Bab 8
Vila Atlanta adalah kawasan vila mewah yang sangat bernilai tinggi.
Victoria terkesima dengan kekayaan Julian.
Tantenya lumayan kaya, tetapi itu milik keluarga Benedict, bukan milik Victoria. Nama keluarga Victoria adalah Florence.
Kalau dia bisa mendapatkan pekerjaan yang bisa menafkahi dirinya sendiri, dia akan punya kepercayaan diri untuk keluar dari cengkeraman tantenya ...
Setelah mengikuti navigasi dan sampai ke tujuan, Victoria memarkir mobil, menoleh untuk memanggil Julian, tetapi dia melihat kalau pria itu sudah tertidur.
Kepalanya agak miring, menampilkan garis-garis wajah yang tampan dan tenang.
Entah kapan dasinya ditarik olehnya dan menggantung longgar di lehernya. Bahkan beberapa kancing di depannya juga terbuka.
Ada sedikit kesan malas, tetapi juga seksi.
Victoria hanya melihat beberapa detik, lalu menepuknya. "Pak Julian, kita sudah sampai."
Julian yang tertidur nyenyak tampak bingung sejenak saat membuka matanya. Tatapannya tanpa kewaspadaan dan sangat tidak agresif.
Namun, dalam sekejap, ekspresinya kembali dingin dan tajam seperti biasanya. "Ya, makasih."
Dia turun dari mobil, tetapi langkahnya tidak begitu stabil. Awalnya Victoria hanya berniat mengantarkannya sampai pintu vila, tetapi melihat kondisinya sekarang, dia mulai merasa khawatir.
"Apa ada orang di vilamu yang menjagamu?" tanya Victoria.
"Nggak ada."
"Gimana dengan pembantu?"
"Nggak ada."
Meski Julian agak mabuk, etika minumnya sangat baik. Dia tidak bertindak konyol dan hanya berdiri di sana dengan sikap tenang yang mengejutkan.
Victoria menghela napas. "Sudahlah, aku akan mengantarmu masuk."
Setelah mengatakan itu, dia khawatir disalahpahami dan langsung berkata, "Aku jelasin lebih dulu, ya. Aku nggak punya maksud lain, cuma khawatir kalau terjadi sesuatu padamu di tanganku, aku nggak bisa bertanggung jawab atas itu."
Julian sepertinya merasa Victoria terlalu cerewet, jadi dia melangkah beberapa langkah ke depan. Victoria mengejarnya dan membantunya, Julian juga tidak menolak.
Keduanya masuk ke dalam vila yang besar dan mewah, tetapi terasa dingin dan tidak ada kehangatan manusia.
Victoria membantunya duduk di sofa ruang tamu. "Mau aku anterin ke kamar nggak?"
Julian membuka matanya dan menatap Victoria dengan tatapan aneh.
Victoria membelalakkan matanya. "Kamu mikir apa, sih? Meski aku tertarik sama tubuhmu, aku nggak akan memanfaatkan keadaan ini. Lagian aku nggak tertarik sama orang yang mabuk!"
Kemudian dia berkata pelan, "Katanya orang yang mabuk nggak kuat di ranjang ... "
Julian berkata dengan nada yang muram, "Kalau kamu katakan sekali lagi, aku akan menunjukkan padamu apa aku kuat atau nggak."
Wajah Victoria terasa panas, tetapi dia berusaha tampak tenang. "Aku nggak tertarik padamu hari ini. Kamu terlihat bersemangat, jadi aku nggak akan mengantarmu ke atas. Aku pulang dulu, ya."
Dia juga tidak tahu apa di jam segini dia bisa mendapatkan taksi atau tidak.
Saat dia hendak perrgi, Julian tiba-tiba berkata dengan lembut, "Kamu bisa masak?"
Victoria bingung.
"Masakin aku apa saja, aku agak lapar."
"Memasak itu perlu biaya tambahan. Transfer dulu 2 juta ke aku sebagai tanda keseriusanmu."
Dapurnya sangat bersih dan rapi. Semua peralatan yang diperlukan juga ada.
Victoria menemukan sebuah celemek, membuka lemari es, dan menemukan hanya ada bahan-bahan makanan dasar yang paling sederhana, tetapi masih segar. Mungkin ini disiapkan oleh pembantu yang datang membersihkan setiap hari.
Dia memutuskan untuk membuat mie kuah yang paling sederhana. Makan ini setelah minum alkohol akan membuat perutnya hangat. Sebenarnya, tadi Julian tidak makan banyak. Mungkin dia juga tidak punya nafsu makan karena terus diajak bicara oleh tantenya.
"Apa kamu selalu seperti ini?" tanya Victoria.
Dapur ini adalah tipe terbuka. Julian yang duduk di sofa di luar ruang tamu berbalik dan menatapnya. Dia terlihat bingung.
"Apa?"
"Waktu ada pertemuan bisnis, kamu nggak makan banyak dan cuma minum alkohol."
"Perut kosong membuat pikiranku tetap jernih."
Sebenarnya, minum alkohol dengan perut kosong justru membuat lebih mudah mabuk. Victoria sangat memahami hal ini.
Entah sudah berapa lama Julian berlatih agar bisa bertahan dengan perut kosong selama acara tanpa mabuk total.
Setelah berpikir seperti itu, Victoria merasa hidup pria yang terlihat perkasa ini juga cukup sulit.
Setelah Victoria menyajikan semangkuk mi panas, dia juga mengambil segelas teh dan meletakkannya di dekat tangan Julian. "Ini teh pereda mabuk buatanku. Minumlah biar kamu nggak sakit kepala besoknya."
Julian meminum seteguk tanpa memberikan pujian atau kritik.
"Aku nggak menyangka kamu juga bisa melakukan hal-hal seperti ini."
"Sejak kecil, tanteku sangat keras padaku. Aku harus belajar semua hal, bahkan menjahit pakaian kayak gini saja bisa. Kamu percaya nggak?" Victoria bercanda sambil mengolok-olok dirinya sendiri.
Julian tertawa dengan nada datar. "Kalau gitu, Lucas benar-benar kehilangan calon istri yang baik."
Victoria menyandarkan tangan di dagunya dan matanya berkedip-kedip. "Sekarang kamu punya kesempatan buat punya istri yang sempurna kayak gini. Gimana? Apa aku sudah membuatmu terpesona?"
Julian tidak tertawa dan hanya menatapnya dengan tenang. Matanya yang gelap tampak bergerak.
Victoria merasa agak gugup karena diperhatikan.
"Aku bercanda, kok. Aku tahu diri. Kamu pasti cuma akan menikahi wanita yang sepadan denganmu."
Julian tidak merespons lagi dan mulai menundukkan kepala untuk memakan minya.
Sebenarnya, sejenak dia berpikir tentang kata-kata Victoria.
Kalau Victoria adalah istrinya, dia mungkin akan menjadi istri yang baik. Hari-hari mereka akan seperti malam ini, biasa, sederhana, dan penuh kehangatan ...
Namun, pikiran itu segera menghilang.
Menikahi Victoria?
Heh, dia pasti gila.
Victoria melihat waktu dan berdiri. "Kalau aku sudah nggak diperluin lagi, aku akan pulang dulu."
"Kamu yakin mau pulang?"
Julian berkata dengan tidak jelas sehingga Victoria menatapnya dengan bingung.
Dia mengangkat mangkuk mi dan meminum habis semua kuahnya. Sepertinya kemampuan masak Victoria sangat cocok dengan seleranya.
Setelah meletakkan mangkuk itu, dia mengambil tisu untuk mengelap sudut bibirnya dengan sikap yang anggun dan berkelas. Setelah beberapa saat, dia berkata dengan tenang, "Kamu benar-benar berpikir kalau tantemu meninggalkanmu cuma untuk menjadi sopirku dan mengantarku pulang? Kalau kamu pulang malam ini, gimana tantemu akan memperlakukanmu?"
Victoria langsung merasa darahnya naik ke wajahnya.
Benar juga. Kenapa dia tidak memikirkan hal ini?
Dia tersenyum sinis, "Jadi, apa yang Pak Julian inginkan? Menganggapku sebagai barang dagangan juga? Menerima kebaikan dari tanteku dan menikmatiku malam ini? Apa aku harus naik ke lantai atas untuk mandi dan menghangatkan tempat tidurmu?"
Julian tiba-tiba merasa senyumnya sangat menusuk. Dia tidak suka melihat Victoria yang seperti ini.
Ada rasa putus asa dan penghancuran diri.
Julian mengalihkan pandangannya. "Sekarang sudah larut, sulit buat dapat taksi di sini, dan nggak aman bagi seorang gadis untuk tinggal di luar. Ada kamar tamu di sini, kamu bisa menginap di sini malam ini. Besok aku akan menyuruh Bryan untuk mengantarmu pulang."
Setelah itu, dia menambahkan lagi. "Jangan khawatir, aku nggak akan mengganggumu."
Akhirnya Victoria menerima tawarannya dan tidur di sana.
Kamar tidur tamu berada di sebelah kamar tidur utama Julian.
Lemari pakaian di kamar tamu kosong, jadi dia memesan beberapa pakaian sehari-hari secara online. Setelah mandi, dia langsung berbaring.
Victoria bisa tidur di mana saja, jadi begitu menyentuh bantal, dia langsung tertidur nyenyak semalaman. Pagi hari berikutnya, dia mendengar suara air yang samar-samar, lebih tepatnya suara riak air.
Victoria membuka matanya dan berjalan ke sisi jendela mengikuti suara itu. Dia menarik tirai dan melihat kolam renang luar ruangan yang luas di bawahnya dengan air biru yang jernih. Ada sosok tubuh yang panjang dan kekar di dalamnya.
Ternyata Julian sedang berenang.
Victoria berganti pakaian dan pergi ke tepi kolam renang untuk berpamitan dengannya.
Pria dengan pinggang kecil dan lengan yang kuat itu hanya mengenakan celana renang ketat dengan topi dan kacamata renang di kepalanya. Tubuhnya menunjukkan kekuatan dan hormon maskulin saat berolahraga.
"Pak Julian, makasih sudah menampungku semalam. Aku akan pergi dulu," kata Victoria sambil berdiri di tepi kolam renang.
Julian berenang satu putaran lagi dan akhirnya muncul dari permukaan air. Tetesan air di kulitnya berkilau terkena sinar matahari. "Tunggu bentar lagi, sopir akan datang. Biarkan sopir mengantarmu."
Dalam beberapa hal, dia benar-benar seorang pria yang sopan dan berkelas.
Victoria menjawab, "Kalau gitu, lebih baik aku dengerin kamu saja."
Pada saat itu, ponsel Victoria berdering. Victoria pergi ke samping dan mengangkatnya. Itu adalah telepon dari agen properti yang dia cari sebelumnya.
"Maaf, Nona Victoria, rumah yang sudah disepakati sebelumnya nggak bisa disewakan ke Nona."
"Kenapa? Apa ada masalah sama harga sewanya? Kalau ada masalah lainnya, kita bisa membicarakannya lagi."
Orang di balik telepon berkata dengan terbata-bata, "Bukan ... bukan nggak bisa disewa, tapi nggak bisa disewakan ke Nona. Saya sungguh minta maaf."
Victoria menggigit bibirnya dan bertanya, "Apa ini atas perintah tanteku?"
"Tolong jangan bertanya lagi. Kami juga hanya bekerja untuk orang lain. Maafkan kami!"
Telepon terputus dan nada sibuk terdengar di telinga.
Victoria terpaku di tempat dengan wajah murung.
Beberapa hari yang lalu, dia berhasil mendapatkan pekerjaan di Universitas Hosford. Setelah liburan musim dingin ini berlalu, dia akan bisa memulai kehidupan baru di musim semi mendatang.
Dia ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk pindah dari rumah tantenya saat ini, tetapi Agatha tidak setuju.
Reaksi Agatha sangat keras. Dia bahkan mengurung Victoria selama lebih dari sepuluh hari.
Agatha takut Victoria lepas dari kendalinya. Dia hanya ingin agar investasi 20 tahunnya tidak sia-sia. Victoria harus menikah dengan calon suami yang dipilih oleh Agatha, idealnya yang juga bisa memberikan manfaat bagi perusahaan keluarga Benedict.
Victoria termenung di tempat. Dia bahkan tidak menyadari saat Julian melewatinya.
"Kenapa? Mau sewa rumah?" tanya Julian asal.