Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 13

Tubuh Sheila langsung kaku. Dia berniat untuk pura-pura tidak dengar. Nenek menyentuh bahunya sambil berkedip jahil ke arah Sheila. "Kamu sudah lama nggak bertemu dengan Luki. Sana ngobrol saja, sambil membantunya sedikit." Sheila jelas tahu maksud nenek itu, jadi dia tidak bisa pura-pura lagi. Dengan perasaan canggung, dia berjalan menuju dapur. "Apa...apa yang bisa aku bantu?" Sheila agak terbata-bata. Saat berbicara, dia tidak berani menatap mata Luki. Luki tertawa pelan, tetapi tidak berkata apa-apa. Sheila mengangkat wajahnya dan bertatapan dengan Luki. "Kenapa kamu tertawa?" Luki menggeleng, kemudian mendekat ke depan Sheila. Seketika, aroma mint yang sejuk tercium di hidungnya, dan tanpa sadar, Sheila mundur sedikit. Luki bertanya, "Kamu takut sama aku?" Sheila menggelengkan kepala dengan canggung. Dia bukan takut, cuma belum tahu bagaimana harus menghadapi Luki. Luki mengulurkan lengannya. "Lengan bajuku ini, tolong rapikan sedikit." Dengan kikuk, Sheila hanya bergumam pelan, lalu perlahan merapikan lengan baju Luki. Sekarang Sheila sudah sedikit lebih tinggi, hampir setinggi dada Luki. Luki menatapnya dengan tatapan dalam. Wajah Sheila merah merona, bulu matanya lentik dan sangat panjang. Kulitnya putih bersih hampir tanpa cacat, dan di bawah cahaya lampu, bulu halus di pipinya terlihat jelas. Mata Luki yang dalam berkilau, jakunnya bergerak sedikit, seolah-olah menahan sesuatu. "Sudah." Akhirnya, Sheila berbicara sambil melangkah mundur. Luki tersenyum menatapnya. "Terima kasih." Sheila menjawab pelan, "Nggak masalah. Perlu bantuan apa lagi?" Luki menunjuk tomat di atas talenan. "Dipotong dadu, bisa?" Sheila mengangguk. Setelah mencuci tangan di wastafel, dia mulai memotong. Kemudian dengan penasaran, dia bertanya, "Mau masak apa malam ini?" "Daging sapi, favorit kamu." Sheila berhenti sejenak dengan pisau di tangan, pandangannya agak kabur. Sesaat kemudian, ujung jarinya terasa sakit, dan Sheila memekik pelan. "Jangan bergerak." Luki meletakkan spatula yang dipegangnya, cepat-cepat menggenggam jari Sheila yang terluka dan langsung memasukkan ke dalam mulutnya. Sheila merasakan darahnya berdesir, seperti rasa panas yang menyebar ke seluruh tubuh. Sheila berusaha menarik tangannya. Luki masih menahan jarinya, dan setiap kali pria itu mengembuskan napas, udara panas mengalir di sepanjang punggung tangan ke seluruh tubuhnya. Dia merasa seperti berada di tengah api yang membakar, panas sekali. "Sakit nggak?" Luki bertanya. Sheila menggeleng. Luki melihat jari Sheila yang sudah tidak berdarah, mengambil plester dan menempelkannya di jarinya. Sheila terkejut, "Kenapa kamu bawa-bawa plester?" Luki tersenyum, "Ada bocah yang sering terluka, jadi aku bawa saja." Mendengar kata "bocah", Sheila tertegun. Ternyata Luki sudah menikah dan punya anak. Gelombang perasaan yang tadinya mengalir di hatinya tiba-tiba hilang. Dia hanya mengangguk pelan, lalu menarik tangannya. "Terima kasih, tapi aku mungkin nggak bisa membantu lebih banyak." Luki tersenyum. "Nggak apa-apa, kamu pergi saja mengobrol dengan Nenek. Sebentar lagi juga selesai." Dia mengulurkan tangan, berniat mengelus rambut Sheila. Otomatis Sheila mundur, menghindari sentuhan itu. Dia tidak berani menatap wajah Luki, dan segera berbalik keluar dari dapur. Tangan Luki terhenti di udara, lalu dia tersenyum pahit. Bocah ini memang susah dibujuk. Malam pun tiba. Sheila keluar dari rumah Nenek, dan langit sudah gelap. Nenek merasa agak khawatir, jadi dia berkata akan mengantar Sheila setelah Luki dan kakeknya selesai bermain catur. Namun, Sheila menolak. Dia segera mengambil tasnya dan berjalan menuju pintu gerbang vila. Sampai sekarang dia masih tidak tahu harus bersikap bagaimana jika berdua saja dengan Luki. Saat ini langit sudah gelap sekali, dan karena ini adalah kawasan vila, sulit untuk mendapat taksi. Dia harus berjalan beberapa kilometer untuk menemukan halte bus. Sheila memeriksa jam di ponselnya, sudah jam sembilan malam. Tidak disangka, dia sudah berjalan selama satu jam lebih dan belum juga sampai ke halte bus. Tiba-tiba, sebuah mobil melintas dari arah berlawanan, lampu mobil itu menyinari dirinya. Sheila mengangkat tangannya ke dahi, memicingkan mata sambil mencoba melihat mobil itu. Namun, sinarnya terlalu terang, dia tidak bisa melihat siapa di dalam. Mobil itu terlihat tidak asing, tetapi saat itu dia tidak ingat di mana pernah melihatnya. Sebelum Sheila bisa mengingatnya, mobil itu sudah berhenti di sampingnya. Jendela mobil diturunkan, dia baru menyadari siapa yang ada di dalam mobil. Begitu mata mereka bertemu, tanpa sadar jantung Sheila berdegap kencang. "Naiklah ke mobil." Luki berbicara lebih dulu. Sheila tersadar dan merasa canggung. "Nggak usah, aku sudah hampir sampai di halte bus." "Di sini nggak ada bus, naik saja. Aku akan mengantarmu." Sheila melihat sikap Luki yang seperti tidak akan pergi sebelum dia naik, akhirnya dia berkata pelan, "Terima kasih, Pak Luki." Sambil berbicara, dia membuka pintu mobil di sebelah pengemudi. Sopir yang ada di depan langsung berkata, "Nona Sheila, lebih baik duduk di belakang bersama Pak Luki." Sheila menarik tangannya, membuka pintu belakang dan masuk ke dalam mobil. Begitu masuk ke mobil, dia duduk di sebelah Luki. Luki menoleh ke arahnya, "Mau ke mana?" "Ke kampus, Universitas Pasifik." Luki memberi alamatnya pada sopir, kemudian mulai bekerja di dalam mobil. Sepanjang perjalanan, suasana di dalam mobil sangat sunyi. Sheila menoleh ke jendela, menatap pemandangan malam yang terus bergerak mundur. "Apa sudah tahu mau bekerja apa nantinya?" Tiba-tiba Luki bertanya. Sheila teringat akan pembicaraan sebelumnya dengan ibunya mengenai rencana pergi ke Kota Jinggala, dan tanpa sadar dia tidak mengatakannya. "Belum tahu." "Sudah ada yang terpikirkan?" "Belum juga." Melihat Sheila yang tidak terlalu tertarik, Luki tidak melanjutkan percakapan ini, dan fokus melanjutkan pekerjaannya di laptop. Suara ketikan tombol kibor dari jari Luki terdengar sesekali. Sheila diam-diam mengamati Luki dari samping. Jari-jari Luki menekan tombol kibor dengan ritme yang teratur. Jarinya panjang dan kuat, setiap ketukannya terdengar seperti mengguncang syaraf-syaraf di tubuh Sheila. Entah kenapa, Sheila tiba-tiba teringat kejadian di dapur rumah Nenek tadi, saat dia menggenggam tangan Sheila dan memasukkan jari yang terluka ke dalam mulutnya." Pipi Sheila langsung merah merona. "Kepanasan?" Suara Luki terdengar. Dia jelas sedang menunduk dan tidak menatap Sheila, tetapi seperti ada mata di kepalanya. Sheila merasa canggung, dia menggenggam tas yang ada di pangkuannya erat-erat, dan berkata dengan pelan, "Nggak panas." Luki mengangkat wajah, memandangnya sekilas. "Terus kenapa wajahmu merah?" Mendengar itu, Sheila makin canggung, dan menjawab dengan ragu, "Agak kepanasan, sih." Kemudian Luki berbicara pada sopir, "Malik, turunkan AC-nya sedikit." "Baik, Pak Luki." Begitu sampai di depan kampus, barulah Sheila berbicara, "Pak Luki, terima kasih sudah mengantarku." Mendengar sikap Sheila yang dingin dan sopan, Luki hanya bisa tersenyum pasrah. "Sheila, dulu kamu sering panggil aku kakak, sudah lupa, ya?" Sambil berbicara, Sheila mengulurkan tangan hendak membuka pintu mobil, namun tiba-tiba, Luki menarik tangannya dan menggenggam pergelangan tangannya yang halus dan putih.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.