Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 9

Perasaan tenangku tiba-tiba berubah menjadi sangat buruk. Aku bersikeras untuk tidak mengatakan apa pun. Albert menjadi makin tidak sabar lagi. Dia mengulurkan tangannya untuk menarikku. Namun, aku berteriak keras, "Jangan sentuh aku!" Suara ini menarik perhatian semua pasien yang masih menunggu untuk berobat. Begitu banyak mata yang memperhatikan Albert dan aku, semuanya sedang menonton drama yang terjadi. Wajah Albert menjadi makin muram. Dia mendekatiku, merendahkan suaranya, dan mengancam, "Ikut aku! Kalau ada apa-apa, bicarakan di rumah!" Aku mundur satu langkah dan berteriak, "Nggak mau!" Ekspresi mata Albert makin suram. "Vanesa, kamu sudah berani sekarang? Percaya nggak, aku nggak akan peduli sama kamu lagi!" Nada suaranya yang meninggi mengandung ancaman. Aku memalingkan kepala. "Bagus kalau nggak peduli. Aku juga nggak mau dipeduliin sama kamu." Albert masih ingin menarikku, tetapi tangannya tiba-tiba membeku saat menyentuh perban di bahuku. Sepertinya, saat ini dia baru menyadari apa yang telah dilakukannya sebelumnya. Dia berkata dengan lembut, "Aku akui kalau tadi aku nggak sengaja melukaimu, jadi wajar kalau kamu marah. Tapi aku melakukan ini demi kebaikanmu. Menurutlah, pulanglah denganku." Aku tetap diam dan tersenyum sinis. Albert menunggu lama, tetapi tetap tidak mendapatkan responsku. Dia mengerutkan keningnya dengan sangat dalam. Aku tahu kalau Albert sudah mengalah untuk berdamai. Kalau menurut kata-kata Caroline, dulu aku pasti sudah menangis memohon maaf sebelum Albert sempat meminta maaf padaku. Namun, aku bukan lagi Vanesa yang tidak punya harga diri dalam cinta. Hari-hari di mana aku dipukul lalu diberi hadiah manis sudah tidak ingin kualami lagi. Diamku benar-benar membuat Albert marah. Dia tertawa sinis. "Oke, Vanesa, kalau kamu nggak mau pulang denganku, terserah kamu. Aku ingin lihat siapa di Kota Hamberlin yang mau menampungmu!" Aku menjawab dingin, "Pak Albert nggak perlu mengkhawatirkan ini." Tiba-tiba Albert mendekatiku. Suaranya yang dingin membuat seluruh tubuhku merinding. "Vanesa, jangan pernah menyesali keberanianmu hari ini. Aku ingin lihat seberapa lama kamu bisa bertahan." "Pak Albert?" Sebuah suara lembut memecah ketegangan di antara aku dan Albert. Albert menyipitkan matanya, lalu menatap Rafael yang memegang kuitansi pembayaran. Suaranya menjadi ramah dan sangat sopan. "Pak Rafael, maaf membuat Anda melihat hal yang memalukan ini. Istriku benar-benar memalukan ... " Dia menghela napas dan memakiku tanpa suara sehingga membuat amarahku yang terpendam hampir meledak. Rafael mendekat dan berkata dengan tenang, "Kata-kata Pak Albert terlalu keras. Vanesa itu seperti adikku sendiri. Sebagai kakak angkatnya, aku harus membelanya kalau dia ditindas oleh orang lain." Kali ini bukan hanya aku, tetapi Albert juga tampak terkejut. Dia menatapku dengan curiga, lalu menatap Rafael. Dia menunjuk ke arahku dengan suara yang sangat tidak yakin. "Pak Rafael, Anda kenal dia?" Rafael menganggukkan kepala sedikit. "Ya, nggak cuma kenal, tapi juga sangat akrab." Albert tidak percaya. Aku secara refleks berdiri di belakang Rafael, memintanya untuk melindungiku dari Albert. Albert masih ingin bertanya, tetapi Rafael sudah menggandeng tanganku dengan lembut dan bertanya, "Tadi Pak Dyan bilang lenganmu nggak boleh digerakkan sembarangan dulu dan besok luka di kepalamu harus diperiksa dengan MRI." Saat dia sedang memberi arahan dengan hati-hati, tiba-tiba Albert menyela, "Pak Rafael, jangan tertipu olehnya. Dia nggak sakit." Saat aku hendak membantah, Rafael menatap Albert langsung. Pandangannya yang lembut seperti angin musim semi langsung berubah dan suhu di sekitarnya menjadi terasa dingin. Setelah terkejut beberapa saat, tatapan Albert menjadi makin serius. Rafael menatap mata Albert dan berkata dengan perlahan, "Pak Albert, Vanesa itu istrimu. Waktu melihat ada luka di tubuhnya, reaksi pertamamu bukan memeriksanya, tapi mencurigai kalau dia berbohong. Itu ... nggak pantas, 'kan?" Albert tidak menyangka kalau Rafael akan membelaku. Dia langsung merasa malu dan tertawa sinis, "Pak Rafael, Anda juga orang penting di Kota Hamberlin, tapi kenapa Anda sangat peduli dengan istriku? Apa yang terjadi di antara kami itu urusan keluargaku, ini nggak ada hubungannya dengan Anda." Dia menekankan kata "urusan keluarga" dengan sangat jelas. Rafael tersenyum dan membenarkan posisi kacamatanya. "Oh? Memang benar ini urusan keluargamu. Tapi aku cuma ingin mengingatkan Pak Albert, diagnosis Pak Dyan ada di sini. Nggak ada yang bisa membohongi hasil medis. Selain itu, Vanesa terluka sangat parah, gimana kamu akan menjelaskan ini ke kakaknya nanti?" Dia melihat wajah Albert yang makin terlihat malu, lalu berkata lagi, "Meski Jeff nggak ingin mengakuinya sebagai adiknya lagi, dia tetaplah satu-satunya putri keluarga Hudgen." Wajah Albert berubah. Dia menatapku dan berkata dengan tegas, "Vanesa, pulanglah denganku." Aku tahu kesabarannya sudah habis. Kalau aku tidak kehilangan ingatanku, mungkin saat ini aku sudah mengikutinya dengan patuh. Namun, sekarang aku hanya ingin menjauh dari pria b*jingan ini sejauh mungkin. Aku memalingkan wajah dan menarik lengan baju Rafael, "Kak Rafael, ayo kita pergi." Rafael hendak mengatakan sesuatu, tetapi tiba-tiba lenganku ditarik dengan keras. Aku terkejut dan menoleh. Pandangan suram Albert seperti ingin membunuh seseorang. Dia menarikku dengan paksa ke pelukannya dan menahan pinggangku dengan kuat. Kemudian dia berkata dengan dingin, "Terima kasih atas bantuan Pak Rafael hari ini. Di lain hari, aku akan mentraktir Pak Rafael makan." "Sampai jumpa lagi, Pak Rafael." Setelah mengatakan itu, dia menarikku dengan paksa dan pergi. Aku langsung menoleh dan hanya melihat Rafael berdiri di tempatnya sambil memegang dokumen di tangannya. Aku tidak bisa melihat ekspresinya dengan jelas, tetapi aku merasa sepertinya dia agak kecewa. Aku ditarik oleh Albert ke tempat parkir bawah tanah dan akhirnya dia melepaskan tanganku. Namun, aku segera berbalik dan menuju ke lift. Albert berteriak marah, "Vanesa, kalau kamu melangkah lagi, aku akan patahin kakimu." Aku tertawa sinis. "Lenganku hampir patah berkat Pak Albert, tapi sekarang kamu mau patahin kakiku?" Aku mendekatinya dan menatap matanya. "Ayo patahkan! Kalau kamu nggak patahin kakiku hari ini, kamu bukan lelaki!" Aku pikir Albert akan marah dan segera bertindak. Aku juga sudah siap untuk dipukul. Tiba-tiba, suara lembut terdengar dari belakang. "Albert, kenapa kamu berbicara seperti itu ke Nona Vanesa?" Aku terpaku. Setelah melewati Albert, aku baru sadar kalau Celine ada di mobilnya. Celine turun dari mobil dan datang ke arah kami. Aku mencibir, "Pak Albert, kamu sangat hebat. Ke mana pun kamu pergi, kamu selalu membawa Celine." Ekspresi wajah Albert tampak tidak nyaman. Dia membela diri. "Hari ini Celine harus pergi ke teater untuk latihan, jadi aku sekalian mengantarnya." Aku tersenyum sinis dengan nada yang lebih tajam lagi. Albert sepertinya marah karena tawaku dan amarahnya hampir meledak. Tiba-tiba tangan Celine yang hangat dan lembut meraih tangannya, lalu dia berkata dengan sangat tulus padaku, "Nona Vanesa, sebenarnya aku yang bersikeras ingin mengikuti Albert. Aku tahu kamu terluka, jadi aku sangat khawatir." Melihat tangan mereka saling yang saling menggenggam erat, aku merasa dunia ini benar-benar sudah terbalik. Mau Albert dan Celine punya hubungan atau tidak, dalam 18 tahun kenanganku, aku belum pernah melihat selingkuhan membawa suami orang lain dengan bangga ke hadapan istri sahnya. Apa penampilan yang romantis ini sengaja ditunjukkan padaku? Aku mengambil ponsel dan memotret mereka.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.