Bab 89
Rafael tidak menjawab dan terus memijat leherku.
Tidak bisa dipungkiri bahwa pijatannya sangat enak. Setelah beberapa kali pijatan, leherku yang tegang mulai terasa rileks.
Aku akhirnya berkata dengan lirih, "Sudah cukup. Nggak perlu dipijat lagi."
Namun, suaraku mungkin terlalu pelan sehingga Rafael tidak bisa mendengarnya.
Dia terus memijat dengan penuh konsentrasi seolah-olah tidak ada hal lain yang lebih penting baginya.
Tanpa sadar, aku menatap bayangan di dinding.
Wajah Rafael benar-benar tampan.
Sinar matahari yang jatuh di pipinya menciptakan siluet di dinding seberang.
Bahkan helai rambutnya yang jatuh secara tidak sengaja membentuk lengkungan yang indah.
Aku sedikit menengadah sehingga bayanganku tepat berada di bawah bayangan dagu Rafael.
Jantungku tiba-tiba berdegup kencang.
Suasana ini begitu romantis seolah-olah aku kembali menjadi gadis berusia delapan belas tahun yang tidak memiliki beban.
Tiba-tiba saja timbul penyesalan. Seandainya orang yang membuatku terpesona pada
Klik untuk menyalin tautan
Unduh aplikasi Webfic untuk membuka konten yang lebih menarik
Nyalakan kamera ponsel untuk memindai, atau salin tautan dan buka di browser seluler Anda
Nyalakan kamera ponsel untuk memindai, atau salin tautan dan buka di browser seluler Anda