Bab 5
Karena Adelia tidak bisa tidur nyenyak, dia segera terbangun oleh perbuatan Jarvis.
Wangi parfum pria yang tidak asing dari kerah bajunya, membuatnya segera menyadari identitasnya.
Paman?
Mengapa dia tiba-tiba masuk ke kamar Adelia dan menciumnya?
Tubuh Adelia gemetaran. Sebelum sempat bereaksi, Adelia mendengar suara serak Jarvis dan napasnya yang memburu. "Elina …"
Adelia mematung.
Aroma alkohol yang kuat makin menyadarkannya akan situasi saat ini.
Pamannya mabuk dan mengira dirinya adalah Elina.
Dalam sekejap, tangan Jarvis perlahan mulai meraba-raba.
Adelia panik. Dia menekan tangan yang bergerak liar di pinggangnya sambil berusaha mendorongnya dengan cemas.
"Paman salah orang! Aku Adelia!"
Jarvis mungkin terlalu mabuk hingga tidak bisa memahami ucapannya atau mungkin perlawanannya malah memicu hasrat dominasi Jarvis.
Ciuman Jarvin makin ganas, menahan bibir lembutnya dan menggigitnya perlahan.
Adelia nyaris kehabisan napas.
Dia begitu panik hingga air matanya menetes dan membasahi perban pada lukanya, membuat rasa sakitnya kian menjadi-jadi.
"Paman, kamu menyakitiku. Lukaku sakit banget …"
Entah karena pengaruh alkohol atau teriakan Adelia, tubuh Jarvis sedikit menegang, sebelum melepaskan cengkeramannya.
Adelia segera berguling ke samping dan melarikan diri. Dia bahkan tidak sempat memakai sepatu, lalu berlari ke ruang tamu sambil menyelimuti diri dengan selimut. Dia baru bisa tertidur saat fajar menyingsing.
Keesokan sorenya, begitu membuka mata, Adelia melihat Jarvis di depannya dengan ekspresi heran.
Ingatan kejadian tadi malam muncul dalam pikirannya, membuat Adelia ketakutan hingga meringkuk ke sudut sofa.
Melihat gerakannya, tatapan Jarvis tampak dingin.
"Apa kamu yang membawaku ke kamarmu tadi malam?"
Adelia bingung dengan pertanyaannya. Saat hendak menjelaskan, Jarvis mengernyit lagi.
"Jangan berpikir kayak gitu lagi atau kamu harus pindah dari sini."
Melihat keyakinan pada ekspresi Jarvis, Adelia menelan kembali "kamu mabuk" yang hampir terucap dari mulutnya.
Berdasarkan pengalaman menciumnya diam-diam, entah bagaimanapun penjelasannya tidak akan membuat Jarvis percaya.
Jadi, Adelia memutuskan untuk bungkam.
Bayangan mereka terpantul di lantai. Saat Adelia melihat bayangan di depannya tampak mengangkat tangan, dia langsung mendongak.
Tangan Jarvis berhenti tepat di atas kepalanya, seolah akan membelainya.
Adelia seketika mematung, matanya penuh dengan ketidakpercayaan.
Semasa kecil, setiap kali Adelia merindukan keluarganya dan menangis hingga sesak napas atau saat dia merasa sedih dan kesepian, Jarvis selalu membelai kepalanya dan menenangkan dengan lembut.
Hal ini merupakan ungkapan rahasia di antara mereka.
Namun, sejak usianya 17 tahun kontak fisik hampir tidak terjadi lagi di antara mereka.
Adelia begitu tegang sampai nyaris berhenti bernapas.
Kemudian, Jarvis meregangkan tangan untuk mengambil sebotol anggur merah dari lemari di belakang Adelia.
Ternyata perasaannya saja.
Adelia tersenyum getir.
Karena ingin cepat laku, semua barang dan rumah tuanya terjual cepat karena dia menjualnya di bawah harga pasar.
Adelia berhasil mengumpulkan lebih dari 180 miliar, tetapi masih kurang beberapa miliar dari jumlah yang harus dilunasi.
Tidak lama lagi dia akan pindah ke luar negeri, jadi waktunya tinggal sedikit. Adelia adalah pelukis. Kendatipun masih pemula, dia telah memenangkan banyak penghargaan dan cukup terkenal dalam dunia seni. Oleh karena itu, dia berencana mengadakan pameran lukisan untuk menjual karyanya.
Adelia kesulitan untuk menyelenggarakan pameran sendirian dalam waktu singkat, jadi dia minta bantuan Jarvis.
Elina yang kebetulan ikut mendengarnya terkejut. Dia tersenyum sambil mendekatinya.
"Kebetulan aku juga sedang menyiapkan pameran lukisan, gimana kalau kita kerja sama?"
Melihat Jarvis yang tampak tidak keberatan, Adelia menyetujuinya.
Lima hari kemudian, pameran lukisan mereka berdua diadakan secara bersamaan di galeri seni.
Elina telah mempelajari seni lukis selama lebih dari 10 tahun dan ini pertama kalinya dia mengadakan pameran besar sehingga Jarvis sangat memedulikannya.
Jarvis menyediakan aula utama seluas beberapa ratus meter persegi untuk Elina, menghiasnya sebagus mungkin dan menggunakan berbagai cara untuk mempromosikannya.
Dengan begitu, pada hari pameran, para sosialita, seniman, dan tokoh terkenal yang datang akan memecahkan rekor jumlah pengunjung galeri seni.
Sementara itu, pameran lainnya yang ditempatkan di aula samping tidak seberuntung itu.
Hampir seratus lukisan dijejalkan dalam aula seluas sepuluh meter persegi yang saking sempitnya membuat pengunjung sulit bergerak. Tidak ada yang datang melihat. Apa lagi, sampai melelang.
Adelia di ambang pintu menatap ke arah keramaian di kejauhan. Matanya penuh dengan kekecewaan.
Beberapa teman yang datang mencoba untuk menghiburnya, sebelum tiba-tiba terdengar jeritan dari dalam aula.
"Adelia, gawat!"