Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 5

Saat Victoria berpikir Julian akan melakukan sesuatu, ponsel di saku Julian bergetar. Julian mengangkat telepon. "Ada apa?" "Kamu di mana? Baru duduk bentar sudah hilang lagi. Jangan-jangan kamu pergi menggoda cewek, ya?" Suara Lucas di telepon terdengar sangat jelas di lingkungan yang sepi. Julian melirik Victoria dan bertanya dengan maksud tertentu melalui telepon, "Apa yang kamu khawatirkan?" "Khawatirkan apa? Jangan narsis, deh. Siapa yang khawatirin kamu." "Kamu khawatir aku bersama siapa?" "Aku nggak mengerti maksudmu. Datanglah kalau mau datang. Mengajakmu keluar saja sampai harus sampai tiga kali mengajak." Lucas memarahinya lalu menutup telepon. Namun, keduanya sangat mengenal kepribadian Lucas, Lucas sedang merasa bersalah. Victoria tiba-tiba tertawa. "Orang yang nggak tahu, bakal berpikir kalau kalian berdua itu pacaran." Julian meliriknya sekilas. Lampu sensor suara sudah menyala lagi dan suasana mesra tadi sudah hilang sepenuhnya. Julian mendorong pintu keluar. "Ayo pergi." Dia kembali ke sosoknya yang dingin dan angkuh, menolak siapa pun yang mendekat. Victoria mengikutinya sambil melihat punggungnya yang tinggi dan ramping, bahunya yang lebar dengan pinggang yang ramping, dan tubuhnya yang setinggi model. Setelan jas abu-abu tua yang dikenakannya memancarkan aura tenang dan dewasa, dengan potongan yang pas di tubuhnya, menonjolkan garis tubuhnya yang tegap dan ramping. Lipatan yang tajam menambah kesan yang angkuh dan menekan sama seperti orangnya sendiri. Julian mengantar Victoria kembali ke Vila Eldoria, yaitu vila tempat dia tinggal bersama om dan tantenya sekarang. Victoria tidak memberi tahu Julian kalau tantenya pasti tidak akan memaafkannya karena dia tidak pulang dengan Derick. Ini adalah urusan keluarganya. Julian bisa membantunya sekali atau dua kali, tetapi kalau terlalu sering, bahkan dewa pun akan merasa terganggu, apalagi Julian. Tebakan Victoria tidak salah. Setelah sampai di rumah, Agatha memerintahkan Victoria untuk berlutut di ruang kerja. Tidak ada pemanas di ruang kerja. Udara di musim dingin benar-benar menusuk tulang. Victoria masih mengenakan gaun malam. Tadinya dia mengenakan mantel bulu untuk menahan udara dingin di luar, tetapi begitu sampai di rumah, dia melepasnya dan memberikannya kepada Bi Dina karena suhu pemanas di dalam vila cukup tinggi. Oleh karena itu, saat masuk ke ruang kerja, tubuhnya langsung menggigil. Dia kedinginan. Victoria berlutut di lantai dengan pasrah. Tubuhnya langsung menjadi kaku. Meski ada karpet di atas lantai kayu, tetapi lututnya tetap terasa sakit. Pintu ruang kerja terbuka dan Agatha masuk dengan membawa cambuk. "Lepaskan bajumu. Gaun mahal kayak gini nggak pantas rusak cuma untuk menghukummu." Victoria menurut, melepas gaunnya, dan membiarkan sebagian besar kulitnya terpapar udara. Dingin. Dia juga ... merasa terhina. Cambukkan dan makian berlangsung selama lebih dari 40 menit. Akhirnya, Agatha merasa lelah, meninggalkan Victoria di ruang kerja, dan pergi istirahat ke kamarnya. Malam ini Agatha minum banyak alkohol, jadi cambukkannya lebih kejam dari biasanya. Kaki Victoria sudah mati rasa sejak lama. Dengan tangan yang gemetar, dia mengambil gaun yang tergeletak di samping, menutupi tubuhnya, lalu duduk di ruang kerja selama beberapa saat sampai kakinya perlahan pulih. Dia berusaha berdiri, tetapi segera terjatuh lagi. Luka di punggungnya terasa sangat menyakitkan seolah kulitnya terbelah. Tepat pada saat itu, Bi Dina masuk dan sangat terkejut. "Ya ampun, kenapa Bu Agatha bisa melakukan hal sekejam ini!" Bi Dina mendekat dan membantu Victoria. Saat melihat luka di punggung Victoria, matanya langsung menjadi merah. Di rumah ini, Bi Dina lebih peduli pada Victoria daripada Agatha yang merupakan tantenya. Victoria dibantu oleh Bi Dina untuk kembali ke kamarnya. Dia sudah tidak kuat lagi. Begitu sampai di tepi tempat tidur, seluruh tubuhnya langsung terkulai di atas tempat tidur. Tiba-tiba dia merasa tubuhnya sangat berat dan lelah. Dia juga sangat mengantuk. Namun, dia tetap memaksa dirinya untuk bertahan. Dengan sisa kesadarannya, dia mengambil ponselnya dan menelepon Julian. Setelah lima atau enam deringan, telepon itu diangkat. "Halo." Suara pria yang rendah terdengar di telinganya. Victoria berusaha menguatkan diri dan mencoba agar suaranya terdengar normal. "Pak Julian, ini aku, Victoria. Kamu sudah sampai di rumah dengan selamat?" "Sudah, baru saja sampai." "Makasih untuk malam ini ... Aku berutang budi padamu. Kapan kamu senggang? Aku akan mentraktirmu makan." "Lihat nanti." Julian berhenti sejenak, lalu bertanya, "Kamu mengantuk?" Meski Victoria berusaha keras untuk menutupinya, suaranya tetap terdengar lemah dan terputus-putus seperti orang yang sangat mengantuk. "Ya ... Mungkin karena minum terlalu banyak alkohol malam ini." "Istirahatlah lebih awal." Seperti biasa, Julian berbicara dengan nada dingin dan singkat. Setelah berpamitan, Victoria meletakkan ponselnya dan berbaring kembali di atas bantal. Pada saat itu, Bi Dina masuk ke dalam dengan membawa iodin dan obat luka. Melihat wajah Victoria yang pucat, kulitnya memerah, dan bibirnya pecah-pecah serta pucat, Bi Dina mendekat dan meraba dahinya. "Ya ampun! Kenapa panas banget! Saya harus memberi tahu Bu Agatha! Kita harus pergi ke rumah sakit!" "Jangan ... ah!" Victoria segera menghentikannya, tetapi malah membuat luka di punggungnya terbuka lagi. Meski harga dirinya tinggi dan bersikap angkuh, Victoria tetaplah gadis yang lemah dan manja. Saat merasa sakit, air matanya langsung mengalir. Dia menangis sambil merengek kesakitan. Bi Dina segera kembali, lalu berkata dengan khawatir dan gelisah, "Ya sudah, nggak usah ke rumah sakit. Bi Dina akan olesin obat buat Nona. Nanti makan obat anti peradangan dan tidurlah dengan nyenyak." Tidak ada yang menyadari kalau ponsel Victoria masih dalam mode panggilan. Victoria tidak menyadarinya karena sedang demam, jadi dia tidak menutup telepon duluan dan ponselnya jatuh ke samping bantal. Di sisi lain, Julian menunggu dengan sopan agar Victoria menutup telepon duluan. Namun, kemudian dia mendengar suara Bi Dina saat memeriksa tubuh Victoria. Sakit? Pantas saja tadi suaranya terdengar sangat lemah. Julian bukan orang yang suka ikut campur urusan orang lain. Lagi pula, itu hanya demam, itu tidak ada hubungannya dengannya. Namun, entah kenapa, dia tidak menutup teleponnya dan terus mendengarkan suara di seberang sana. Setelah mendengarkan lebih lama, dia akhirnya menyadari kalau Victoria mungkin baru saja dipukuli setelah kembali ke rumah. Mereka mengirimkan keponakan mereka sendiri kepada pria tua mesum itu dan karena keponakannya tidak memenuhi keinginan mereka, mereka langsung memukulinya? Keluarga ini sungguh luar biasa. Bryan Darren, asisten Julian, duduk di kursi penumpang depan. Dia memberikan sebuah berkas kepada Julian. "Pak Julian, lihatlah laporan kali ini ... " Julian mengangkat tangannya untuk menghentikannya. Bryan segera menutup mulutnya. Dari balik telepon, suara tangisan Victoria masih terus terdengar dengan suara yang lemah. Demam tinggi membuatnya lemas sehingga dia terdengar seperti kucing kecil yang lemah. "Bi Dina ... sakit banget ... " "Bibi harus gimana ... Bi Dina ada di sini, Bi Dina akan menemani Nona ... Kalau Nona nangis, Bi Dina juga jadi ingin nangis. Kenapa Bu Agatha bisa tega memukul gadis yang baik dan cantik ini?" Tidak lama kemudian, tangisan Victoria perlahan mereda. Sepertinya dia sudah tertidur. Namun, meski sudah tertidur, masih terdengar suara isakkan kecil yang pelan. Saat itu, Julian baru menutup teleponnya. Bryan kembali menyerahkan berkas itu kepada Julian. Julian mengambilnya dan membacanya dengan serius. Namun, tanpa sadar dia bertanya, "Apa pendapatmu tentang proyek pengembangan pariwisata di Teluk Gilneas?" Bryan terkejut. Entah kenapa Pak Julian tiba-tiba menanyakan hal ini. Setelah berpikir sejenak, dia ingat kalau proyek pembangunan tempat peristirahatan di Teluk Gilneas telah dimenangkan oleh keluarga Benedict. Belakangan ini, Pak Julian juga dekat dengan keponakan keluarga Benedict. Apa Pak Julian ingin membantu keponakan itu? "Baru-baru ini, ada kebijakan yang berfokus pada pengembangan daerah baru. Saya pikir kita bisa meminta perusahaan investasi pariwisata kita untuk mengevaluasinya. Tapi kalau Anda ingin membantu perusahaan Grup Benedict, itu akan benar-benar menyia-nyiakan sumber daya besar." Julian menatap ke depan. Matanya yang hitam seperti batu obsidian berkilauan dengan cahaya yang samar. "Siapa bilang aku akan membantu Grup Benedict? Memangnya Grup Benedict pantas?" Bryan langsung minta maaf. "Maaf, saya terlalu cepat mengambil kesimpulan." Dia sangat ketakutan. Kalau dipikir-pikir, itu juga benar. Dia sudah delapan tahun bekerja di bawah Julian dan belum pernah melihat Julian memberikan perlakuan istimewa kepada siapa pun karena skandal percintaan. Julian tidak akan memberikan keuntungan hanya untuk sedikit kesenangan. Pak Julian selalu memprioritaskan karier, terkenal sebagai sosok yang tegas dan tidak memihak, dingin dan tanpa perasaan. Satu-satunya pengecualian adalah orang dari keluarga Walton. Katanya, orang dari keluarga Walton itu akan segera kembali ke Eclanta ...

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.