Bab 8
Satu jam kemudian, aku berada di ruang gawat darurat bedah tulang di Rumah Sakit Universitas Hamberlin.
Seorang dokter tua berambut putih dan berwajah sangat ramah sedang memegang lenganku.
Dia mengangguk kepada pria yang berdiri di sampingnya dengan sopan. "Ini terkilir."
Pria itu mengangguk. "Pak Dyan, kemampuan tangan Anda dalam mengobati tulang sudah terkenal. Apa Anda bisa menyembuhkannya?"
Dyan memandangnya dengan penuh arti. "Dasar anak nakal, kamu selalu menggunakan kebaikanku untuk diberikan ke mana-mana."
Dia berbicara sambil perlahan memutar lenganku, lalu bertanya, "Nak, apa anak nakal itu mengganggumu?"
Aku diam-diam menatap pria itu, lalu segera menggelengkan kepala. "Nggak, aku ... aku nggak kenal dia."
Dyan tertawa dengan riang. "Nggak kenal? Kamu nggak kenal anak nakal ini, tapi dia sampai secemas ini sama kamu?"
Aku teringat bagaimana aku kehilangan kendali dan merenggut kerah jas pria ini sambil menangis dengan keras. Aku malu dan menundukkan kepala.
Dengan suara "krak" yang keras, sebelum aku sempat menjerit, rasa sakit di lenganku sudah lenyap begitu saja.
Aku terkejut sampai berdiri dan menggerakkan lenganku.
Sudah tidak sakit lagi?
Kenapa bisa seajaib ini?
Dyan tersenyum ramah dan berkata, "Gerakan saja, sudah sembuh, kok."
Aku perlahan-lahan mengulurkan tangan dan memutarkannya dengan hati-hati.
Ternyata benar!
Sudah tidak sakit sama sekali.
Aku segera membungkuk dan mengucapkan terima kasih, "Terima kasih, Pak Dyan!"
Aku tidak bodoh.
Orang tua yang ramah ini adalah ahli ortopedi terkenal di Kota Hamberlin.
Berapa banyak pejabat dan orang kaya yang mencari bantuan dari ahli ortopedi ini dengan mati-matian?
Dokter Dyan sangat baik hati, dia memberikan kebanyakan waktunya untuk pasien biasa.
Setiap pasien hanya dikenakan biaya 2 ribu. Selama lebih dari 50 tahun, Dyan tetap memegang teguh prinsip hanya menyembuhkan penyakit tanpa mencari keuntungan.
Pasien dengan penyakit langka yang telah disembuhkan olehnya mungkin sudah berjumlah puluhan ribu.
Namun, karena gaya kerjanya seperti itu, bisa mendapatkan prioritas untuk diperiksa olehnya itu hampir mustahil.
Aku menatap seorang pria tampan yang tersenyum manis di sebelahku.
Dia tampak berusia sekitar 27 atau 28 tahun dan terlihat lebih dewasa daripada Albert.
Setelan jas hitam abu-abu yang dipakainya sangat rapi dan tubuhnya proporsional sempurna.
Wajahnya bersih, tampan, dengan aura sopan dan berwibawa. Kacamata setengah bingkai bertengger di hidungnya yang mancung sehingga makin menonjolkan kedalaman di matanya.
Saat dia sedang bercanda dan bercakap-cakap dengan Dyan, gerak-geriknya anggun dan tenang.
Awalnya aku pikir Albert adalah pria paling tampan yang pernah aku temui seumur hidup ini, dengan ketajamannya yang dingin dan sifatnya yang agresif seperti pedang yang terhunus.
Namun, pria di hadapanku ini adalah kebalikannya Albert.
Dalam hal penampilan, dia tidak kalah dengan Albert.
Kalau Albert adalah pedang yang terhunus, maka pria ini adalah lukisan tinta klasik yang penuh keindahan.
Kalau Albert bagaikan pedang tajam yang kilauannya mampu menerangi 19 wilayah, maka pria ini bagaikan alam yang tercipta untukku, dengan kelembutan yang mampu merangkul seluruh dunia.
Sulit dikatakan siapa yang lebih tampan, tetapi saat ini aku lebih menghargai kelembutan dan ketenangan pria ini.
Pria itu melirikku sejenak saat berbicara dan tiba-tiba bertanya, "Nona Vanesa, apa masih ada yang terasa nggak nyaman?"
Aku terdiam sejenak, ingin menggelengkan kepala secara refleks, tetapi tiba-tiba menganggukkan kepala.
Dyan mengerutkan keningnya. "Cepat tunjukkan, jangan biarkan penyakit kecil jadi penyakit serius."
Aku menunjukkan pinggang dan kakiku yang terbentur semalam, kemudian akhirnya aku meminta Dyan meraba belakang kepalaku.
Dyan memeriksaku dengan sangat serius.
Dia memeriksa sambil menggelengkan kepala. "Aduh, kenapa kamu bisa terluka di banyak tempat? Pinggangmu hampir patah tulang, ada sedikit pergeseran. Nanti aku akan memperbaikinya. Terus kakimu, untungnya cuma terkilir."
"Tapi bagian belakang kepala ini ... "
Dyan meraba bagian kepalaku, lalu tiba-tiba menjadi marah, "Nak, kamu itu sama sekali nggak menjaga tubuhmu!"
Aku terkejut dan berkata dengan terbata-bata, "A, aku ... "
Dyan menulis resep obat dengan wajah kesal. "Ada keretakan tulang dan pembengkakan di kepalamu. Nak, kamu itu benar-benar nggak takut mati, ya?"
"Kalau pembengkakan nggak sepenuhnya hilang, tekanan di dalam tengkorak akan meningkat dan kamu akan berada dalam bahaya. Kamu bahkan berkelahi dan terkilir ... Kamu benar-benar membuatku kagum."
Sambil terus mengomel, Dyan menuliskan resep dengan cepat.
Aku ditegur sampai mataku mulai merah lagi.
Aku sendiri juga tidak tahu kalau lukaku separah ini.
Itu karena sebelum kehilangan ingatan, aku terluka dan dirawat di rumah sakit, tetapi Albert tidak pernah datang menjengukku.
Asisten wanita yang menjengkelkan itu terus mendesakku untuk keluar dari rumah sakit setelah kondisiku lumayan membaik.
Aku ... Makin aku berpikir, makin aku merasa tersinggung. Aku menundukkan kepala di samping Dyan seperti anak yang melakukan kesalahan.
Namun, pria itu berkata dengan lembut untuk menghilangkan kecanggungan, "Pak Dyan, jangan marah. Dia pasti nggak tahu apa-apa makanya dia keluar dari rumah sakit sebelum sembuh. Dia nggak sengaja melakukannya. Siapa yang akan menyakiti dirinya sendiri dan nggak segera pergi berobat?"
Setelah Dyan menulis resep obat, ekspresi wajahnya menjadi lebih baik.
Dia melihatku yang hampir menangis dan segera menghibur, "Nggak apa-apa. Jangan menangis, Nak. Waktu tadi datang, tangisanmu terdengar ke seluruh ruangan, jadi sekarang jangan nangis lagi, ya."
Setelah dia mengatakan itu, dia menatap pria itu dengan marah. "Anak Nakal, cepat bawa dia untuk diobati! Oh ya, dia harus datang ke sini selama tiga hari untuk cedera pinggangnya. Aku akan melakukan akupunktur biar nggak meninggalkan akar penyakit."
"Ya, ya."
Pria itu segera menarikku ke ruang perawatan luka.
Begitu keluar dari ruang konsultasi, aku dan dia sama-sama merasa lega.
Benar-benar menakutkan!
Tanpa disangka ahli ortopedi terkenal di Kota Hamberlin akan sangat menakutkan saat marah.
Aku menatap pria itu dengan rasa bersalah. "Maaf, ya ... Ehm ... aku lupa nanya siapa nama Anda."
Aku merasa canggung dan mencubit-cubit kuku jariku sampai hampir terkelupas.
Suara tawa terdengar dari atas kepalaku. "Kamu lupa sama aku?"
"Hah?" Aku mengangkat kepala dengan heran dan menjadi makin bingung. "Aku benar-benar nggak ingat. Pak, siapa nama Anda?"
Pria itu tersenyum dan matanya sangat lembut. "Aku kenal kakakmu, Jeff, dan waktu kecil kamu selalu memanggilku Kak Wijen."
Kak Wijen?
Aku tertegun.
Kenangan masa kecil tiba-tiba menyerbu kembali.
Aku samar-samar mengingat ada waktu di mana kakakku punya seorang teman anak laki-laki yang tinggi dan kurus dengan kacamata berbingkai emas di sekitarnya.
Anak laki-laki itu tidak suka bicara, bahkan kalau dia bicara, suaranya sangat pelan.
Beberapa kali aku ingin mengenalnya karena penasaran, tetapi aura dinginnya membuatku mundur.
Aku ingat kemudian kakakku bilang kalau marganya Wije?
Oleh karena itu, aku iseng memanggilnya Kak Wijen.
Aku mencoba bertanya, "Kak Wijen? Itu ... kamu?"
Pria itu tersenyum kepadaku dan mengulurkan tangannya. "Namaku Rafael Winsley, Winsley bukan Wije."
Ugh ...
Wajahku terasa panas. Aku langsung mengulurkan tangan dan menggenggam tangannya. "Ha ... Halo, maaf tadi aku ... "
Aku ingin mengatakan beberapa kata formal lagi, tetapi tiba-tiba giliranku untuk diobati sudah tiba.
Aku hanya bisa mengangguk minta maaf dengan tergesa-gesa kepada Rafael, lalu segera masuk.
Setelah beberapa saat setelah lukaku diolesi obat, bahuku dibalut dengan perban yang menggantung di leherku.
Penampilanku saat ini sangat konyol.
Aku keluar sambil membawa salep obat, lalu tiba-tiba melihat Albert yang menunggu di luar dengan tidak sabar.
Saat melihat perban di bahuku, Albert terkejut sejenak dan kemudian wajah tampannya menjadi dingin.
Dia mendekat dengan cepat dan mengulurkan tangannya untuk menarikku.
Namun, aku mundur beberapa langkah dengan takut. "Jangan mendekat."
Albert berhenti dan menahan kemarahannya. "Vanesa, pergi minta maaf! Audrey janji nggak akan laporin masalah ini ke polisi kalau kamu minta maaf."
Dia terdengar kesal. "Setiap hari kamu selalu membuat masalah buatku, apa kamu nggak pernah puas?"