Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 12

Sesaat kemudian, dia mendengar suara seorang pemuda yang ceria. "Bu, lain kali aku mau yang edisi terbatas. Nggak mahal kok, cuma sekitar 2 miliar lebih." Itu adalah adiknya, Jayden Saputra. Maya menjawab dengan lembut, "Oke, Sayang, kalau kamu suka, akan ibu belikan." "Terima kasih, Bu. Aku tahu, kamu yang terbaik buatku." "Kamu anakku, semua yang aku punya adalah milikmu. Kalau bukan aku yang baik sama kamu, siapa lagi?" "Ibu, aku cinta Ibu." Jayden merangkul tangan Maya dan mulai bersikap manja. Sheila melihat interaksi ibu dan adiknya dengan tenang. Dia sama sekali tidak terkejut. Sejak kecil, Maya sangat baik padanya. Begitu baiknya hingga Sheila sempat berpikir ibunya lebih mengutamakan anak perempuan daripada laki-laki. Bahkan sering kali dia yang membela adiknya. Sampai ayahnya mengalami musibah, dan semua urusan rumah, termasuk perusahaan, menjadi tanggung jawab Maya. Setelah itu, Maya mulai bersikap dingin padanya. Sekarang dia menyadari bahwa apa yang dianggapnya sebagai perlakuan pilih kasih, ternyata hanya ilusi. Maya melihat Sheila duduk di ruang tamu. Dia kelihatan agak terkejut, tetapi segera menyembunyikan ekspresinya. "Sheila, kok bisa di sini?" Sheila berdiri, dan sebelum dia sempat berkata apa-apa, Jayden sudah berlari menuju Sheila dan memeluknya dengan erat. "Kakak, akhirnya kamu kembali, aku kangen sekali sama kamu." Sheila terdiam, membiarkan Jayden memeluknya. Sejujurnya, hubungan mereka cukup baik. Meski beberapa tahun terakhir dia tidak pulang, tetapi dia masih sering bertemu Jayden secara pribadi. Dia merapikan rambut Jayden dengan tangannya. "Sudah hampir delapan belas tahun, masih seperti ini. Apa nggak malu?" Jayden tidak merasa malu sama sekali. "Aku cuma sayang sama kakak, nggak ada yang salah. Kali ini Kakak tinggal di rumah saja, ya." Maya mengamati kakak beradik itu, lalu berkata dengan tenang, "Oke, Sayang, bawa barangmu ke kamar dulu. Ibu mau bicara sama kakakmu." Jayden baru teringat, dia baru saja membeli sesuatu. Dia berniat menunjukkan pada Sheila, tetapi dihentikan dengan satu tatapan dari ibunya. Akhirnya dia berjalan lesu membawa tas belanjanya ke atas. Maya tersenyum dan mendekat, berkata pada pembantu di dapur, "Bi Santi, tolong cuci anggur yang dibeli dari Istana Buah." Sambil berbicara, Maya berbincang ringan dengan Sheila. "Gimana? Kamu sudah ke rumah keluarga Permadi. Apa yang mereka katakan?" Masih dengan sikap ibu yang penuh kasih, Maya meraih tangan Sheila. Sheila menghindar dengan cara yang halus. Maya tampak terluka. "Sheila, kamu masih marah sama Ibu, ya?" Sheila menghindari topik itu, dengan santai berkata, "Bu, tadi aku ke rumah sakit." Maya terdiam sejenak. Dia sudah bisa menebak apa yang akan dikatakan Sheila. Dengan suara tercekat, Maya berkata, "Aku juga nggak bisa apa-apa. Keadaan perusahaan sedang nggak bagus. Adikmu tahun depan mau ujian masuk universitas, akan banyak pengeluaran." "Meski begitu, kamu nggak bisa asal mengirim orang ke daerah Bukit Hijau begitu. Itu cuma tempat untuk menunggu mati." "Lalu Ibu harus bagaimana? Ibu cuma seorang wanita, sudah bertahun-tahun menopang keluarga ini. Kamu pikir ini mudah buat Ibu?" Maya menarik tangan Sheila dengan emosi, berbicara sambil terisak, "Ayahmu sangat memanjakan adikmu. Dia pasti mengerti, kita nggak bisa mengeluarkan uang sebanyak itu setiap bulan untuk biaya pengobatan ayahmu." Sheila mendengarkan tanpa ekspresi, tetapi hatinya tahu segalanya dengan sangat jelas. Tidak punya uang? Baru saja dia melihat tas belanja yang dibawa Jayden. Setiap barang itu harganya jutaan. Bagaimana dia bisa bilang mereka nggak punya uang? Seketika, Sheila merasa tidak berdaya. Dia merasa ayahnya tidak dihargai. Sejak kecil, Sheila tahu kalau hubungan orang tuanya sangat baik, dan mereka saling mencintai. Namun, kenapa hanya dalam waktu sepuluh tahun lebih sedikit, Maya bisa begitu acuh tak acuh terhadap kondisi suaminya? Apakah perasaan cinta juga ada tanggal kedaluwarsanya? Jika ayahnya terbangun, dan tahu bahwa istri yang dicintainya selama puluhan tahun, memperlakukannya seperti ini, bagaimana perasaannya? Saat itu, pembantu datang membawa buah yang sudah dicuci. Maya tersenyum dan menyerahkan piring buah kepada Sheila. "Sheila, makanlah. Ibu ingat kamu paling suka anggur ini." Sheila menggeleng pelan, tidak berkata apa-apa. Maya terdiam, dengan canggung meletakkan piring buah itu di meja kopi. Kemudian, dengan ceria, dia beralih topik. "Malam ini kita akan makan makanan laut. Ayo, makan bersama. Kita sekeluarga sudah lama nggak makan bersama." Akhirnya, Sheila memutuskan untuk tidak ikut makan bersama. Sebelum pergi, dia berkata pada Maya, "Bu, Ibu boleh saja nggak peduli sama ayahku, tapi aku nggak bisa begitu. Lagi pula, aku nggak suka makan anggur dan aku alergi makanan laut." Begitu keluar dari rumah keluarga Saputra, Sheila mengeluarkan ponselnya, mencari nomor Tante Sandra di daftar kontak. Dia mengetik pesan dan mengirimkannya. [Tante Sandra, aku menerima usulanmu.] Setelah melihat tanda pesannya sudah dibaca, Sheila menyimpan ponselnya. "Sheila? Itu kamu ya?" Suara yang dikenalnya terdengar dari belakang. Sheila menoleh dan melihat nenek Luki, membuat hidungnya agak terasa perih. "Ya, ini aku." Nenek itu mendekat dan menggenggam tangan Sheila dengan akrab. "Sudah lima tahun lebih nggak bertemu. Nenek kira mata tua ini sudah mulai rabun." Sheila menggelengkan kepala. "Belum makan, 'kan? Ayo, ke rumah Nenek." Sheila ingin menolak, tetapi karena sudah lama tidak bertemu nenek ini, akhirnya dia setuju. "Luki, lihat siapa yang datang." Begitu masuk, nenek itu langsung berteriak ke ruang tamu dengan gembira. Sheila agak terkejut, dia tidak menyangka Luki ada di rumah neneknya. Sheila berdiri dengan canggung. Seandainya dia tahu Luki ada di sana, dia pasti tidak akan mampir. Luki mendekat dan mengambil keranjang belanja dari tangan neneknya. "Sudah dibilang biar aku yang beli. Kenapa harus pergi sendiri?" "Kamu nggak mengerti memilih bahan yang segar." "Kalau nggak ngerti, aku akan ajak Bu Meli pergi ke pasar. Kenapa harus Nenel yang susah payah?" Bu Meli adalah pengasuh yang tinggal di rumah nenek Luki dan merawat Nenek selama 20 tahun. Sheila juga sudah mengenalnya. Sheila berdiri diam di dekat pintu sambil melihat keduanya. Tiba-tiba dia merasa, Luki memang banyak berubah dalam beberapa tahun terakhir. "Sheila, kenapa melamun?" Luki mendekat, mengambilkan sandal dari rak sepatu dan meletakkannya di depan Sheila. Sandal itu persis sama dengan yang dia pakai enam tahun lalu, yang satu warna pink, yang satunya warna biru, milik Luki. Nenek melihat Sheila sambil tersenyum lembut. "Kamu nggak kenal lagi? Ini 'kan Luki kakakmu. Dulu waktu sekolah kamu sering mengikuti dia, sudah lupa?" Sheila merasa agak canggung. "Nggak, nggak lupa." "Kalau nggak lupa, masuklah. Sudah lama kita nggak ketemu. Hari ini Nenek mau kasih kalian berdua kejutan." Mendengar itu, ekspresi Sheila langsung kaku. Dia ingat betul waktu makan masakan nenek Luki dulu, akhirnya malah masuk rumah sakit. Ternyata, Luki juga tidak lupa. Nenek memang baik, cuma masakannya...nggak bisa dipuji. Luki cepat-cepat berkata, "Nenek 'kan sudah tua. Istirahat saja. Biar aku yang masak." Nenek agak tidak percaya melihat Luki. "Memangnya kamu bisa masak?" "Bisa, selama di luar negeri, aku hampir selalu masak sendiri." "Wah, hebat! Sekarang sudah bisa masak." Nenek berkata dengan puas sambil menggenggam tangan Sheila. "Sheila, ayo, masuk. Biar si bocah itu yang masak. Nenek belum pernah makan masakan dia." Belum sempat Sheila berkata apa-apa, dia sudah ditarik masuk ke ruang tamu oleh Nenek. Walau sudah bertahun-tahun tidak bertemu, Nenek masih sangat menyayangi Sheila, jadi dia terus mengajak Sheila duduk dan berbincang tanpa henti. "Sheila, gimana kabarnya? Kuliah nggak terlalu melelahkan bukan?" Sheila agak terharu.Dia menggenggam tangan Nenek sambil tersenyum dan menjawab, "Aku baik-baik saja. Sebentar lagi sudah mau lulus, jadi nggak terlalu lelah." "Jadi, apa kamu sudah punya rencana untuk bekerja di bidang apa?" Sheila menggelengkan kepala. Selama ini dia hidup mengalir saja, tidak punya harapan untuk masa depan. Melihatnya seperti itu, Nenek merasa prihatin, dan menghela napas. "Aku dengar soal ayahmu. Itu bukan salah kamu. Jangan terlalu dipikirkan." Sheila menunduk dan mengangguk pelan. Nenek melihatnya dan tahu dia tidak ingin membicarakan soal ayahnya, lalu mengubah topik. "Oh, ya! Karena Luki sudah pulang, kamu bisa ngobrol sama dia soal pekerjaan. Biar dia membantumu." Otomatis Sheila melirik ke dapur. Saat itu, Luki sedang memasak di dapur dengan celemek bermotif kotak-kotak, tampak sedang menyiapkan bahan-bahan masakan. Penampilan Luki yang seperti ini, jauh lebih terasa seperti manusia biasa daripada saat dia berada di rumah keluarga Permadi. Tiba-tiba Luki berbalik. Sheila terkejut, tanpa sengaja bertemu pandang dengan Luki. Dia langsung menunduk dengan gugup. "Sheila, mari ke sini sebentar." Terdengar suara Luki memanggilnya.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.