Bab 1
Kekasihku dari keluarga yang kurang mampu. Sejak dia duduk di tahun ketiga kuliah hingga menyelesaikan studi pascasarjana, aku hidup hemat dan kerja paruh waktu demi mendukungnya sampai lulus, memegang ucapannya yang berniat memberi sebuah rumah untukku kelak.
Sayangnya, harapan indah itu sekejap sirna saat aku mendengar percakapan dia dengan temannya di tengah kerja paruh waktu sebagai petugas kebersihan bar. Sejak saat itu, aku tahu dirinya adalah putra dari keluarga Januarta. Kekalahannya di tantangan konyol Permainan Jujur Berani yang mereka mainkan menjadi alasan menjalin hubungan denganku selama ini.
Demi cinta pertamanya, dia rela menghabiskan bergepok-gepok uang. Aku, hanya pantas diberi semangkuk bubur polos.
Di matanya, diriku sebatas mainan untuk hiburan semata. Bagi dia, aku hanya bagian dari peraturan terikat dalam Permainan.
Hubungan ini sudah berjalan lima tahun dan itu pun bagian dari peraturan terikat dalam Permainan saja.
Mengetahui kebenaran konyol itu, kuambil keputusan untuk pergi dan meninggalkan dia. Selama ini, ketulusanku dianggap bak seonggok daging merah cuma-cuma untuk anjing jalanan.
Namun, pria itu malah mengekoriku tanpa jeda. "Khaira, aku tahu ini salahku. Kembalilah, kumohon ..."
...
Pukul 1.03 dini hari, aku baru menyelesaikan kerja paruh waktu di kedai teh susu, lalu berlari menerobos hujan deras ke bar.
Melihatku basah kuyup, Manajer melempar sorot mata muak ke arahku. "Kenapa telat lagi, sih? Berapa kali kamu telat bulan ini? Nggak becus banget, deh. Kalau nggak mampu, mending keluar!"
Aku tidak membalas dengan kasar, melainkan penuh permintaan maaf seraya merendah. "Maaf, Pak Manajer. Aku janji, nggak akan mengulang kesalahan lagi."
Caci dan maki terlontar kian banyak hingga Manajer mengakhiri kata-katanya dengan nada dingin. "Ah, naik saja sana! Bersihkan ruang VIP nomor enam! Aku peringatkan, ya. Ada satu kelompok anak keluarga kaya di sana. Jangan sampai tindakanmu ceroboh, apalagi menyinggung mereka."
Aku buru-buru mengangguk. Tanpa mengulur waktu, aku segera sibuk berganti seragam, menenteng seperangkat alat pembersih bersama rasa pusing yang aku pikul di kepala.
Ya. Setiap hari, aku mengisi enam sampai tujuh pekerjaan paruh waktu. Aku bekerja sekeras ini demi mendapat uang perkuliahan untuk kekasihku, Zavier. Bukan hanya itu, bekal sehari-hariku dihemat hingga makan roti dan minum air dingin saja.
Beraktivitas seharian dengan bekal roti dan air dingin saja? Tentu tubuhku tidak akan mampu bertahan.
Pagi tadi, tepat sebelum berangkat kerja, Zavier memasakkan bubur panas untukku sambil berkata, "Khaira, kalau aku sudah punya uang, pasti kelak kuberi kamu sebuah rumah." Mendapati perlakuan itu, semangat penuh seketika menyeruak di hatiku.
Aku punya mimpi membangun rumah bersamanya. Berapa pun nominal yang diperlukan, aku rela berkorban untuknya. Bagiku, semua itu layak.
Bahkan, aku membelikan sepasang sepatu bola edisi terbatas sebagai hadiah ulang tahunnya hari kemarin. Andai aku tidak mengambil beberapa pekerjaan paruh waktu, bisa-bisa kami kesulitan membayar sewa bulan ini.
Lamunanku terhenti dan kembali tersadar waktu kakiku berhenti tepat di depan pintu ruang VIP nomor enam.
Di ruangan, samar-samar terdengar sebuah percakapan. "Kak Zavier, kamu belum cerita yang sebenarnya ke gadis pengemis itu? Bukannya syarat awal Permainan cuma senang-senang?"
Lututku seketika hilang tenaga untuk tetap berdiri tegak. Aku pun langsung jatuh berjongkok usai mendengarnya.
'Zavier?'
'Mungkinkah itu ... Zavier yang aku kenal?' batinku.
"Ya, memangnya aku bisa apa?"
Detik berikutnya, suara yang akrab memasuki gendang telingaku. Tawa sinis pun menyertai saat melanjutkan, "Kalian nggak tahu saja, dia bolak-balik menahanku. Nggak mau putus. Wujudnya menyedihkan banget. Semua demi menafkahiku, katanya."
"Kalau dia masih nggak mau putus sampai bulan depan, mungkin aku terpaksa bohong, tengah punya utang miliaran akibat judi."
Tidak lama, seseorang di sampingnya mulai tertawa lepas seraya menggoda, "Kak Zavier, tampaknya dia suka banget sama kamu. Menurutku, dia pasti bersedia membayar utang judimu, sih."
Aku nyaris kehilangan napas kala mendengarnya.
'Itu suara Zavier sungguhan?'
'Mustahil ...'
Aku enggan percaya. Bahkan, tepat saat ini, harapku penuh soal pria di ruangan ini supaya sosoknya bukanlah Zavier dan hanya seseorang dengan nama serta suara mirip dengannya.
Bulan ini, Zavier memang minta banyak uang dariku yang dirinya gunakan untuk mengikuti pelatihan di luar negeri. Bagaimana mungkin dia menipuku, 'kan?
Selain itu, apa maksudnya Permainan Jujur Berani?
Dia benar-benar pacaran denganku untuk tantangan Permainan yang konyol saja?
Tidak berselang lama, omongan sang teman selanjutnya sontak memecahkan lamunanku.
"Eh, omong-omong, Khaira memang cantik. Payudaranya besar, pinggangnya ramping, kulit juga putih. Bisa saja, tuh, dia pergi jual diri demi mengumpulkan duit buatmu!"
Seketika, tawa riuh terdengar. "Eh, benar. Kak Zavier, apa kamu sudah pernah menyentuh dia?"
Zavier tertawa. "Aku cuma main-main sama dia, buat apa sentuh begitu? Tertarik saja nggak, lho."
Seseorang menghela napas ketika mendengarnya. "Hah? Kak Zavier, nggak salah? Gadisnya paripurna, tapi kamu sama sekali nggak tertarik?"
"Lah? Kenapa, deh? Pikirmu, dia selevel denganku?" tanya balik Zavier.
Dari sana, suara tawa kian terdengar kencang, dibarengi teriakan setuju. "Hahaha, benar juga. Mana mungkin pewaris takhta Januarta menikahi gadis miskin! Itu komedi, sih. Hahaha!"
Aku langsung tersentak. Mulutku ternganga, anyir darah serasa meraup seisi mulutku.
Seorang putra pewaris takhta keluarga Januarta, jelas-jelas gelar yang penuh wibawa.
Tentu aku tahu sosok keluarga Januarta. Mereka masuk jaringan keluarga kaya dan cukup berpengaruh di Kota Senorita.
Siapa sangka? Kekasihku, si mahasiswa miskin, justru seorang Tuan Muda yang terlahir dengan sendok perak di mulutnya.
Lima tahun ini, aku banting tulang bekerja, ambil enam sampai tujuh pekerjaan setiap hari sambil menghemat. Aku pun mencicil biaya sewa rumah dan pengeluaran hidup, sekaligus menabung biaya pendidikannya. Aku mengusahakan semua demi Zavier hidup tenang saat menuntut ilmu dan menikmati hidupnya.
Hal-hal ini kukerjakan penuh rasa tulus dan ikhlas, tetapi malah menganggapku upik abu semata hingga asal menginjaknya!
Begitu murahnya aku di mata dia, ya?
Tanganku mengepal erat. Detik itu juga, aku berniat menerobos masuk dan bertanya. Namun, seorang gadis sontak mendekat sambil menatap curiga ke arahku. "Hei, kamu datang kemari untuk bersih-bersih, 'kan? Kenapa nggak masuk?"
Seketika, mereka yang ada di ruangan pun menyadari, ada orang yang tengah berdiri di depan pintu.
Zavier sontak mengangkat kepala dan menatap tajam ke arahku.
Saat ini, aku sedang pakai masker, sehingga Zavier tidak mampu mengenaliku. Dia berjalan melewatiku dan melangkah lebar ke arah gadis itu. "Sela, sudah datang, ya?" sapanya.
Tidak seperti biasanya, Zavier justru terlihat lembut dan begitu tenang. Aku belum pernah menyaksikan sisi lain Zavier yang satu ini. Pria itu tampak mengenakan sepatu bola, pembelianku pakai kumpulan uang dua bulan. "Dingin di jalan, nggak? Takut kamu belum makan, sekalian mampir ke Jalan Baraya buat beli Sup Lautan Emas dari restoran favoritmu. Coba, deh."
Gadis itu menatap ke arahnya dengan senyuman lembut. "Terima kasih, Zavier."
Aku baru sadar, seisi ruang VIP itu dihias meriah. Ada sebuah kue ulang tahun raksasa, dinding dikelilingi balon, hingga berbagai alkohol mahal dan hadiah memenuhi meja.
Jika dibandingkan dengan menu sup untuk makan tiga kali per satu hari punyaku, hidangan mewah ini jelas sesuai standar seorang Tuan Muda.
Genggaman tanganku pada sapu terasa mengerat gemetaran. Aku ingin sekali meneriakkan nama Zavier, tetapi rasa malu serasa menjalariku tanpa alasan, membuatku hanya bisa menunduk sambil membersihkan pecahan botol-botol anggur itu.
Zavier pun tidak melirikku. Dia sibuk menggenggam tangan gadis itu dan berjalan menuju sofa. "Sela, aku sudah siapkan hadiah buat kamu."
Zavier tampak berhati-hati mengeluarkan sebuah kotak kecil. Di sana, ada kalung berlian merah muda berbentuk bintang. "Suka, nggak? Sengaja kupesankan buatmu," jelasnya.
Orang di sebelahnya tengah mengerumuni. "Eh, siapa yang lagi ulang tahun hari ini? Kenapa peran utamanya yang kasih hadiah, deh?"
Gadis itu perlahan menunduk malu. "Suka," jawabnya.
Zavier berhati-hati memasangkan kalung itu, lalu sekotak hadiah dikeluarkan sang gadis. "Oh, ya. Aku juga bawa hadiah. Aku belikan sepatu bertanda tangan edisi terbatas yang kamu suka. Mau dicoba, nggak?"
Setelah itu, sang gadis refleks menoleh ke arah sepatu yang dipakai Zavier dan menggoda, "Eh? Kenapa hari ini kamu pakai sepatu murah?"
Tubuh Zavier kelihatan agak kaku. Detik selanjutnya, dia malah langsung melepas sepatu pemberianku dan membuangnya ke tempat sampah, digantikan dengan sepasang sepatu edisi terbatas dan bertanda tangan. "Ah, biasalah. Aku asal pakai."
Pada saat ini, hatiku sungguh membeku.
Bagi Zavier, sepatu itu hanyalah sepasang sepatu murahan.
Kecuali, tidak denganku. Sepatu itu menjadi hasil jerih payahku cuci piring pakai air dingin di restoran barbeku larut malam, pakai kostum boneka yang berat di bawah terik matahari musim panas, bekerja sampai larut sekali dan tidur dua jam saja setiap harinya. Sedikit demi sedikit, aku kumpulkan seluruh gajiku.
Dulu, aku pikir sangat cinta dengan dia, begitu pula sebaliknya. Aku pikir, kami akan punya sebuah rumah yang indah.
Kini, melihat sepatu itu terbuang ke tempat sampah, diriku sontak merasa tengah ditaruh di puncak komedi.
Satu bisikan sontak terdengar di telingaku. "Wah, Tuan Zavier nekat juga! Mungkin harga kalung itu lebih dari dua miliar rupiah!"
"Macam nggak tahu saja, deh. Namanya juga cinta pertama. Tuan Zavier sudah sepuluh tahun mengejar Sela. Sekarang, dia buru-buru melepaskan gadis pengemis itu karena Sela sudah pulang dari luar negeri ..."
"Sudah, jangan keras-keras. Jangan sampai Sela dengar."
Begitu kalimat tersebut menyelinap ke telingaku, sebilah pisau serasa tengah menusuk dan menyayat hatiku dengan bengis.
Zavier tidak mencintaiku. Makanya, dia bisa menyiapkan kalung seharga dua miliar rupiah dan semangkuk Sup Lautan Emas yang harganya mencapai 3,8 juta rupiah untuk gadis lain. Usai diberi suguhan semangkuk bubur polos, sebuah jepit rambut berlian imitasi yang dijual di pasar malam, hingga 100 helai karet ikat rambut seharga dua ribu rupiah dari Shopree pun sudah terasa seperti sebuah anugerah untukku.
Jika perlu gambaran layaknya perumpamaan, keduanya bak tokoh utama pria dan wanita yang anggun nan berkelas. Sementara itu, aku hanya Cinderella yang tersesat di sampingnya, bahkan tidak berani mencaci-maki.
Aku menundukkan kepala sambil menahan nyeri di dada ketika membersihkan ruang VIP sebelum beranjak pergi.
Aku tidak mampu lagi berdiam di sini sedetik pun ...
Siapa sangka, gadis yang dipanggil Sela itu bicara, "Zavier, aku lagi mau minum teh susu dari jalan sebelah, tapi sedang hujan deras di luar, nih."
"Polos banget, deh. Kamu lupa, ya? Asal ada uang, semua orang pasti berlomba-lomba melakukan segala hal di dunia ini."
Dahi Zavier agak mengernyit, mengamati sekeliling, hingga sorot matanya seketika jatuh padaku.
Saat aku hendak keluar, Zavier lekas menahanku. Dia keluarkan selembar uang dari dompet untuk diserahkan padaku.
"Pelayan, sana pergi. Belikan aku segelas teh susu. Ini, anggap saja tip."