Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 5

Aku mendengar suara mobil yang menyala dari lantai atas dan langsung melihat ke bawah. Tepat pada saat itu, aku melihat Albert sedang merangkul Celine seolah ingin melindunginya. Entah itu karena kebetulan atau karena ada ikatan batin yang kuat, Albert menengok ke arah lantai dua sebentar dan mata kami bertemu. Aku melihat kerutan di dahi Albert dan bibirnya bergerak sedikit seolah ingin mengatakan sesuatu. Namun, aku hanya menatapnya dengan dingin. Albert terkejut sejenak. Dia mungkin tidak menyangka kalau aku akan setenang ini. "Albert?" panggil Celine lembut. Dia mengikuti pandangan Albert dan melihat bayanganku di belakang jendela. "Albert ... " Suara Celine terdengar sedih. "Kalau kamu mau menemani Nona Vanesa, naik saja ke atas, aku bisa pulang sendirian." Albert tersadar kembali, mengabaikan emosi di matanya, dan berkata dengan tenang, "Nggak apa-apa. Ayo pergi." Celine mengangkat kepalanya sedikit dan melihatku yang ada di lantai atas. Aku melihat bibirnya yang agak melengkung. Dia sedang mengejekku. Menertawakanku sebagai istri sah yang tidak bisa menjaga priaku sendiri, sementara suamiku malah memperhatikannya. Hatiku terasa tercekat. Tidak sakit, tetapi terasa sesak. Aku menarik tirai dan suara mobil yang menyala perlahan menjauh. Aku menata emosiku dan mulai mengemas barang-barangku sendiri. Tidak bisa dipungkiri, aku tidak pernah merasa kekurangan dalam hal materi. Sebelum menikah, aku hidup dalam kemewahan di rumah keluarga Hudgen. Setelah menikah, saat aku melihat lemari pakaian yang besar dengan deretan pakaian dan tas mewah yang tidak terhitung jumlahnya, aku benar-benar terkejut. Lemari pakaian itu begitu besar hingga suaranya bergema. Aku melihat tas-tas edisi terbatas dan pakaian kustom mewah yang tidak terhitung jumlahnya di sana. Aku mengambil satu per satu. Banyak tas yang dibeli tetapi tidak pernah digunakan. Baju dan sepatu juga begitu, masih baru dan labelnya belum dicopot. Lemari perhiasan terbuka dengan sidik jari, dan di dalamnya terdapat berbagai perhiasan, jam tangan, dan sebagainya yang indah dan beragam. Aku tidak tahu bagaimana aku berhubungan dengan Albert selama lima tahun pernikahan kami, tetapi sepertinya Albert tidak pelit. Aku jadi merasa agak lega. Kalau Albert bukan orang yang pelit, berarti setelah bercerai seharusnya dia akan membagi sejumlah besar hartanya padaku. Kalau tidak ada cinta, banyak uang juga tidak masalah. Lemari pakaian terlalu besar dan barangnya terlalu banyak. Aku benar-benar tidak bisa mengemas semuanya, jadi hanya merapikan beberapa set pakaian sehari-hari, ditambah dengan perhiasan yang terlihat mahal dan jam tangan wanita senilai miliaran. Saat aku hendak istirahat di kamar, tiba-tiba kakiku menendang sebuah tas hitam yang besar. Aku penasaran dan membukanya untuk melihat isinya. Begitu melihat isinya, wajahku langsung memerah. Di dalamnya ternyata ada beberapa set pakaian yang belum dibuka ... Polisi kelinci, wanita pekerja kantoran, dan juga pakaian tradisional, Lolita ... Aku membongkarnya satu per satu dan wajahku terus memerah. Sepertinya Albert tidak berbohong padaku. Sebelum kehilangan ingatan, aku tidak hanya gila, tetapi juga bermain dengan hal-hal seperti ini. "Heh, Vanesa, kamu mau pakai barang-barang ini untuk menyelamatkan pernikahan kita?" Terdengar suara ejekan yang dingin dari belakang. Aku tiba-tiba berdiri. Albert mendengus dan memegangi dagunya di belakangku. Aku mundur terus-menerus. "Ka, kamu ... kenapa tiba-tiba kembali?" Albert terlihat kesal. "Sudah setengah jam, tentu saja aku sudah kembali." Aku baru menyadari kalau waktu berlalu begitu cepat. Sudah hampir satu jam sejak Albert mengantar Celine. Aku segera memasukkan kembali barang-barang itu ke dalam tas, lalu menendang tas hitam itu ke sudut ruangan. Tatapan Albert menjadi agak lebih dalam. "Vanesa, kamu jadi pintar. Aku pikir kamu akan berteriak dan bertengkar denganku." Dia mendekat dan memelukku, suaranya penuh dengan rayuan. "Jangan bikin masalah lagi. Nggak ada apa-apa di antara aku dan Celine." Saat aku hendak berbicara, tiba-tiba aku mencium aroma manis di bahunya. Ini adalah parfum yang ada di tubuh Celine. Tiba-tiba aku ingin muntah, jadi aku mendorongnya dengan keras. "Menjauhlah dariku." Wajah Albert menjadi pucat. "Vanesa, jangan nggak tahu diri." Aku tertawa sinis. "Badanmu bau banget. Ada aroma wanita lain, tapi kamu masih berani bilang nggak ada apa-apa di antara kamu dan Celine?" Albert mencium bahunya dan ekspresinya agak berubah. Dia terlihat seperti sudah menduga aku akan membuat keributan, lalu mengerutkan kening dan mencoba menjelaskan. Namun, aku sudah berbalik. "Mulai malam ini, kita tidur terpisah." Saat aku hendak meninggalkan kamar ini, suara marah Albert terdengar dari belakang, "Vanesa, marahmu sudah cukup belum?" Aku tertawa sinis. "Belum." Tiba-tiba, Albert menarik lenganku. Tarikannya sangat kuat sehingga membuatku kesakitan sampai wajahku memucat. "Sakit!" Saat melihat mataku yang mulai memerah, Albert mengendurkan cengkeramannya. Terpancar rasa frustrasi yang mendalam di matanya. "Parfumnya nggak sengaja menempel. Aku benaran nggak punya hubungan apa-apa dengan Celine." Aku tidak menjawab. Tiba-tiba, Albert mencium bibirku. Tubuhku gemetar. Aku ingin mendorongnya tetapi tidak bisa mendorongnya. Napasnya mulai terasa panas dan tangannya meremas pinggangku dengan kuat Arus listrik yang akrab itu mulai menjalar ke seluruh tubuhku. Napasku juga mulai tidak teratur. Pikiranku sangat kacau seolah ada potongan ingatan yang ingin keluar. Tubuhku menyerah di bawah telapak tangannya, tetapi aku bisa mendengar hatiku menangis. Tubuh ini terlalu lemah. Aku terus mendorongnya dengan kesadaran yang tersisa, tetapi di mata Albert, kekuatan itu seolah hanya penolakan setengah hati seperti bumbu dalam hubungan suami istri di atas ranjang. Ciumannya menjadi makin ganas, aroma maskulinnya memenuhi hidungku, dan sedikit demi sedikit merampas akal sehatku. Pikiranku menjadi kabur sejenak dan tubuhku bahkan tanpa sadar menyesuaikan diri dengannya. Albert makin menikmati ciuman ini. Ciuman manis yang datang bertubi-tubi membuatku kehilangan arah dan tidak tahu lagi di mana aku berada. Saat hawa dingin menyentuhku, aku baru sadar kalau Albert sudah membawaku ke tempat tidur. Aku mendorongnya kuat-kuat dengan sisa akal sehatku. "Jangan sentuh aku!" Albert sedang melepas pakaiannya, jadi dia hampir terjatuh saat aku mendorongnya. Kemarahan melintas di antara matanya. Dia mengulurkan tangan dan siap untuk menghantamku. Tubuhku mengejang dan aku secara refleks meringkuk ketakutan. Aku berteriak, "Jangan pukul aku!" Suasana tiba-tiba menjadi hening. Tangan Albert berhenti di udara dan tubuhku juga ikut membeku. Aku tidak mengerti kenapa aku punya reaksi seperti itu, juga tidak mengerti dari mana datangnya kekerasan Albert yang tiba-tiba ini. Aku gemetar di atas tempat tidur. Melihat penampilanku yang menyedihkan, kemarahan Albert langsung menghilang. Dia berdiri di sisi tempat tidur dan berusaha menjelaskan sesuatu, tetapi akhirnya tidak bisa mengatakannya. Aku meraih selimut dan membungkus tubuhku dengan canggung, lalu berkata dengan panik, "Keluar, sana keluar! Jangan sentuh aku!" Albert berkata, "Istirahatlah, aku akan tidur di ruang kerja." Dia mengatakannya dengan wajah dingin dan berbalik keluar pintu kamar, kemudian aku mendengar pintu ruang kerja ditutup dengan keras. Kamar kembali tenang. Aku terkulai di atas tempat tidur yang empuk seolah kehabisan tenaga. Punggungku basah oleh keringat dingin. Kepalaku terasa nyeri seperti ditusuk jarum. Aku tidak mengerti kenapa Albert sangat membenciku dan terus-menerus menggangguku. Aku lebih tidak mengerti kenapa aku sangat takut pada amarahnya padahal sebelumnya sangat mencintainya. Selain itu, yang paling penting adalah kenapa Albert tidak mau bercerai denganku? Kepalaku menjadi makin sakit dan akhirnya aku tertidur dengan lelap.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.