Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 7

Akhirnya Caroline percaya padaku. Dia melihat wajahku dengan rasa kasihan. "Vanesa, kamu ... sudahlah, baguslah kamu sudah sadar. Selama tujuh tahun ini kamu sudah banyak menderita karena Albert." Aku terdiam. Cinta yang tidak terbalas adalah yang paling menyakitkan. Rasa sakit itu membuat pikiranku menjadi tidak seimbang dan karena ketidakseimbangan itu aku menjadi makin gila. Vanesa yang angkuh itu tidak pernah mengalami kekalahan, kecuali pada usia 18 tahun, saat semuanya hancur berkeping-keping. Aku tidak tahu apa yang aku alami antara usia 18 hingga 25 tahun, tetapi aku tahu pasti kalau itu sangat buruk. Aku perlahan berkata, "Caroline, tolong bantu aku. Aku ingin kembali ke rumah keluarga Hudgen." Caroline menggeleng dan menghela napas. "Ini sulit ... Kamu sudah lima tahun nggak menghubungi keluarga Hudgen." Dia ingin bicara tetapi terdiam dan aku melihat simpati di matanya. Aku menundukkan kepala. Hatiku terasa sesak dan pahit. Tubuh ini sedang merasa sedih. Mana mungkin tidak sedih? Mereka adalah keluarga terdekatku. Mataku menjadi merah. "Caroline, tolong bantu aku. Aku ingin menghubungi kakakku dulu. Dia yang paling menyayangiku ... " "Vanesa, bukan karena aku nggak ingin membantumu, tapi kakakmu nggak ingin bertemu denganmu ... " "Hei, bukannya ini Nyonya Vanesa? Kenapa minum kopi murah di sini?" Suara wanita yang sinis membuatku mengerutkan kening. Namun, Caroline langsung berdiri dan berkata, "Audrey, aku peringatkan kamu, jangan cari masalah!" Di depanku, berdiri seorang wanita modis dengan rambut merah dan mengenakan rok bunga. Dia memakai riasan yang halus di wajahnya dan membawa beberapa tas belanja di tangan kirinya. Di sebelah kanannya, berdiri dua teman wanita muda yang sama modisnya. Ekspresi mereka sama dengan Audrey, yaitu memandangku dengan pandangan merendahkan. Aku berdiri dan menarik tangan Caroline. "Aku nggak kenal dia, ayo pergi." Caroline belum bicara, tetapi Audrey sudah mengejek dengan sinis, "Oh, nggak kenal aku? Vanesa, kamu benar-benar orang yang pelupa! Aku dan kamu itu sudah kenal lama." Aku mengerutkan kening. "Maaf, aku nggak kenal kamu, Nona Audrey." Audrey tertawa dengan sinis dan berkata kepada kedua temannya, "Dengar tuh, dia bilang nggak kenal aku." Teman wanita yang mengenakan gaun kuning itu tersenyum sinis dan berkata, "Kalau nggak kenal ya nggak kenal saja. Kami juga nggak mau kenal sama cewek murahan yang ngejar-ngejar Pak Albert." Mereka tertawa dengan jahat. Wajahku menjadi dingin dan aku menarik Caroline. "Ayo pergi. Jangan berurusan sama mereka." Namun, amarah Caroline tiba-tiba meledak. Dia memaki Audrey dengan keras, "Siapa yang kamu bilang cewek murahan? Siapa yang lebih murahan dari kamu, Audrey? Kamu tahu betul kalau Albert sudah menikah, tapi kamu tetap saja menggoda suami orang. Dan kamu juga, Bella, keluargamu selalu mencoba segala cara untuk menjamu Albert demi dapat proyek dari Grup Bosley. Kamu yang paling murahan! Seisi keluargamu itu murahan!" Makian Caroline membuat mereka bertiga tertegun. Begitu Audrey tersadar, dia langsung menerjang dan hendak menjambak rambut Caroline, tetapi aku tahu kalau Caroline itu jago berkelahi dari kecil. Di Kota Hamberlin, kalau dia mengatakan dirinya nomor dua, tidak ada yang berani menyebut dirinya nomor satu. Caroline mengambil kopi yang belum diminum di atas meja dan menyiramkannya ke arah Audrey. Audrey berteriak dan menutup wajahnya. Bella yang sudah sangat marah mengambil tas belanja dan hendak memukul Caroline. Caroline tidak melihatnya, jadi aku segera mengulurkan tangan untuk menghentikannya. Tas belanja itu menghantam lenganku sampai terasa sangat sakit. Caroline marah. "Beraninya cewek murahan kayak kalian memukul Vanesa? Kalian sudah bosan hidup, ya?" "Berhenti!" Seseorang datang mendekat. Pada saat berikutnya, lenganku ditarik dengan keras. Aku mendengar suara "krak" dan rasa sakit yang hebat membuatku langsung berlutut di lantai. Kepalaku berdengung. Aku mendengar Caroline terkejut dan marah lagi. "Albert, kamu gila, ya! Kenapa kamu narik Vanesa?" Aku terkejut. Kenapa Albert bisa ada di sini? Aku ingin bangun, tetapi kepalaku pusing dan aku jatuh ke lantai dengan lemas. Pada saat itu, ada seseorang yang segera menangkapku. Sebelum aku sempat melihat dengan jelas, aku mendengar suara lembut dan merdu. "Jangan bertengkar lagi, dia terluka." Saat aku sadar, lampu neon di atas kepala terasa sangat menyilaukan. "Kamu sudah bangun?" Suara Albert terdengar dari sampingku. Aku berusaha duduk, tetapi lengan kiriku terasa sakit dan sama sekali tidak bisa digerakkan. Albert berwajah muram. Dia duduk di sampingku sambil menatapku. Dia melihat gerak lambatku dan tersenyum. "Akhirnya kamu bangun. Aku pikir kamu akan terus berpura-pura pingsan lebih lama lagi." Aku terdiam sejenak, lalu menatapnya dengan dingin. "Ya, harusnya aku pingsan lebih lama, kalau nggak, aku nggak bisa menuntut lebih banyak uang." Albert terkejut. Mungkin dia tidak mengharapkan reaksiku yang seperti ini. Dia menatapku dengan kesal dan tidak sabar. "Vanesa, pergi minta maaf ke mereka. Kalau nggak, mereka akan melaporkanmu ke polisi." Aku tertawa. "Kenapa aku harus minta maaf? Aku nggak mukul mereka. Lagian mereka yang memprovokasiku duluan!" Aku mungkin kehilangan ingatan, tetapi bukan berarti aku bodoh. Meski aku tidak mengingat Audrey, tetapi dari reaksi Caroline, aku tahu kalau ketiga wanita ini bukanlah orang yang baik. Selain itu, Audrey yang memprovokasi duluan dan Caroline hanya membalasnya. Kemudian, Audrey juga yang tidak tahan dan mulai bertindak, jadi kenapa aku harus minta maaf? Aku menyandarkan bahu dan memasang wajah dingin. Aku merasa sangat kesakitan. Mungkin bahuku terkilir. Namun, "suamiku" yang ada di depanku menyuruhku minta maaf ke orang yang menyebabkan masalah ini? Sungguh konyol. Aku tertawa. Albert marah karena tawaku. Dia tiba-tiba berdiri dan menarik lenganku. "Hentikan, Vanesa! Aku sudah cukup sabar denganmu! Cepat pulang! Jangan bikin aku malu di luar!" Rasa sakit yang hebat di lengan membuatku berteriak kesakitan. Albert masih ragu-ragu dan berkata lagi, "Kamu cuma pura-pura, sudah jelas kamu baik-baik saja. Ayo pulang denganku!" Rasa sakit itu sangat hebat sampai kepalaku hampir meledak. Saat ini, aku benar-benar ingin menyeret pria b*jingan ini ke neraka bersamaku. Lengan siapa pun yang ditarik paksa saat terkilir pasti akan terasa sakit setengah mati. "Lepaskan dia. Apa kamu nggak tahu kalau dia terluka?" Seseorang mendekat dengan cepat dan menahan tangan Albert. Cengkeraman kuat itu membuat Albert secara refleks melepaskanku. Aku menangis dengan sangat keras karena kesakitan. Pada saat ini, Albert baru menyadari kalau lenganku melengkung agak aneh. Orang itu menopangku dan berkata dengan lembut, "Jangan takut, aku akan membawamu ke rumah sakit." Aku merasa seperti menemukan penyelamatku, jadi aku langsung memegangnya. Sebuah wajah tampan dan berwibawa muncul di hadapanku. Aku menangis sampai napasku terengah-engah. "Aku ... lenganku patah! Lenganku patah. Kakak, aku mau ketemu kakakku!" Seluruh emosi yang terpendam selama beberapa hari ini tiba-tiba meledak dalam pelukan orang asing yang penuh perhatian ini. Aku tidak peduli lagi dan langsung masuk ke pelukannya, persis seperti saat aku kecil ketika aku berlari mencari kakakku, Jeff Hudgen, setiap kali aku merasa sedih. "Kakak, aku mau ketemu kakakku. Kakak, ada orang yang menindasku! Mereka semua menindasku! Mereka satu per satu menindasku dengan nggak tahu malu ... " Albert terpaku. Orang asing itu juga tampak terkejut dengan ketidakberdayaanku. Aku menangis dengan keras. Aku merindukan ayah dan ibuku, merindukan kakakku yang paling menyayangiku. Meski aku membuat kekacauan besar, Kak Jeff akan selalu melindungiku. Saat ada orang yang menindasku, dia selalu siap untuk berjuang mati-matian demi aku. Namun, sekarang aku sangat sedih. Itu karena aku tidak sengaja kehilangan mereka. Selama tujuh tahun terkutuk ini, aku telah benar-benar kehilangan keluargaku yang paling kucintai!

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.