Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 10

"Sheila, kamu sudah datang. Ayo, cepat duduk." Yansen menyambutnya dengan hangat. Dia bahkan bangkit untuk menarik kursi bagi Sheila. Sheila tertegun sejenak. Dia duduk di kursi dan pelan-pelan mengucapkan terima kasih. Yansen tersenyum dan mengacak ubun-ubunnya. "Buat apa bilang terima kasih? Jangan begitu sungkan." Begitu dia selesai berbicara, Yansen merasakan tatapan dingin menatapnya. Dia menoleh dan tepat bertemu dengan tatapan tajam Luki yang menatapnya. Seluruh tubuhnya memancarkan hawa dingin. Yansen tidak bisa menahan diri untuk tidak menggigil. Dia dengan cepat menarik kembali tangannya dan duduk di kursi di sebelahnya. Sheila menyerahkan tas di tangannya kepada Yansen. "Pak Yansen, terima kasih atas bajumu semalam." Yansen melirik sekilas ke arah Luki, lalu mengambilnya. "Buat apa bilang terima kasih? Sebagai kakak memang sudah seharusnya begitu, hehe." Setelah selesai berbicara, dia tiba-tiba berdiri. "Eh, aku ke kamar mandi sebentar. Ini mendesak." Sebelum Sheila sempat bereaksi, Yansen sudah pergi. Untuk sesaat, suasana di ruang pribadi menjadi agak canggung. Sebelum Sheila sempat bilang mau pergi, dia sudah mendengar Luki berkata, "Duduk dan makan." Sheila menggelengkan kepalanya. "Nggak perlu, aku masih ada urusan." Luki berkata terus terang, "Apa benaran ada urusan atau nggak mau melihatku?" Sheila menundukkan kepala dan tidak berbicara. Luki menghela napas dengan pasrah. "Temperamenmu sama sekali nggak berubah. Begitu marah langsung nggak mau hiraukan orang." Begitu Sheila mendengar ini, dia tiba-tiba merasa tidak senang. "Temperamenku apa hubungannya sama kamu?" Ruang pribadi tiba-tiba menjadi sunyi. Sheila menyadari emosinya tidak tepat. Dia menundukkan kepala dan tidak bersuara. Luki bangun dan berdiri di depan Sheila. "Apa kamu masih marah sama aku karena aku pergi ke luar negeri dulu? Aku..." Sheila mendengarnya dan langsung menyela, "Aku punya hak apa buat marah?" Luki mengelus lembut kepalanya dan berkata dengan suara lembut, "Kamu belum cukup layak? Di dunia ini, cuma kamu yang paling layak." Sheila pun terdiam. "Sudahlah, cepat duduk dan makan. Aku sudah pesankan ikan asam manis kesukaanmu." Sheila tidak bergerak. Dia malah berkata dengan nada kesal, "Aku sudah nggak suka lagi! Sudah lama nggak suka." Luki terdiam sejenak. Dia tiba-tiba menyadari sesuatu. "Sheila, apa kabarmu selama ini?" "Baik apa nggak, semuanya sudah berlalu. Aku masih ada urusan, pergi dulu." Setelah itu, dia berbalik dan berjalan menuju pintu ruang pribadi. Setelah menantikan selama lima tahun, dia tiba-tiba menyadari bahwa pada akhirnya itu semua adalah kebohongan. Dia tidak tahu bagaimana cara menghadapi Luki. Saat itu di lobi restoran. Johan sedang bermain ponselnya dengan bosan. Dia sesekali menanggapi wanita yang duduk di seberangnya dengan berceloteh. "Johan, aku dengar Tante bilang waktu tahun kedua kamu kuliah, kamu sudah mulai belajar di perusahaan keluargamu, ya?" Johan menjawab dengan acuh tak acuh, "Itu diatur sama ibuku. Aku juga nggak mau." Anita juga menyadari bahwa Johan tidak tertarik padanya. Dia merasa agak kecewa. Sejujurnya, baik latar belakang keluarga maupun penampilan Johan, semuanya sesuai dengan keinginannya. Anita berpikir, mungkin dia harus lebih aktif. "Omong-omong, ada film yang baru tayang akhir-akhir ini. Besok kita pergi menonton bersama, ya." Mendengar itu, Johan tiba-tiba teringat bahwa sebelumnya Sheila sepertinya pernah bahas tentang pergi menonton film bersama. Dia pergi, tetapi membawa gadis lain ke sana. Dia membiarkan Sheila menunggunya di bioskop. Ketika keluar dari bioskop, dia melihat Sheila duduk dengan patuh di lobi tiket bioskop menunggunya. Kemudian, dia langsung membawa wanita itu ke hotel. Dia meminta Sheila untuk membeli kondom. Dia tidak ingat betul apa perasaan Sheila saat itu. Yang dia tahu adalah wanita itu marah. Pada akhirnya, dia tetap memberikannya dengan patuh. Padahal Sheila sangat patuh. Dia juga bisa melihat bahwa Sheila sangat peduli padanya. Namun, begitu memikirkan perjanjian antara Sheila dan ibunya, Johan langsung marah. Jadi, dia secara sepihak perang dingin dengan Sheila selama beberapa hari. Hingga dua minggu lalu, mereka putus. Mereka telah berpisah hampir 20 hari. Ini adalah pertengkaran terlama dalam tiga tahun. Memikirkan hal ini, Johan tidak bisa menahan rasa gelisah. Seketika dia menyesal telah mendengarkan ibunya datang untuk perjodohan yang konyol. Dia sama sekali tidak tertarik pada Anita. Kenapa dia harus datang dan membuang-buang waktu. Memikirkan hal ini, Johan tidak bisa tinggal sedetik pun. Dia melihat wanita di depannya yang masih berbicara tanpa henti. Lalu, dia memotong pembicaraannya, "Maaf, Nona Anita. Ada sedikit masalah sama proyek di perusahaan, aku harus kembali ke perusahaan sebentar." Sebelum dia selesai berbicara, dia tiba-tiba melihat Sheila turun dari lantai dua. Johan mengira dia salah lihat. Dia berkedip dan melihat lagi. Itu benar-benar Sheila. Dia menyeringai dan tersenyum angkuh. Masih saja bilang tidak peduli. Bukankah dia datang menemuinya? Tunggu dan lihat saja. Kali ini dia akan benar-benar memberi pelajaran pada Sheila. Saat Johan berpikir bagaimana cara menghukum Sheila, dia melihat seorang pria mengejarnya. Johan mengenal orang itu. Putra kedua keluarga Sutomo, Yansen. Tidak tahu apa yang dibicarakan Yansen pada Sheila. Dia mengelus lembut rambut Sheila. Tindakan ini membuat Johan marah. Dia langsung berdiri dan berjalan cepat ke arah Sheila. Tanpa menghiraukan calon pasangan kencannya yang ada di sana. Saat dia mendekat, dia mendengar Yansen berkata, "Jangan marah sama kakak. Itu semua kesalahan Luki yang mau ikut." Kakak? Selalu tenang dan terkendali pada dirinya sendiri, tetapi memanggil pria lain dengan akrab sebagai kakak. Bagus sekali! Johan sudah marah sampai hampir meledak. Dia tidak bisa mengendalikan amarahnya yang meledak-ledak. Dia berdiri di bawah tangga dan melontarkan sindiran pedas kepada Sheila. "Pantas saja kamu begitu cepat mau putus sama aku. Ternyata kamu sudah dekat sama orang lain?" Sheila menoleh. Mata mereka bertemu sejenak. Sheila lalu mengalihkan pandangan dan mengabaikan Johan. Yansen memandang rendah Johan, lalu meletakkan lengannya di bahu Sheila dengan santai. "Hei, Johan! Sepertinya kamu pikir Sheila mudah ditindas, ya?" Wajah Johan menjadi muram. Tatapannya terpaku pada lengan Yansen yang ada di bahu Sheila. "Kak Yansen, jangan tertipu sama wanita ini. Dia cuma incar uangmu saja." Yansen terkejut sejenak, lalu menatap Sheila dengan tatapan tidak percaya. "Sheila, benarkah? Kakak punya banyak uang, kamu coba tipu kakak saja." Sudut bibir Sheila bergetar. Dia merasa orang ini agak bodoh. Dia menepis tangan Yansen dengan hina. Melihat itu, Johan sangat marah. Apakah otaknya bermasalah? Johan membuka mulutnya. Namun, sebelum sempat berbicara, Yansen dengan berani berkata, "Sheila, kakak nggak seperti pria-pria pelit lainnya." Setelah mengatakan ini, dia juga menantang Johan dengan tatapannya. Sheila menjawab dengan acuh tak acuh, "Ya. Kamu berbeda. Aku harus pergi, sampai jumpa lagi." Sambil berkata begitu, dia bahkan tidak melihat Johan. Dia langsung berjalan menuju pintu restoran. Diabaikan di depan umum, wajah Johan langsung menjadi dingin. Bagus sekali! Nyalinya makin besar saja! Johan menatap Yansen dengan tajam. Dia lalu berbalik dan mengejar Sheila. Yansen menatap punggung Johan dan mulai berpikir. Tidak normal. Mereka berdua sangat tidak normal.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.