Bab 19
Keributan yang semula memenuhi tempat itu seketika menghilang, berubah menjadi keheningan total.
Semua orang mengikuti arah suara yang baru saja terdengar.
Di sana, Gilbert berjalan masuk dengan wajah muram seperti langit mendung sebelum badai. Mata tajamnya seperti menyala dengan api hitam yang memancarkan aura mengancam, membuat suasana menjadi mencekam dan penuh tekanan.
Wanita itu yang sebelumnya begitu arogan tertegun karena auranya yang luar biasa. Dengan suara gemetar, dia berkata, "K-Kamu siapa? Apa hakmu mencampuri urusanku?"
Suara Gilbert dingin seperti es yang baru saja ditempa, menusuk hingga ke tulang. Dia mengulangi, "Hakku? Karena kamu sudah membuat keributan nggak masuk akal dan mengganggu ketertiban kelas."
Wanita itu tersenyum sinis lalu berkata, "Sekolah ini didanai oleh keluarga Yonar, dan suamiku adalah tangan kanan kepercayaan Presiden Direktur Grup Yonar. Bahkan kepala sekolah pun nggak berani menggangguku. Kamu pikir kamu siapa?"
Kerumunan mulai bergumam, "Memang benar, Ibu Lina mengenal Presiden Direktur Grup Yonar. Jangan asal cari masalah dengannya, nanti anak kita yang jadi korban."
"Iya, apalagi anaknya bisa masuk Kelas Unggulan dengan mudah, pasti ada hubungan istimewa dengan keluarga Yonar."
Mendengar komentar orang-orang, wanita itu makin angkuh dan mendongakkan kepalanya. Dia berkata, "Dengar itu? Kalau nggak sanggup melawan, lebih baik jangan ikut campur! Kalau nggak, aku pastikan anakmu dikeluarkan dari sekolah ini!"
Ekspresi Gilbert tetap tenang, tetapi sudut bibirnya melengkung membentuk senyuman dingin yang membuat siapa pun merinding. Dia berkata, "Suamimu itu, namanya siapa?"
Wanita itu tertawa terbahak-bahak. Dia berkata dengan angkuh, "Apa kamu takut sekarang? Baiklah, aku akan memberitahumu! Suamiku bernama Lukas Surya, Direktur Keuangan Grup Yonar. Kalau dia mau, dia bisa membuatmu keluar dari sini dalam hitungan detik!"
Menghadapi ancaman ini, Gilbert sama sekali tidak terpengaruh. Dia dengan tenang mengeluarkan ponselnya, mengetik sebuah nomor lalu menelpon.
"Dalam lima menit, suruh Lukas datang ke hadapanku."
Melihat situasi itu, wanita itu malah tertawa sinis dan berkata, "Hah, kamu benar-benar berpikir dirimu seorang tokoh besar? Suamiku mana mungkin mendengarkanmu, kecuali ... kamu adalah Presiden Direktur Grup Yonar ... "
Namun, sebelum kalimatnya selesai, Lukas sudah tergesa-gesa masuk ke ruangan dengan wajah penuh kepanikan.
Tanpa banyak bicara, dia langsung menarik kerah baju istrinya dan menamparnya keras-keras di wajah.
Dengan nada penuh kemarahan, dia menggertakkan giginya sambil berkata, "Dasar wanita sialan, kamu tahu nggak siapa yang baru saja kamu buat marah? Berani-beraninya kamu menyinggung Pak Gilbert, cepat minta maaf sekarang juga!"
Wanita itu terdiam, wajahnya memerah karena tamparan.
Dia kebingungan melihat Lukas.
Dia memegangi pipinya sambil menatap suaminya tak percaya. Dia berkata, "Kamu bilang ... dia bosmu?"
Lukas menghela napas dengan nada frustasi, lalu berkata, "Kalau bukan dia, siapa lagi? Aku baru saja meninggalkanmu sebentar dan bicara dengan kepala sekolah, dan kamu sudah bikin onar begini. Lihat saja nanti di rumah, aku akan mengurusmu!"
Ternyata, Lukas sebelumnya sudah mempertimbangkan saran dari Yohana untuk memindahkan anak mereka ke kelas biasa.
Dia meminta istrinya untuk membawa anak mereka duluan, sementara dia berbicara dengan kepala sekolah.
Namun, belum selesai diskusinya, dia tiba-tiba mendapat telepon dari asisten direktur.
Pesannya singkat tapi menakutkan: Istrimu membuat masalah besar di kelas dan telah menyinggung Pak Gilbert.
Dia ketakutan dan langsung berlari dari ruang kepala sekolah menuju kelas.
Mendengar penjelasan itu, wajah wanita tersebut seketika menjadi pucat pasi.
Dia mengingat cerita suaminya tentang Presiden Direktur mereka, sosok yang dikenal dingin, tanpa ampun dan kejam terhadap siapa saja yang berani menentangnya. Tidak ada satupun akan berakhir dengan baik.
Dengan tubuh gemetar, dia membungkuk berulang kali sambil berkata, "Maafkan aku, Pak Gilbert. Aku salah, aku nggak tahu diri dan telah bersikap kurang ajar pada Anda. Aku mohon maaf dengan tulus!"
Namun, tatapan Gilbert tidak berubah sedikit pun. Matanya yang gelap menatap Yohana dengan sorot yang lebih tajam, berhenti sejenak di luka di wajah dan tangan wanita itu.
Nada suaranya makin rendah, tapi penuh tekanan. "Orang tua murid yang membuat keributan di sekolah, mencemarkan nama baik guru, bahkan sampai melakukan kekerasan fisik, sudah menimbulkan dampak buruk yang serius bagi guru dan siswa. Pak Bimo, bagaimana kamu akan menangani masalah ini?"
Kepala sekolah yang berdiri di sudut dengan wajah penuh keringat, buru-buru mengusap dahinya. Dia segera berkata, "Sesuai aturan, orang tua murid harus meminta maaf secara terbuka kepada guru yang bersangkutan dan mendapatkan maafnya. Kalau nggak, siswa tersebut akan dikeluarkan dari sekolah."
Mendengar keputusan itu, wanita tersebut langsung berlutut di hadapan Yohana.
Wanita itu memegang tangan Yohana dengan erat, suaranya penuh permohonan, "Bu Yohana, tadi aku memang terlalu emosi. Aku nggak seharusnya menyerangmu. Aku minta maaf dengan sungguh-sungguh! Kalau kamu merasa belum cukup, kamu bisa memukulku balik. Aku mohon, jangan biarkan kepala sekolah mengeluarkan anakku. Dia benar-benar menyukai sekolah ini!"
Namun, tatapan Yohana tetap dingin, tanpa sedikit pun belas kasihan.
"Ketika kamu tadi menghina putriku sebagai bisu kecil dan menyebutku wanita tak bermoral, apakah kamu nggak memikirkan akibatnya?"
Wanita itu menangis makin keras, suaranya terisak-isak. "Maafkan aku, itu semua salahku. Aku akan meminta maaf kepada putrimu, dan juga kepadamu. Aku nggak seharusnya menghina kalian seperti itu. Aku mohon, tolong maafkan aku, jangan libatkan anakku."
Air mata yang berlinang-linang di wajah wanita itu mulai membuat beberapa orang tua murid merasa iba.
"Bu Yohana, dia sudah sadar akan kesalahannya. Mungkin kamu bisa mempertimbangkan untuk memaafkannya. Bagaimanapun, ini hanya kesalahpahaman."
"Iya, benar. Apa pun masalahnya, jangan sampai anak-anak jadi korban. Anaknya nggak bersalah."
Namun, suara tegas Yohana langsung memotong simpati itu. "Jadi putriku pantas menjadi korban? Ketika dia tadi menunjuk wajah anakku sambil memanggilnya bisu kecil, ketika dia dengan sengaja menginjak foto anakku, apakah dia memikirkan bahwa anakku juga nggak bersalah?"
"Kenapa tadi kalian nggak mencoba menghentikannya? Sekarang kalian justru meminta aku bersikap seperti orang suci?"
"Apa kami para guru bukan manusia? Apa kami nggak punya hak untuk melindungi anak kami sendiri?"
Kata-kata Yohana membuat suasana menjadi sunyi senyap. Tak satu pun dari para orang tua murid berani membuka mulut lagi.
Setelah mengarahkan pandangan tajamnya ke kerumunan, Yohana melanjutkan, "Kalau kalian ingin aku memaafkannya, bukan berarti nggak mungkin. Beritahu aku, siapa dalang di balik semua ini? Aku nggak percaya baru dua hari bekerja di sini, sudah ada begitu banyak orang tua murid yang membenciku."
Mendengar itu, Bu Lina langsung panik.
Dia buru-buru menggelengkan kepala sambil berkata, "Nggak ada! Ini semua idenya aku sendiri. Aku hanya terlalu curiga. Aku selalu merasa orang yang mendekati suamiku punya maksud tertentu. Semua ini adalah salahku, aku yang menyebabkan masalah. Nggak ada hubungannya dengan orang lain!"
Yohana tersenyum dingin lalu berkata, "Benarkah? Kalau begitu, aku mau tahu, siapa yang mengirimkan foto itu kepadamu kemarin? Bukankah suamimu yang menjemput anak kalian?"
Wajah wanita itu menjadi pucat pasi. Dia tergagap, "Itu ... Itu dari seorang teman."
"Apa teman itu bernama Miranda?"
Mendengar nama itu, bukan hanya wanita itu yang membeku, tetapi ekspresi Gilbert juga langsung berubah muram.
Dia menatap wajah Yohana yang tegas dengan mata tajamnya, lalu bertanya dengan suara dalam, "Apa katamu barusan?"
Yohana mengangkat alisnya, menatapnya tanpa rasa takut, suaranya penuh sindiran. "Apa, Pak Gilbert mengira aku berbohong? Atau kamu ingin membela tunanganmu?"
Jakun Gilbert bergerak naik-turun. Dia berusaha menahan emosi dan berkata, "Kenapa kamu berpikir begitu, Bu Yohana?"
Yohana tersenyum pahit.
Gilbert benar-benar baik kepada Miranda.
Kapan pun selalu percaya padanya.
Ketika dia bilang dia depresi, kamu bahkan rela menyakitiku tanpa ragu dan meminta cerai.
Ketika dia bilang dia dalam bahaya, kamu langsung mencariku untuk menjadi tamengnya.
Seberapa besar cintamu padanya, hingga kamu rela melukai orang lain demi dirinya?"
Jari-jari Yohana bergetar ringan meski dia berusaha menahannya. Suaranya tetap dingin dan tegas, "Apa yang aku katakan benar atau nggak, Pak Gilbert bisa selidiki sendiri. Tentu saja, kalau kamu ingin melindungi tunanganmu, aku sepenuhnya percaya kamu mampu melakukannya. Kamu bisa menemukan seratus alasan untuk membebaskannya dari kesalahan."
"Tapi, kalau memang itulah hasil akhirnya, maka aku akan menyimpan semua bukti yang aku punya. Aku nggak akan diam saja. Aku akan menggunakan jalur hukum untuk menuntut keadilan bagi diriku sendiri."