Bab 6
Selama beberapa hari pemulihan lukanya, Victoria hanya berdiam di rumah.
Namun, dia juga tidak hanya berdiam diri. Dia terus mengirim pesan kepada Julian untuk menunjukkan keberadaannya.
Namun, Julian jarang membalasnya. Kebanyakan dia hanya menjawab dengan "ya", "lihat nanti", atau "aku mengerti". Lebih sering lagi, dia hanya membaca pesan tanpa membalas.
Victoria merasa kalau pria ini sangat pelit dalam berkata-kata sampai membuat orang kesal.
Satu minggu kemudian, Agatha akhirnya menunjukkan sikap yang lebih ramah pada Victoria.
"Gimana luka di punggungmu? Sudah sembuh?"
Victoria menjawab, "Sudah hampir sembuh."
"Baguslah." Agatha memerintahkan kepada Bi Dina di dapur, "Suamiku mau makan bubur dan salmon mentah besok. Tapi karena Ria terluka, makanan ini nggak baik untuknya. Buatkan makanan lain untuk Ria."
Bi Dina mengiyakannya.
Victoria mengenal sifat tantenya. Tantenya ini adalah orang yang keras kepala dan tidak pernah mau merendahkan diri untuk minta maaf duluan. Oleh karena itu, perhatian seperti ini adalah cara tantenya untuk menurunkan egonya.
Victoria baru saja merasa terharu, tetapi Agatha langsung berkata dengan misterius, "Teluk Gilneas sudah diakuisisi sama Elliot. Kamu tahu hal ini nggak?"
Victoria terkejut.
Agatha berkata, "Bukannya kamu berteman sama Julian? Coba cari tahu rencana pengembangan Elliot selanjutnya. Usahakan bantu Tante untuk mendapatkan proyek lain."
Hati Victoria yang tadinya hangat tiba-tiba menjadi dingin.
Ternyata tantenya baik padanya karena ingin memanfaatkan hubungannya dengan Julian demi keuntungannya.
"Aku nggak terlalu akrab dengannya." Victoria menatap plester yang baru saja diberikan oleh Agatha ke tangannya. Tiba-tiba plester ini terasa sangat berat di tangannya.
Ekspresi Agatha menjadi dingin. "Nggak akrab tapi bisa mengantarmu pulang? Pria dan wanita berduaan sampai larut malam, tapi kamu bilang nggak akrab? Aku membesarkanmu, tapi ini caramu membalas budi padaku? Aku nggak mengajarimu untuk jadi orang yang nggak tahu berterima kasih."
Kuku Victoria hampir menusuk telapak tangannya.
Setelah beberapa saat, dia baru berkata, "Aku akan berusaha sebaik mungkin."
"Dalam dua hari lagi, akan ada acara pemotongan pita di area wisata dan Julian akan hadir sebagai pemegang saham utama. Kamu juga ikut denganku."
Agatha melemparkan dua undangan ke atas meja, lalu pergi ke lantai atas.
Dua hari kemudian, Victoria menghadiri acara pemotongan pita bersama Agatha.
Upacara diadakan di dalam kawasan wisata.
Sebuah panggung sementara didirikan di atas lapangan rumput yang luas. Elliot, sebagai perusahaan besar, mengatur acara dengan sangat mewah.
Selain mitra dan investor, banyak media ternama yang juga diundang. Para wartawan membawa kamera besar dan lampu kilat terus-menerus berkedip.
Julian memberikan pidato di atas panggung, sementara Victoria melihatnya dari bawah dan merasa kalau pria ini benar-benar seorang anak kesayangan langit.
Dengar aura yang elegan dan penampilan yang luar biasa, dia bisa membuat banyak wanita tergila-gila dengan mudah. Namun, tatapan matanya dengan jelas menunjukkan kalau dia adalah orang yang tenang, cerdik, dan punya ambisi besar. Tidak ada yang bisa menjatuhkannya dengan mudah dari singgasananya.
Setelah Julian selesai berpidato, dia turun dari panggung.
Victoria merasa pria ini sempat melirik ke arahnya, tetapi dia menganggap itu hanya ilusi.
Setelah acara pemotongan pita selesai, acara dilanjutkan dengan pesta kecil yang memudahkan semua orang untuk berinteraksi.
Victoria membawa dua gelas sampanye dan memberanikan diri untuk mendekati Julian.
Victoria mendekat dan menyerahkan salah satu gelas sampanye yang ada di tangannya kepada Julian. "Pak Julian, mau minum bersamaku?"
Julian meliriknya dengan dingin, lalu mengambil sampanye itu.
"Tantemu membawamu ke sini hari ini, dia tertarik sama bos mana lagi?"
Victoria terkejut. Pria ini langsung mengungkapkan kenyataan pahitnya.
Dia menjawab dengan nada setengah bercanda, "Dia tertarik sama kamu, jadi dia menyuruhku menggodamu."
Julian tertawa. "Kalau gitu, sebaiknya kamu menyerah sekarang. Nilaimu di mataku nggak setinggi itu."
Victoria merasa Julian agak kasar hari ini. Apa dia melakukan sesuatu yang membuat pria ini marah lagi?
"Kalau hari ini aku nggak datang ke acara pemotongan pita ini, aku nggak akan tahu kalau aku dan Nona Victoria ternyata punya hubungan sedekat ini."
"Apa?"
"Nggak perlu pura-pura bodoh, Nona Victoria. Tantemu bilang ke mana-mana kalau kamu punya hubungan yang nggak biasa denganku. Dia mengatakan ini untuk menjalin relasi dengan para pemegang saham. Apa kamu nggak tahu?"
Julian menatapnya dengan mata menyipit dan senyum yang sinis.
Meski suaranya pelan, Victoria bisa merasakan kebencian di dalamnya.
Victoria menarik napas dalam-dalam. "Aku benar-benar nggak tahu."
Julian jelas tidak percaya.
"Kamu sengaja meneleponku untuk membuatku mendengar waktu kamu dihukum tantemu? Apa itu cuma trik? Atau mungkin sebenarnya tantemu nggak menghukummu sama sekali dan kalian berdua bekerja sama untuk berakting?"
Teguran mendadak ini membuat Victoria bingung.
Namun, dia segera teringat sesuatu.
Pada malam dia menelepon Julian, keesokan harinya dia melihat durasi panggilan itu bertahan selama tujuh hingga delapan menit, padahal dia ingat kalau dia hanya berbicara sebentar dan segera menutup telepon. Dia sempat mengira itu hanya kesalahannya karena sedang demam.
Tanpa disangka, ada kesalahpahaman di antara mereka.
Julian berkata, "Jangan gunakan trik murahan kayak gini. Kalau kamu ingin sesuatu dariku, lebih baik langsung minta saja. Kemungkinan suksesmu lebih besar."
Meski Victoria adalah orang yang sangat tidak tahu malu, tetapi saat ini dia sudah tidak bisa menahannya lagi.
"Mau kamu percaya atau nggak, aku benar-benar nggak tahu apa yang tanteku katakan atau lakukan. Aku akan menyampaikan padanya agar nggak menggunakan namamu lagi. Aku dan Pak Julian nggak terlalu akrab, siapa pun yang punya mata pasti bisa melihatnya."
Setelah mengatakan itu, dia berbalik untuk pergi.
Siapa sangka dia menabrak pelayan yang lewat. Kakinya tersandung dan jatuh ke tubuh Julian.
Hari ini dia mengenakan gaun pesta tanpa lengan, dengan bulu putih yang menggulung di bagian bawah gaun. Tubuhnya yang anggun tampak polos dan menggoda. Saat dia jatuh, tubuh bagian atasnya hampir menempel pada Julian.
Begitu Julian menundukkan kepalanya, dia bisa melihat pemandangan yang indah.
Julian mengalihkan pandangannya.
Awalnya, dia agak menolak kedekatan Victoria. Dia tidak punya pikiran aneh apa pun.
Namun, tiba-tiba muncul sebuah perasaan aneh yang tidak bisa dia tahan.
Dia bukan tipe pria yang langsung kehilangan kendali begitu bersentuhan dengan wanita. Meski pernah tidur bersama Victoria dan mengakui kalau dia tertarik pada fisiknya, tetapi itu belum sampai pada titik di mana sedikit rangsangan bisa membangkitkan hasratnya.
Dia menyadari ada yang aneh dengan tubuhnya. Reaksinya ini bukan karena pikiran kotornya, tetapi karena ada yang salah dengan tubuhnya.
Dia meremas lengan Victoria dan berkata dengan gigi terkatup, "Kamu kasih aku minuman apa?"
Tanpa menunggu reaksi Victoria, dia menyeretnya ke ruang istirahat.
Pintu ditutup dengan keras sehingga suara orang dari luar langsung terisolasi.
Melihat bola mata Julian yang mulai memerah, Victoria agak panik. Dia mengambil minuman dari pelayan, apa minumannya sudah dicampur oleh sesuatu?
"Te, tenang dulu ... Aku akan cari dokter ... "
Begitu dia mengatakan itu, tiba-tiba tubuhnya terasa dingin.
Gaunnya tiba-tiba dirobek, memperlihatkan kulit putih di antara udara dingin.
Victoria sangat terkejut dan ingin melawan, tetapi tangannya dipegang oleh Julian. Perbedaan kekuatan antara pria dan wanita sangat besar, bahkan gerakan itu membuat luka di punggungnya terasa lagi.
"Aduh! Sakit!" Mata Victoria mulai berkaca-kaca.
Julian merasa dia sedang berpura-pura. "Belum mulai, tapi sudah teriak kesakitan? Bukannya ini yang kamu inginkan?"
Begitu Julian mengatakan itu, dia melihat luka bekas cambukkan di punggung Victoria.
Sudah mengering, tetapi masih mencolok di kulit putihnya yang halus.
Sepertinya wanita ini menggunakan bedak untuk menutupinya demi menghadiri acara ini.
Tiba-tiba perasaan Julian menjadi rumit. Tanpa sadar, gerakannya menjadi lebih lembut.
Setelah kekacauan ini selesai, Victoria pergi ke sudut ruangan, dan diam-diam mengenakan kembali gaunnya dengan membelakangi Julian. Namun, dia tidak bisa menarik resletingnya.
Saat dia berusaha menarik resletingnya, Julian mendekat dan membantunya menarik resletingnya.
Tangannya yang hangat menyentuh Victoria dan membuatnya tersentak seperti terkena sengatan listrik sehingga dia langsung menghindar. "Pelayan yang kasih minuman itu ke aku. Aku juga nggak tahu ada yang salah sama minumannya."
Julian yang biasanya dingin dan tegas, kali ini merespons dengan lembut. "Aku mengerti."