Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 7 Tidak Bisa Mengingat Penyelamat Hidup!

Kevin terdiam. "Sudahlah, jangan bicara sembarangan. Kalau sepatumu kotor, suruh saja Bibi Linda untuk mencucinya! Jangan selalu menyuruh Ivana!" kata Tommy dengan wajah masam. "Dia pembantu keluarga kita, 'kan? Kalau aku nggak menyuruh dia, harus menyuruh siapa lagi?" kata Paul yang tampak bingung. Kevin melirik Paul dengan tatapan yang seakan menyuruhnya diam .... ... Di Kota Lindi. Setelah tiga hari berturut-turut melakukan akupunktur, Maria Torin, Nenek Ivana, akhirnya tersadar. Saat neneknya tersadar, Ivana masih memberikan akupunktur padanya. Maria membuka mata perlahan, pandangannya kabur. Begitu melihat sosok gadis di depannya, dia sempat tertegun sejenak, sebelum bertanya dengan ragu, "Ivana?" "Nek, ini aku. Kenapa Nenek bisa melupakanku secepat ini?" ujar Ivana sambil tersenyum. "Kenapa kamu kembali ke sini? Tempat ini jauh sekali." Maria berusaha mengangkat tangannya yang gemetaran, hendak membelai cucunya. Ivana pun menundukkan kepala, membiarkan neneknya menyentuhnya. Maria menyentuh rambut dan wajah cucunya, baru kemudian dia merasa yakin bahwa ini benar cucunya. "Apakah ada tetangga yang meneleponmu, memberitahumu kalau aku sakit?" Suara Maria terdengar serak saat bertanya, "Padahal aku sudah bilang untuk nggak memberitahumu." Ivana menoleh, menuangkan segelas air, menaruh dua bantal di belakang neneknya, lalu menyodorkan air ke bibirnya. "Nggak, aku memang ingin pulang menjenguk. Nek, kenapa kamu nggak meneleponku kalau kamu sakit? Kamu malah menyuruh orang lain untuk nggak memberitahuku! Bagaimana kalau sampai terjadi sesuatu?" ujar Ivana dengan nada sedikit menegur sambil menatap neneknya. Jika saja Ivana tidak terlahir kembali, dia dan neneknya tidak akan memiliki kesempatan untuk bertemu kembali. Yang satu meninggal dalam kebakaran, yang satu lagi menanti ajal di atas tempat tidur. Begitu memikirkannya, mata Ivana langsung memerah. "Di usia ini, dengan kondisi begini, memang sudah waktunya Nenek menghadapi kematian. Hanya saja, Nenek nggak tega meninggalkan Jovan." Maria menoleh, memandangi Jovan yang duduk diam bermain rubuk di pinggir tempat tidur. Jovan pun mendongak memandang neneknya. "Nenek!" Ivana mengernyitkan kening, tidak senang mendengar ucapan neneknya. "Tolong jangan mengucapkan kata-kata tentang kematian. Itu nggak baik!" "Baiklah, baiklah, aku nggak akan mengatakannya lagi," ujar Maria sambil mengangguk serta tersenyum. Sesaat kemudian, Maria tampak bingung. "Bagaimana bisa penyakitku sembuh?" Padahal sebelum pingsan, Maria sempat memeriksakannya ke dokter. Dokter mengatakan bahwa pembuluh darah di otaknya bisa pecah sewaktu-waktu. Begitu pecah, dia akan langsung jatuh koma. Bahkan dewa pun tidak akan bisa menolong. Dokter juga mengatakan, kalau penyakit ini dia derita beberapa tahun lebih awal, mungkin masih bisa diobati. Namun, sekarang sudah tidak ada harapan. Pertama, karena usia Maria yang sudah tua, tubuhnya tidak lagi kuat menjalani operasi. Kedua, penyumbatan sudah terlalu parah untuk dioperasi. Ivana belum sempat menjawab, ketika Jovan tiba-tiba berdiri. Dia mengambil cermin dari jendela, lalu menyodorkannya ke depan neneknya. Kemudian, Maria langsung melihat puluhan jarum emas di kepalanya. Jarum itu tampak berkilauan di bawah cahaya matahari. "Apa kalian memanggil dokter pengobatan tradisional?" tanya Maria sambil menatap cucunya. Jovan menunjuk kakaknya. Ivana tidak bisa menahan senyumannya. Adiknya sekarang jauh lebih ceria dari sebelumnya. Maria menatap Jovan, lalu menatap Ivana dengan tatapan bingung. Dia bertanya, "Ivana, apa kamu yang memanggil dokter?" Namun, rasanya ada yang aneh. Maria sudah pernah berobat ke dokter pengobatan tradisional yang terkenal di sekitar sini. Mereka pun mengatakan tidak bisa berbuat apa-apa. "Nenek, nggak begitu. Aku belajar sedikit pengobatan tradisional, jadi aku mencoba memberimu beberapa tusukan jarum akupunktur. Sepertinya hasilnya nggak buruk," ujar Ivana sambil tersenyum. Maria menatap cucunya yang seolah memancarkan cahaya di bawah sinar matahari. Dia tertegun selama beberapa detik .... "Ah, jadi kamu yang ...." Setelah tertegun sejenak, akhirnya Maria tersenyum penuh haru. "Untung saja kamu pergi ke kota besar. Baru setahun pergi, kamu sudah bisa melakukan akupunktur!" Ivana juga ikut tersenyum, tidak ingin terlalu banyak menjelaskan. "Apakah orang tuamu di sana baik padamu?" tanya Maria sambil tersenyum. Meskipun menanyakan tentang hal ini, Maria sebenarnya sudah mengetahui jawabannya di hatinya. "Kenapa Nenek menanyakan ini, ya? Tentu saja mereka baik padamu. Mereka adalah orang tua serta saudara kandungmu!" lanjut Maria sambil tersenyum ramah. Ivana terdiam. "Aku tetap ingin tinggal bersama Nenek dan Jovan," ujar Ivana dengan suara lirih. Ivana tidak ingin neneknya mengetahui semua hal buruk itu. Dia tidak ingin neneknya khawatir. Setidaknya sekarang, saat neneknya masih sakit, Ivana harus menyembunyikannya dulu. "Anak bodoh, kamu bisa hidup dengan nyaman kalau tinggal dengan orang tua kaya di kota besar. Kamu bisa berkuliah, mendapatkan pekerjaan yang bagus, mengejar cita-citamu. Kalau kamu ikut dengan Nenek, kamu hanya bisa mengumpulkan barang bekas setiap harinya. Apa yang bisa kamu lakukan?" ujar Maria sembari tersenyum. Ivana kembali terdiam. Ketika melihat cucunya tampak sedikit tidak senang, Maria buru-buru menenangkan, "Kalau kamu merindukan kami, rajinlah belajar. Nanti kalau kamu sudah sukses dan menjadi orang kaya, ajak Nenek dan Jovan tinggal bersamamu." Ivana berkedip, lalu berkata sambil tersenyum, "Nenek benar." Benar sekali! Ivana harus menghasilkan banyak uang! Dia akan memberikan Nenek dan Jovan kehidupan yang terbaik. Jika terpaksa, dia bisa menjual beberapa barang berharga! Hanya saja, Ivana tidak tahu apakah orang-orang di zaman ini bisa mengenali harta-harta dari dunia kultivasi yang disimpan Ivana dalam cincin penyimpanan. Namun, berbicara tentang harta karun, Ivana tiba-tiba teringat boneka batu alam putih yang ada di dalam lemarinya .... "Nenek, di lemariku ada boneka dari batu alam putih. Apa Nenek yang menaruhnya di sana?" tanya Ivana. "Boneka batu alam putih?" Maria berkedip kebingungan. Kemudian, seolah tersadar dia berkata, "Ah! Nenek ingat sekarang. Itu adalah milikmu, apa kamu lupa?" "Milikku?" Ivana membelalakkan mata dengan kaget. "Bagaimana mungkin aku punya barang seperti itu?" "Itu memang milikmu!" balas Maria. Maria pun mulai menjelaskan, "Kamu pernah mengatakan pada Nenek kalau itu adalah hadiah dari seorang kakak laki-laki yang sangat baik." "Nenek merasa barang itu terlalu mahal, jadi aku menyuruhmu mengembalikannya. Waktu itu kamu belum tahu kalau itu adalah barang yang mahal, tapi begitu mendengarnya dari Nenek, kamu langsung setuju untuk mengembalikannya. Nenek khawatir kamu akan menghilangkannya, jadi aku ikut menemanimu." "Tapi waktu sampai ke vila di gunung yang kamu sebutkan, nggak ada seorang pun di dalamnya." "Kita bertanya-tanya di sekitar. Katanya vila itu milik orang kaya dari Kota Jalwar yang kadang-kadang datang untuk liburan di sana." "Kita datang ke sana dua kali lagi, tapi tetap nggak bertemu dengan siapa pun." "Akhirnya Nenek menyuruhmu mencoba pergi ke sana untuk melihatnya lagi kapan pun kamu ada waktu. Siapa tahu pemiliknya sudah kembali." "Pernah suatu kali kamu bertemu seseorang yang bertugas membersihkan di luar vila. Kamu ingin menitipkan boneka itu padanya, tapi dia nggak bersedia. Katanya harus kamu yang menyerahkannya secara langsung." "Akhirnya, karena nggak bisa mengembalikannya, kamu menyimpan boneka batu alam itu." Mata Ivana membelalak penuh keterkejutan. Apakah ada kejadian seperti itu? Dia benar-benar sudah melupakannya!" "Ivana, kenapa ingatanmu buruk sekali? Nenek saja masih mengingatnya, bagaimana bisa kamu melupakannya?" Maria tampak heran. "Nenek, apakah ada hal lain yang pernah aku ceritakan? Misalnya bagaimana aku bisa kenal dengan Kakak itu? Siapa namanya?" "Kamu mengatakan kalian saling mengenal waktu sedang mencari jamur dan menggali tanaman obat di gunung. Siapa namanya .... Haih, Nenek lupa ...." Maria mengatakan ini sambil hendak menepuk-nepuk kepalanya sendiri. Ivana dengan sigap menangkap pergelangan tangan neneknya. Ada jarum yang masih tertancap di kepalanya. "Nenek, apa Nenek yakin kalau Kakak itu yang memberiku boneka batu alam ini?" Ivana masih merasa tidak percaya. Kakak mana yang akan sebaik itu, memberinya sepotong besar batu alam putih dari jenis berkualitas tinggi? Ivana benar-benar tidak bisa mengingatnya! "Tentu saja! Meskipun nenekmu ini sudah tua, ingatanku masih bagus." Maria tampak tidak terima. Kemudian, tidak lupa dia menggerutu ke cucunya, "Justru kamu yang sudah pelupa meski usiamu masih muda." "Oh, pasti aku yang sudah lupa." Ivana langsung menyerah. Lagi pula, bagi Ivana, kejadian itu sudah terjadi tiga ratus tahun yang lalu. Wajar jika dia tidak mengingatnya. Sementara untuk Maria, kejadian itu baru berlangsung beberapa tahun yang lalu. Jadi, ingatan neneknya jelas lebih bisa diandalkan daripada ingatannya sendiri! "Oh ya, Nenek ingat sekarang. Katanya, waktu kamu sedang memancing ikan, kamu terjatuh ke dalam danau. Kakak itu yang sudah menyelamatkanmu." "Lalu, waktu kakimu terjebak dalam perangkap hewan, dia juga yang sudah menolong dan mengobatimu." "Awalnya kamu takut untuk menceritakannya pada Nenek. Kamu takut dimarahi, takut nggak diizinkan naik gunung lagi, jadi kamu diam-diam menutupi semuanya." "Baru belakangan, kamu mengatakannya tanpa sengaja." "Kamu juga mengatakan kalau Kakak itu pernah memarahimu. Dia nggak mengizinkanmu pergi ke tempat-tempat yang berbahaya." "Intinya, dia adalah orang yang baik," lanjut Maria. Ivana berkedip, tak tahu harus mengatakan apa. Penyelamat hidupnya, orang yang sudah dua kali menolong dirinya, bahkan memberikan sebuah boneka batu alam putih. Apa orang ini benar bukan dewa? Sementara itu, Ivana malah melupakan semuanya. Bukannya ini namanya sudah keterlaluan? "Lalu, apa aku nggak memberinya apa-apa?" tanya Ivana dengan penasaran. Namun, jika dipikir-pikir kembali, waktu itu Ivana sangat miskin. Sepertinya dia tidak akan memiliki apa pun untuk diberikan. "Oh, sepertinya kamu memberinya sebuah boneka kayu. Kamu mengatakan padanya kalau kamu akan membalas budi nanti. Agar kamu nggak lupa, kamu memberinya boneka kayu itu. Dengan cara ini, dia bisa mengingatmu ketika melihat boneka kayu itu, sementara kamu juga bisa mengingatnya ketika melihat boneka kayu itu. Baru setelah itu dia memberimu boneka batu alam sebagai balasan," jelas Maria. Ivana terdiam. Dia tetap tidak bisa mengingatnya. Benar-benar tidak bisa mengingatnya! "Nenek, apa kamu masih mengingat di mana lokasi vila itu?" tanya Ivana sambil memandang neneknya dengan penuh harap. "Uh .... Tempat persisnya Nenek sudah nggak ingat. Kejadiannya sudah enam hingga tujuh tahun yang lalu. Nenek hanya pernah mengikutimu tiga kali ke sana." "Tahun lalu waktu Nenek naik gunung, Nenek menemukan beberapa vila baru yang dibangun di sana. Bentuknya tampak serupa semua." "Nenek sempat berpikir untuk mencari vila yang dulu, tapi aku nggak bisa menemukannya," jawab Maria sambil mengernyitkan kening. "Lupakan saja kalau nggak ingat," kata Ivana segera. Ivana merasa penasaran, apakah dia bisa mengingat semuanya kembali ketika melihat boneka itu? Bagaimanapun juga, Ivana harus berusaha untuk mengingatnya, supaya dia bisa segera membalas budi Kakak penyelamatnya itu sesegera mungkin! ... Mungkin karena memikirkan berbagai hal siang tadi, malamnya Ivana memimpikan hal itu. Malam itu, Ivana bermimpi dirinya tenggelam .... Saat sedang merasa panik serta ketakutan, ada seorang pemuda yang mengangkatnya, memapahnya hingga ke daratan. Ivana ingin melihat seperti apa wajah penyelamatnya .... Namun, tak peduli bagaimanapun dia berusaha melihatnya, wajah pemuda itu tetap tidak terlihat jelas.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.