Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa
Cinta yang TerujiCinta yang Teruji
Oleh: Webfic

Bab 20

Setelah berkata demikian, Yohana membungkuk dan menggendong Kirana ke dalam pelukannya. Sikap dinginnya yang terlihat sebelumnya mendadak melembut. Dia mencium pipi Kirana dengan penuh kasih sayang, tatapannya dipenuhi rasa iba. "Maafkan Ibu, Sayang. Karena Ibu, kamu harus mengalami ketakutan seperti ini. Tapi Ibu ingin kamu tahu satu hal. Nggak peduli seberapa kecil atau lemah kamu, saat menghadapi perlakuan yang nggak adil, kamu harus berani melawan. Jangan pernah membiarkan orang lain menginjak-injak harga dirimu, ya? Kamu mengerti?" Kirana mengangguk pelan, meski terlihat belum sepenuhnya paham. Dengan tangan mungilnya yang gemuk, Kirana dengan lembut menyentuh pipi Yohana yang kemerahan dan sedikit bengkak. Lalu, dia menempelkan wajahnya ke pipi ibunya, meniupkan udara hangat ke sana, seolah mencoba mengobati rasa sakit sang ibu. Melihat momen yang begitu hangat ini, hati Gilbert tiba-tiba terasa sesak, dan matanya sedikit memanas. Bayangan seseorang yang berani memaki Kirana sebagai "anak bisu" atau menginjak fotonya membuat dada Gilbert terasa dihantam rasa sakit yang tak terlukiskan. Dia tahu dirinya telah banyak melukai Yohana dan membuatnya menanggung beban yang seharusnya tidak perlu dia pikul. Namun, entah kenapa, perasaannya terhadap gadis kecil ini tidak bisa dia jelaskan. Apakah ini karena rasa bersalahnya pada Yohana? Tangan Gilbert yang terkulai di sisi tubuhnya mengepal erat. Dengan wajah dingin dan suara yang penuh tekanan, dia menoleh ke arah Lukas yang berdiri di belakangnya. "Aku kasih kamu satu kesempatan. Cari tahu siapa dalang di balik semua ini. Kalau nggak, bersiaplah untuk keluar dari Grup Yonar." Lukas gemetaran, keringat dingin mengalir deras di dahinya. Dia segera menunduk dalam-dalam dan menjawab, "I-Iya, Pak Gilbert. Aku pasti akan memberikan kamu kebenaran yang sebenarnya!" Begitu saja, keributan di sekolah itu berakhir. Yohana tidak segera mengobati bengkak di wajah dan tangannya, melainkan berdiri di depan kelas dan memulai pelajaran seperti biasa. Sebelum memulai, dia membungkuk dalam-dalam ke arah semua orang, suaranya penuh ketulusan, "Karena masalah pribadi guru, waktu belajar kalian jadi terhambat dan lebih buruknya lagi, aku malah ikut memulai perkelahian. Ini salahku. Untuk itu, aku meminta maaf kepada kalian semua." Namun, dia melanjutkan dengan nada yang tegas, "Tapi aku nggak merasa tindakanku untuk melawan itu sepenuhnya salah. Sebagai individu yang independen, kita seharusnya saling menghormati. Ketika dihina atau dilecehkan, kita harus tahu cara membela diri, tahu kapan harus melawan, bahkan menggunakan senjata hukum jika diperlukan. Jangan pernah membiarkan orang lain menindas kita begitu saja." "Di sisi lain, penting juga bagi kita untuk menjaga hati yang baik dan penuh rasa syukur. Tapi, melindungi martabat diri sendiri adalah bentuk penghormatan paling dasar terhadap diri kita. Aku harap, apa pun yang kalian hadapi di masa depan, kalian tahu kapan waktunya melawan ketidakadilan." Kata-katanya disambut tepuk tangan meriah dari semua orang. Mereka semua memandang Yohana dengan penuh kekaguman, kecuali Leonardi yang duduk diam di tempatnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Leonardi menyaksikan bagaimana Yohana berdiri tegak membela putrinya, bahkan berani menghadapi para orang tua siswa. Dia juga mendengar bagaimana Yohana menyeret nama Bibi Miranda ke dalam masalah ini. Memang benar, perbandingan sering kali membawa luka. Kemarin, wanita itu bahkan tidak peduli saat dia memanggilnya Ibu. Namun, hari ini dia berkelahi demi putrinya. Betapa berat sebelahnya perlakuan itu! Meski begitu, Yohana tidak terpengaruh. Dia mengajar dengan penuh semangat, memuji siswa-siswanya tanpa ragu atas kerja keras mereka. Setelah pelajaran selesai, Yohana membawa Kirana ke ruang guru. Begitu dia masuk, dia langsung melihat seorang pria duduk di kursi, menunggunya. Melihat Yohana masuk, Gilbert segera berdiri. Dia menyodorkan sebuah kotak salep ke arahnya, matanya penuh dengan emosi yang sulit dibaca. "Ini obat untuk mengurangi bengkak dan rasa sakit. Kalau dioleskan, akan sembuh lebih cepat," katanya. Namun, Yohana tidak menerimanya. Sebaliknya, dia tersenyum tipis dan dingin lalu berkata. "Pak Gilbert mau membela tunanganmu, 'kan? Kalau itu yang ingin kamu bicarakan, lebih baik nggak usah. Aku nggak akan memaafkannya." Kata-katanya seperti duri yang menusuk, membuat Gilbert mengernyit. Suaranya menjadi lebih rendah, seolah menahan sesuatu, "Aku sudah selidiki. Ternyata benar, Miranda yang memprovokasi para orang tua itu. Dia mencoba membuatmu keluar dari sekolah ini. Aku sudah melarang dia datang ke sekolah lagi. Mulai sekarang, semua urusan Leonardi akan aku tangani sendiri. Dia nggak akan ada kaitannya dengan Miranda lagi. Apa pun yang ingin kamu lakukan padanya, aku nggak akan keberatan." Yohana tetap tenang, ekspresinya nggak berubah. Dia berkata, "Aku peringatkan kamu, Pak Gilbert. Kalau Miranda berani mendekatiku lagi, aku pasti akan membawanya ke meja hijau." Tanpa berkata-kata lagi, Gilbert membuka tutup botol salep itu dan tiba-tiba menarik tangan Yohana. Dengan suara penuh keyakinan, dia berkata, "Aku janji, aku nggak akan membiarkan dia menyakitimu lagi. Sekarang, biarkan aku membantumu mengoleskan obat ini." Sebelum Yohana sempat menolak, dia sudah memulai mengoleskan salep di tangan Yohana. Yohana dengan tegas melepaskan tangannya dari genggaman Gilbert. Ekspresinya penuh ketidakpedulian, bahkan terlihat jijik. "Gilbert, dulu kamu memintaku tetap di sisimu hanya untuk jadi tameng bagi Miranda. Sekarang kamu mendekatiku dengan sengaja, apa lagi tujuanmu? Apa ini agar Miranda salah paham lalu menyerang aku dan anakku lagi?" "Aku akui, keluarga Yonar pernah membantu anak-anak di panti asuhan dan juga membiayai kuliahku. Tapi aku juga sudah membayar semua itu. Aku menghabiskan empat tahun sebagai istrimu, aku mempertaruhkan nyawaku untuk melahirkan seorang anak untukmu. Apakah itu belum cukup untuk melunasi utang budiku pada keluargamu?" "Kalau memang belum, katakan saja, apa lagi yang harus kulakukan agar utang itu lunas? Aku hanya ingin hidup tanpa ada lagi hubungan apa pun dengan keluarga Yonar." Setiap kata yang diucapkan Yohana seperti belati yang menusuk hati Gilbert. Kenangan masa lalu bergulir di benaknya, seperti adegan film yang tak bisa dihentikan. Dia mengingat bagaimana Yohana dengan sepenuh hati merawat rumah mereka, memberikan seluruh cintanya untuknya dan Leonardi. Dia mengingat Yohana yang rela meminum-minuman keras demi mendapatkan kontrak bisnis, atau Yohana yang terus-menerus meyakinkannya di ruang bersalin, memastikan bahwa dia dan anak mereka akan baik-baik saja. Namun, wanita yang begitu mencintai keluarga itu, kini telah dia hancurkan hingga tidak lagi percaya pada pernikahan, apalagi kepadanya. Gilbert mengepalkan tangan, rasa bersalah membuat suaranya terdengar parau. "Yohana, aku tahu semua ini salahku. Aku hanya ingin menebus kesalahanku di masa lalu. Aku nggak punya niat untuk menyakitimu lagi. Aku hanya ingin membantumu," ujar Gilbert. Namun, Yohana tetap tidak tergerak. Dia berkata, "Terima kasih atas niat baikmu, Pak Gilbert. Aku nggak butuh lagi. Tolong, jauhi aku. Semua yang terjadi hari ini adalah akibat ulahmu. Aku nggak ingin ada kejadian seperti ini lagi. Silakan pergi, aku masih punya banyak hal yang harus diurus." Yohana membuka pintu lebar-lebar, memberi isyarat agar Gilbert keluar. Gilbert menatap Kirada yang berdiri di sisi Yohana. Mata kecil gadis itu yang besar dan hitam menatapnya tanpa berkedip. Bibir mungilnya sedikit mengerucut, tampak imut tapi sekaligus menyedihkan. Gilbert berjongkok, mencubit lembut pipi Kirana dan berkata dengan suara lembut, "Hari ini kamu jadi korban cercaan. Itu salah paman. Paman janji akan menghukum orang-orang jahat itu. Bisakah Kirana memaafkan Paman?" Kirana melirik Yohana sejenak, lalu menggelengkan kepala. Tapi kemudian, mungkin merasa tidak tega, dia menganggukkan kepala sedikit. Melihat kebimbangan gadis kecil itu, Gilbert merasa makin bersalah. Dia memeluk Kirana dengan lembut dan berbisik, "Paman pergi dulu. Kalau ada apa-apa, kita hubungi lewat telepon, ya." Setelah berdiri, Gilbert kembali menatap Yohana. Dia berkata, "Orang yang telah menyakitimu nggak akan aku maafkan. Aku pergi sekarang. Jangan lupa oleskan obatnya." Setelah mengatakan itu, dia keluar dan menutup pintu di belakangnya. Begitu pintu tertutup, Yohana merasa semua energinya terkuras. Tubuhnya jatuh lemas ke kursi. Dia tahu, kejadian hari ini hanyalah awal. Gilbert tidak akan benar-benar bertindak terhadap Vivi. Sebaliknya, Miranda kemungkinan akan makin menjadi-jadi. Dengan depresi yang dia miliki, Miranda hanya butuh ancaman bunuh diri untuk membuat Reyhan menyerah. Yohana tidak ingin memikirkan hal-hal menyebalkan itu lagi. Yang dia inginkan hanyalah kesembuhan Kirana. Dia tahu, satu-satunya cara untuk menjalani hidup dengan tenang adalah meninggalkan tempat ini dan meninggalkan Gilbert. Dia menghela napas panjang, lalu mengambil salep di tangannya dan melemparkannya ke tempat sampah tanpa ragu.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.