Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 11

Dengan wajah serius, Johan mengejar, lalu menarik lengan Sheila. "Sheila, apa aku sudah bilang kamu boleh pergi?" Sheila mengernyit tidak senang dan menepis tangannya. "Lepaskan." Johan tertawa dingin. "Kenapa? Takut dilihat pacar barumu? Sheila, kamu tahu siapa dia? Kamu langsung mendekat begitu saja, apa kamu kira Yansen sebodoh aku, bisa dipermainkan olehmu begitu saja?" Sheila melirik Johan sejenak. Wajahnya tidak menunjukkan emosi, dan dia berkata dengan ketus, "Apa urusannya denganmu?" "Gimana nggak ada urusannya? Aku 'kan mantan pacarmu." Sheila terkejut mendengar Johan berani bicara begitu, bahkan menyebutkan kata 'mantan pacar'. Dia tidak bisa menahan tawa. "Mantan pacar? Sejak kapan kamu jadi mantan pacarku?" Johan terdiam, teringat kata-kata yang dia ucapkan pada Sheila sebelumnya di ruang VIP. Dia agak merasa bersalah, untuk sesaat. "Sheila, Yansen bukan orang yang bisa kamu hadapi, jangan cari masalah." Sheila hanya menatapnya dengan tenang. Aneh, dulu dia merasa mereka sangat mirip, tetapi sekarang terlihat sangat berbeda. Apalagi dengan kembalinya Luki, makin terasa perbedaannya. "Johan, kita sudah nggak ada hubungan lagi. Kamu sendiri yang bilang, kamu sudah jenuh." Wajah Johan tegang seketika. Kegelisahan melintas di matanya, namun dia segera berkata dengan tegas, "Kamu nggak tahu siapa aku? Kenapa sekarang kamu permasalahkan hal ini?" Sheila membuka mulutnya, tetapi sebelum dia sempat bicara, dia melihat Anita mendekat. "Johan." Johan terlihat kaget. Ada rasa panik di matanya, lalu tiba-tiba dia menarik Anita. "Kenalkan, ini Anita, pacarku." Johan berbicara sambil menatap wajah Sheila, seolah-olah ingin melihat sedikit saja reaksi di wajahnya. Namun, tidak ada. Wajah Sheila tidak menunjukkan perubahan emosi sedikit pun. "Johan, sungguh, aku merasa muak denganmu sekarang." Johan terdiam, merasa gelisah tanpa alasan. Dia membuka mulutnya untuk berkata sesuatu, tetapi Sheila sudah berbalik dan pergi. Johan marah, melepaskan Anita, dan berkata dengan nada dingin, "Kamu pulang saja, aku nggak akan mengantarmu." Anita tertegun, dengan hati-hati bertanya, "Film besok, gimana?" "Lihat nanti saja, aku masih ada urusan. Pergi dulu, ya." Setelah itu, dia tidak peduli lagi dengan ekspresi Anita, langsung menuju tempat parkir. Johan duduk di mobil, pikirannya dipenuhi dengan kata-kata yang diucapkan Sheila sebelum dia pergi. Muak? Bagaimana dia bisa bilang begitu? Apa dia benar-benar sudah tidak peduli sama sekali? Saat memikirkan itu, Johan merasakan dadanya agak sakit. Dia kesal dan menepuk kemudi mobil dengan keras. Suara klakson mobil langsung terdengar menyakitkan. Tiba-tiba, ponselnya berbunyi. Johan meliriknya dan melihat bahwa itu telepon dari Helena. Dia menekan tombol jawab. "Halo." Terdengar suara Helena yang terisak di ujung telepon. "Kak Johan, aku tahu aku salah, kita jangan putus, ya?" Johan menghela napas dalam-dalam, suaranya terasa jauh. "Helena, kamu memang bersalah." "Aku tahu, aku nggak akan kayak gitu lagi, Kak Johan. Aku benar-benar cinta sama kamu, aku nggak mau putus." Suara gadis itu lembut dan manja, seperti bulu yang menggelitik hati Johan. Rasanya Sheila tidak pernah berbicara dengan nada seperti itu kepadanya. Sheila selalu begitu tenang dan terkendali. Begitu mengingat Sheila, Johan jadi kesal. "Jadi, sikapmu bakal lebih baik setelah ini, 'kan?" "Ya, aku akan lebih baik." Suara gadis itu masih terdengar cemas dan agak terisak. "Sudah, jangan menangis lagi, kita nggak akan putus." "Aku nggak mau menangis, tapi tiap kali ingat nggak bisa ketemu kamu, aku jadi sedih. Kak Johan, aku kangen sama kamu." "Beberapa hari ini aku sibuk. Nanti aku mampir ke sekolah mencarimu, ya? Kamu tunggu aja." Johan berusaha menghibur dengan penuh kesabaran, "Sudahlah, kenapa harus kesal? Anak muda seperti itu wajar saja kalau sedikit sombong." Mendengar itu, Helena pun berhenti menangis dan tertawa. "Oke, aku akan lebih baik, kamu jangan kerja terlalu keras, nanti aku jadi sedih." "Ya, aku ada rapat, nanti kita bicara lagi. Kamu tunggu saja." Johan menyelesaikan percakapan dengan sabar. Tanpa menunggu Helena berbicara lagi, dia langsung menutup telepon dan menyetir menuju kantor. Di jendela lantai dua. Luki melihat kejadian di bawah dan berkata pada Yansen yang duduk di depannya. "Kamu tahu hubungan Johan sama Sheila nggak?" Yansen ragu sejenak. "Kak Luki, aku mau bilang sesuatu, kamu jangan marah, ya." Luki mengangkat gelas, membawanya ke bibir dan meminum sedikit. "Katakan." Sebelum Yansen selesai berbicara, tiba-tiba terdengar suara bentakan keras. Luki dengan keras melemparkan gelas yang ada di tangannya ke meja. Seketika darah keluar dari celah jarinya. Yansen terkejut. "Wah, wah, kamu ini sedang apa sih?" Dengan tenang Luki mengibas tangan yang terluka dan mengambil tisu basah untuk membersihkan tangannya. "Lanjutkan." Yansen menelan ludah. "Aku rasa kamu sudah gila, aku pergi dulu." Dia disuruh melanjutkan bicara. Ini lelucon. Setelah berteman lama dengan Luki, dia sudah sangat mengenal temperamen Luki yang mudah meledak. Kalau terus bicara, mungkin gelas itu akan dilemparkan ke wajahnya. Menjauhlah dari Luki, maka hidupmu akan aman. Sampai di pintu, Yansen tiba-tiba ingat sesuatu dan berkata, "Oh ya, akhir pekan ini aku ada urusan, jadi nggak bisa ikut kamu menjenguk Nenek. Aku pergi dulu ya." Setelah Yansen pergi, Luki mengeluarkan ponselnya, lalu menekan beberapa angka. Telepon berdering dua kali, lalu tersambung. Luki berkata sambil menatap melalui jendela, melihat Sheila yang sedang duduk di halte menunggu bus. Setelah Sheila naik ke bus, barulah dia mengalihkan pandangannya. Pada akhir pekan, Sheila pergi ke rumah sakit untuk menjenguk ayahnya. Saat baru sampai di pintu, dia melihat sekumpulan orang mendorong ranjang dari ruang perawatan. Sheila segera menghentikan mereka. "Mau kalian bawa ke mana ayahku?" Pria paruh baya yang memimpin mereka berhenti sejenak setelah melihat Sheila, lalu berkata, "Nona Sheila, kami akan membawa Pak Handi ke Panti Perawatan Bukit Hijau." Pria itu adalah Miko Jayadi, yang Sheila kenal sebagai asisten ibunya. Sheila terkejut. "Ayahku baik-baik saja di sini, kenapa harus pergi ke panti perawatan?" Fasilitas medis di panti perawatan jauh berbeda dengan di rumah sakit. Sheila juga sudah mendengar tentang tempat ini, di mana lingkungan, perawatan, dan fasilitas medisnya sangat buruk. Pasien yang dirawat di sana hanya menunggu kematian. "Ini keputusan Bu Maya, kalau ada yang kurang jelas, bisa langsung hubungi Bu Maya." Sheila terdiam, dia tidak menyangka ibunya begitu kejam. Ini adalah orang yang sudah tidur satu ranjang dengannya selama lebih dari 20 tahun. Ayahnya yang telah sukses selama setengah hidupnya, sekarang terbaring diam di ranjang, membiarkan orang lain mengatur nasibnya. Melihat pria paruh baya yang telah memanjakannya selama lebih dari sepuluh tahun, Sheila merasa sangat kasihan. Itu adalah ayahnya. Meski sudah tidak ada harapan lagi, dia tidak bisa diam saja. Sheila meninggalkan rumah sakit dan langsung naik taksi ke rumah keluarga Saputra. Dia berdiri di depan pintu rumah keluarga Saputra. Menekan bel, tetapi tidak ada yang membuka pintu. Dia memasukkan kode sandi, tetapi muncul pesan bawah kodenya salah. Sheila mengerutkan dahi. Sejak bertengkar hebat dengan Maya enam tahun lalu dan meninggalkan rumah, dia belum pernah kembali. Tidak disangka, kode sandinya sudah diganti. Seorang pembantu wanita turun dari mobil sambil membawa bahan makanan dan melihat Sheila. Dengan ragu dia bertanya, "Nona Sheila?" Sheila menoleh, melihatnya sambil mengangguk sedikit. "Ya, sudah lama nggak pulang, aku lupa kode sandinya." Pembantu itu segera maju dan membukakan pintu untuk Sheila. Sheila masuk dan melihat sekelilingnya, tidak ada orang. Kemudian, pembantu mulai berbicara. "Nyonya sepertinya sedang keluar bersama adikmu." Pembantu itu berkata dengan agak canggung. Sheila mengangguk. "Oke, terima kasih." Pembantu itu tidak mengatakan apa-apa, hanya melirik dengan kasihan pada Sheila. Sheila tentu saja tidak peduli, dia langsung duduk di sofa. "Aku tunggu sampai dia kembali." Pembantu mengangguk, lalu membawa tas belanjanya ke dapur. Sesekali dia melihat ke ruang tamu, lalu menghela napas. Akhirnya, dia berkata dengan ragu, "Nona, apa kamu akan tinggal di rumah ini terus?" Sheila baru saja akan menjawab, ketika terdengar suara pintu terbuka dari arah koridor.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.