Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 6

Keesokan harinya saat aku bangun, sudah pukul sembilan pagi. Aku menggerakkan leher yang sakit lalu pergi mandi. Saat aku turun dari lantai atas, ruang tamu kosong, tetapi ada seseorang yang duduk di ruang makan sambil sarapan. Aku pergi ke sana dan melihat kalau itu Austin. Melihatku datang, Austin menghela napas dengan kesal dan tidak mau melihatku. Mataku menjadi redup, lalu pergi ke dapur untuk mengambil makanan. Tidak ada makanan di dapur, hanya ada bubur yang sudah dingin dan beberapa potong roti yang kering. Aku mengerutkan kening, membuka lemari es, dan memanaskan segelas susu untuk diri sendiri sambil menggoreng dua butir telur. Saat aku keluar dari dapur dengan membawa sesuatu, Austin terlihat seperti melihat hantu di siang hari. Aku mengerutkan kening. "Kenapa kamu melihatku kayak gitu? Memangnya aku belum cuci muka?" Austin menunjuk makanan di tanganku. "Kamu bisa masak?" Aku merasa agak tidak nyaman dengan nada suaranya yang meragukan. Aku menjawab dengan santai, "Goreng telur itu bukan hal yang sulit, 'kan?" Austin segera tersadar dan menatapku dengan tajam. "Jangan berpikir untuk melakukan trik apa pun." Aku meletakkan gelas susu dengan keras di atas meja makan. Austin terkejut. Setelah sadar, wajahnya menjadi merah padam karena malu dan marah. "Apa yang kamu lakukan? Kamu ingin bertengkar denganku?" Aku minum segelas susu dan berkata dengan dingin, "Dasar gila!" Wajah Austin yang masih muda menjadi pucat. "Siapa yang kamu bilang gila? Vanesa, jangan pikir kamu bisa melakukan apa pun setelah keluar dari rumah sakit! Aku cuma menjagamu demi kakakku dan Kak Celine! Jangan berpikir untuk menghancurkan hubungan mereka lagi!" Aku tertawa. Austin dibuat bingung oleh tawaku. "Kenapa kamu tertawa? Aku serius. Kali ini aku pasti nggak akan membiarkanmu melukai Kak Celine. Jangan harap kamu bisa berlagak seperti putri keluarga Hudgen. Kak Celine takut padamu, tapi aku nggak akan terpengaruh oleh trikmu." Aku mengulurkan tanganku. "Oke, berikan uangnya." Austin dengan sikap "aku sudah tahu" mencemoohku, "Uang? Uang apa? Dasar cewek materialistis! Vanesa, kamu nikah sama kakakku dan jadi menantu keluarga Bosley cuma demi uang, 'kan? Dasar nggak tahu malu!" Aku menjawab tanpa ekspresi, "Ya, aku memang nggak tahu malu. Berikan uangnya." Austin mulai cemas karena melihatku tidak terpengaruh. "Uang? Uang apa?" Aku tertawa sinis. "Uang apa lagi kalau bukan uang 1 triliun yang aku investasikan di Grup Bosley kalian!" Austin terdiam. Aku mengejek sambil tertawa, "Uang tunai 1 triliun dari lima tahun lalu. Kalau dihitung sebagai investasi saham, keluarga Bosley harus memberiku dividen besar. Kalau itu pinjaman, berapa banyak yang harus keluarga Bosley bayar dengan bunga selama lima tahun?" Aku membuka kalkulator di ponselku, mengetik dengan cepat, dan tertawa sinis. "Kalau dihitung dengan investasi besar, itu sekitar 11 sampai 12 persen, ckck ... " Wajah tampan Austin menjadi merah. Dia mungkin ingin memakiku, tetapi sepertinya tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat. Aku menghabiskan sarapanku dengan tenang di bawah tatapan bingungnya. Setelah aku selesai makan, aku mengelap bibirku dan berdiri. Austin akhirnya berkata, "Vanesa, apa yang sebenarnya kamu inginkan?" Aku berbalik dan melihat wajah yang sama sekali berbeda dari ingatanku. Aku berkata dengan pelan, "Dulu kamu selalu memanggilku Kak Victoria." Austin tampak seperti disambar petir. Dia berdiri terpaku di tempat, sementara aku sudah naik ke lantai dua. Aku merasa sangat lelah, bahkan sarapan pun begitu melelahkan. Aku makin yakin untuk meninggalkan Albert. Aku menelepon Caroline. Caroline menjawab telepon dengan suara lemah, "Ada apa, Nona Vanesa? Kamu sudah baikkan sama Albert?" Aku menyangkal, "Belum." "Apa!" terdengar suara jeritan Caroline dari balik telepon. "Apa? Kamu bilang apa?" Aku menjauhkan ponselku sedikit, lalu mengerutkan kening. "Aku belum baikkan sama Albert." Caroline langsung menjadi tenang. "Kamu mau perang dingin dengannya untuk sementara waktu? Nggak bisa, Albert itu pria Scorpio, dia nggak terkalahkan dalam perang dingin. Kamu nggak bisa mengalahkannya. Coba cara lain." Aku menghela napas. "Aku benaran nggak ingin baikkan sama dia." Suara Caroline di ponsel menjadi makin bingung. "Jadi, apa yang mau kamu lakukan? Oh, aku tahu! Kamu pasti ingin cari kesempatan untuk membunuh Celine!" Caroline menjadi gugup. "Vanesa, aku peringatkan kamu, membunuh itu tindakan yang melanggar hukum! Kita harus patuh sama aturan dan menjadi warga yang baik." Aku menghela napas dengan putus asa. "Caroline, aku nggak ingin mengganggu Celine." Caroline seolah tersedak oleh ludahnya setelah mendengar jawabanku. Setelah beberapa saat, dia bertanya, "Vanesa, jangan main-main. Kasih tahu aku apa yang kamu inginkan? Kamu hampir jadi trending lokal karena mencoba bunuh diri. Kalau bukan karena keluarga Hudgen punya saham besar di beberapa media dan kakakmu juga sangat menjaga reputasi, kamu pasti sudah habis dihujat sama warganet." Aku memijat dahiku. "Caroline, aku benaran hilang ingatan. Albert nggak percaya padaku, apa kamu juga nggak percaya?" Caroline menjadi canggung karena pertanyaan. Dia tertawa. "Aku pikir kamu pura-pura hilang ingatan ... " Aku tidak bisa berkata-kata, tetapi kemudian hatiku terasa pahit. Seberapa buruknya aku sebelum kehilangan ingatan sampai membuat semua orang di sekitarku tidak percaya padaku? Aku merasa sedih. "Caroline, kamu bisa ambil cuti dan temani aku makan nggak? Aku ingin mendiskusikan apa yang harus aku lakukan selanjutnya." Bagaimanapun juga, Caroline adalah sahabat karibku. Dia pasti akan berpihak padaku. Dia menghela napas. "Apa yang mau kamu lakukan selanjutnya?" Aku menggigit bibirku. "Aku mau cerai sama Albert." Caroline terkejut. Aku bertemu dengan Caroline di kafe. Begitu bertemu, Caroline langsung memberiku sebuah bungkusan. Aku membuka dan melihat plester penurun panas, termometer, dan obat flu untuk mengurangi demam. Aku bertanya, "Ini untuk apa?" Caroline membuka termometer sambil berkata, "Cepat cek, belakangan ini banyak orang yang kena flu, jangan-jangan kamu juga tertular." Aku terpaksa menempelkan termometer di ketiakku sambil mengerutkan kening. "Aku nggak demam, cuma otakku yang belum pulih." Caroline menepuk pahanya. "Otakmu memang belum pulih, 'kan? Oh, pantas saja kamu tiba-tiba ingin cerai sama Albert." Dia menepuk dadanya. "Si*lan, aku hampir mati ketakutan." Aku baru mengerti kenapa Caroline membelikanku obat penurun panas. Aku mengambil termometer dan menatap mata Caroline dengan serius. "Sudah kubilang, aku ingin cerai sama Albert." Caroline tampak terkejut dengan ekspresiku. Dia tidak bergerak dan aku juga tidak bergerak. Setelah dua menit, Caroline mengedipkan matanya. "Aku tahu sekarang. Lepaskan aku." Aku melepaskan Caroline, tetapi tanpa disangka dia mengeluarkan ponsel dan meletakkannya di depanku. Dia membuka satu pesan suara secara asal dan suara tangisan terdengar dari dalamnya. "Huaaaa, Caroline, aku ingin cerai sama Albert! Dia sama sekali nggak mencintaiku. Dia kasih hadiah ulang tahun ke Celine, si j*lang itu ... " Aku terpaku. Caroline membuka satu lagi. "Caroline, aku benar-benar nggak bisa hidup tanpa Albert! Aku akan mati kalau kehilangannya, kamu mengerti?" "Aku terlalu mencintainya, hiks, hiks ... hik, Caroline, aku sangat menderita, kenapa aku semenderita ini? Kalau aku nggak mencintainya, aku nggak akan merasa sesedih ini." "Caroline, aku merasa sangat sedih. Kenapa Albert nggak mengangkat teleponku? Apa dia nggak takut aku mati di jalanan karena mabuk? Hoek ... " Caroline menatapku dengan tatapan yang rumit. "Vanesa, aku tahu kamu kehilangan ingatan, aku akan mengingatkanmu tentang cintamu ke Albert." Aku menutupi wajahku. Setelah beberapa saat, aku mengangkat kepala dengan putus asa. "Caroline, kali ini sungguhan, aku harus bercerai sama Albert." Caroline menghela napas, tetapi masih hendak membuka pesan suara. Aku memegang tangannya dan suaraku terdengar penuh dengan kepahitan. "Jangan kasih aku dengar lagi. Ini benar-benar nggak lucu."

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.