. "Silakan, ini teh susu Anda," ucapku terdengar begitu serak, sementara teh susu itu kuletakkan di atas meja. Zavier tertegun sejenak. Melihatku dengan kebingungan, tetapi sukar untuk memastikan. Sela, yang disebut cinta pertama Zavier, mengernyitkan dahi dan menatap permukaan teh susu yang basah akibat hujan. "Ahem ... teh susunya sudah dingin. Agak kotor, makanya nggak aku minum." Zavier langsung tersadar dari lamunan. "Oh. Jangan diminum kalau gitu." Dia membuang sembarang teh susu itu ke tempat sampah, lalu menatapku acuh tak acuh dan melambaikan tangan. "Keluar sana," usirnya padaku. Setelah menatapnya untuk kali terakhir, aku langsung berbalik dan pergi. Mungkin akibat basah kuyup kehujanan, kepalaku pusing dan tubuh lemas. Sambil membersihkan ruangan lain, kepalaku terasa begitu bebat hingga kakiku tidak bertenaga. Ketika jam menunjukkan pukul empat subuh, tepat denganku selesai bekerja. Hujan di luar sudah berhenti, tetapi angin dingin masih begitu menusuk. Ketika melangkah keluar bar, setengah mati kutahan serangan pusing ini dan berniat untuk pulang. Zavier mau putus, tentu akan kusetujui permintaannya dan bicara empat mata dengannya. Usai menempuh setengah jalan dengan langkah kaki, pusing di kepalaku sungguh tidak tertahankan lagi. Penglihatanku juga kabur. Tit, tit, tit! Nyaringnya klakson mobil itu masuk ke gendang telingaku. Aku hanya bisa melihat sekilas, mobil itu sedang melaju tepat ke arahku. Aku refleks mundur, tetapi pergelangan kakiku mendadak merasakan nyeri hebat hingga terjatuh ke tanah. Rasa pusing itu makin menggila. Sekujur tubuhku lemas, tidak lagi bertenaga untuk bangkit. Aku hanya bisa melihat orang lain dari mobil sedang melangkah cepat ke arahku. Mataku mulai menggelap penglihatannya, lalu hilang kesadaran. ... "Luka di kaki pasien nggak terlalu serius, tapi demam tinggi dan gula darah rendah yang parah, mungkin karena malnutrisi ..." Ada bisikan halus menyelinap di telingaku. Kemudian, suara rendah terdengar. "Baik. Terima kasih, Dokter." Suara itu terasa agak akrab bagiku, tetapi aku tidak bisa mengingat-ingat pernah mendengarnya di mana. Aku berusaha membuka mata, merasakan sebuah tangan besar segera menyentuh dahiku, terasa dingin nan lembut. Aroma kayu menenangkan langsung menyeruak dari lengannya, begitu nyaman. Anehnya, aku refleks menyentuh tangan itu. Orang itu terdiam, lalu menarik balik tangannya dengan perlahan. Tepat saat itu, aku langsung membuka mata. Melihat pria di hadapanku, aku sempat tertegun sejenak hingga kepalaku mendadak kosong. Pria itu adalah Yudha. Mengapa bisa dia yang di sini, ya? Dalam ingatanku, Yudha terlihat seperti biasanya. Berkemeja putih, terlihat mencolok, tampan, dan auranya dingin. Bertahun-tahun tidak bertemu, Yudha terlihat jauh lebih tenang. Jas hitam yang dia kenakan membuatnya tampak sopan dan berkelas. Kacamata tanpa bingkai bertengger di hidung, fitur wajahnya pun tidak banyak berubah. Namun, aura tubuhnya serasa menyeruak dan lebih mencekam. Dia hanya duduk di depan ranjang sambil menatapku. Entah mengapa, dia membuatku sesak lewat tatapannya. Lama tidak berkutik, aku pun berbicara, "Pak Yudha ..." Yudha melihatku dari atas dengan tatapan dingin hingga suara yang sama dinginnya. "Lho? Kenapa nggak panggil aku 'Kakak' lagi?" Aku hanya bisa tertegun tanpa bicara. Aku tidak mau memanggilnya "Kakak", meskipun hubungan kami sekarang adalah saudara tiri. Seharusnya, Yudha juga enggan dipanggil begitu olehku. Saat usiaku belia, ibuku adalah seorang pengasuh keluarga Zuriawan. Ketika Ibu menggandeng dan membawaku ke depan Yudha untuk pertama kalinya, Ibu bilang, Yudha adalah seorang Tuan Muda. Di keluarga, Ibu menyuruhku main dengan baik di sisinya dan jangan ganggu dia. Alhasil, aku berhati-hati saat mengekorinya. Aku melihat dia main piano, melukis, menyaksikan dia membaca buku-buku yang tidak kupahami, dan memanggilnya sebagai "Tuan Muda". Kala itu, perlakuan Yudha begitu lembut. Dia mengelus kepalaku sembari berkata, "Jangan panggil aku Tuan, panggil saja Kak Yudha." Yudha sangat baik padaku. Meskipun aku hanya anak seorang pengasuh, dia mau mengajarkanku piano, menemaniku mengerjakan PR, membawaku main, dan diam-diam membelikanku permen. Saat masa remaja, sebenarnya, aku pernah mimpi konyol. Akan tetapi, aku segera tersadar bahwa statusku dan Yudha bagai langit dan bumi. Sekelas keluarga Januarta pun belum mampu bersanding dengan keluarga Zuriawan. Bisa dibilang, sebatas pemain kecil. Keluarga Zuriawan mendominasi semua pasar industri dan properti di Kota Senorita, bahkan sangat terlibat dalam bidang internet dan e-commerce. Sementara itu, Yudha, satu-satunya ahli waris keluarga Zuriawan, sungguh layak disebut sebagai "putra pewaris takhta". Itu adalah kali pertama aku membenci latar belakang keluargaku, sangat benci ayahku si pemabuk. Andai aku adalah putri keluarga kaya, mungkin aku boleh menaruh hatiku untuk Yudha. Namun, Langit berkata lain. Keinginanku menjadi seorang putri "keluarga kaya" malah terwujud. Ibu sengaja memanfaatkan kesempatan di acara pesta keluarga Zuriawan, tepat ketika Kiano mabuk dan masuk ke kamarnya. Setelah kejadian itu, Ibu pun menyandang status baru sebagai Nyonya Liana. Yudha pun tidak akan mengizinkanku panggil "Kakak" lagi padanya. Tatapan Yudha mulai diluruskan ke arahku, begitu dingin dan menyisakan kebencian saja. Walaupun sejak itu, dia benar-benar menjadi kakakku. Sebelum itu, ada kata-kata terakhir yang dia ucap. "Hei, anak pengasuh pembantu, kamu mau ikut cara ibumu? Mau sengaja mendekatiku juga supaya bisa naik pangkat?" Sejak sat itu, aku langsung keluar dari keluarga Zuriawan, mulai mencari nafkah. Awalnya, Ibu rutin mengirimiku uang. Namun, dia perlahan lupa akan fakta bahwa aku adalah putrinya. Kini, seluruh perhatiannya tertuju penuh pada nikmat yang dia peroleh dari keluarga Zuriawan. Itulah alasanku sempat terlena dengan janji manis Zavier. Aku sangat ingin sebuah rumah, tempatku pulang dan berlindung. Ketika aku tersadar lagi, aku mendongak hingga bertemu sepasang mata jernih nan dingin milik Yudha. Nada bicaraku sopan saat membalas, "Pak Yudha, aku cuma putri dari pengasuh. Aku nggak pantas memanggil 'Kakak'." Yudha menatapku dengan sorot mata gelap yang sulit dimengerti. Hening beberapa saat sebelum pria itu acuh tak acuh berkata, "Sudah sekian tahun berlalu dan kamu masih marah padaku?" "Aku nggak marah. Bapak juga belum menjawab, kenapa Bapak bisa ada di sini?" tanyaku, berusaha mengalihkan pembicaraan. Yudha bersandar di kursi, jari-jarinya mengusap lembut sandaran kursi. "Kamu pingsan di jalan. Orang yang lewat menemukan nomor telepon ibumu di ponselmu, tapi dia nggak ada di Kota Senorita. Jadi, dia memintaku untuk melihatmu mewakilinya." Aku menunduk. Tidak disangka, Yudha, yang begitu membenciku, bersedia datang menghampiriku. "Terima kasih, Pak Yudha. Aku baik-baik saja, maaf sudah merepotkan Bapak sampai harus datang kemari." Aku menggigit bibirku. "Bapak pasti sibuk, 'kan? Bagaimana jika Bapak pulang lebih dulu? Aku baik-baik saja sendirian, kok." Namun, mendengar ucapanku, Yudha malah menaikkan dagunya seraya berkata, "Mana pacarmu yang bermarga Januarta itu? Kenapa nggak datang mengurusmu?" Aku langsung terkesiap dan refleks membalas, "Bapak ... kenal Zavier?"

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.