Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 4

Lima hari kemudian, Jarvis kembali dengan Elina. Sesampainya di rumah, pandangan Adelia tertuju pada kalung yang mencolok di leher Elina. Adelia meliriknya sekilas, lalu menundukkan kepala. Ternyata kalung itu memang untuknya. Dia penasaran tentang apa yang ingin dikatakan oleh Jarvis saat itu. Di depan Jarvis, Elina selalu memperlakukan Adelia dengan ramah. Dia mendekat dan meraih tangannya. "Adelia, beberapa hari ini kamu pasti bosan sendirian di rumah, 'kan? Aku beli banyak barang, ayo lihat adakah yang kamu suka?" Sambil mengatakannya, Elina melepas jaketnya dan menarik Adelia ke tumpukan kotak. Adelia menggelengkan kepala sambil menolak. Elina menatapnya dengan ekspresi memohon dan nada bicaranya terdengar setengah bercanda. "Kenapa sungkan? Anggap aja ini hadiah dari calon bibi?" Mendengar kata "bibi", Adelia tanpa sadar mendongak dan melihat bekas ciuman di sekitar bahu dan leher Elina, membuat hatinya sedikit bergetar. Di antara foto-foto yang dikirimkan Elina, ada satu yang menghadap langsung ke ranjang hotel. Saat itu, Adelia tidak paham mengapa foto itu diambil. Sekarang setelah melihat bekas-bekas itu, Adelia segera mengerti maksudnya dan tidak lagi berbicara. Sambil membantunya membuka kotak, Elina mulai membicarakan tentang pesta malam ini. "Jarvis, gimana kalau kita ajak Adelia ke pesta kedewasaan Nona Minoto? Mereka seumuran, seharusnya mudah bergaul." Mendengar tentang pesta, Adelia tertegun. Selama tinggal di rumah keluarga Cakrawala setelah orang tuanya tiada, Jarvis belum pernah mengajaknya ke pesta apa pun. Bukan tanpa alasan karena di sana hanya kumpulan beberapa orang munafik dan mengatainya sebagai parasit. Kali ini Jarvis tetap menggelengkan kepala dan tidak setuju. Elina langsung memeluk lengannya dan mulai manja, mengatakan bahwa dia bosan jika pergi sendirian dan ingin Adelia menemaninya. Jarvis tidak bersikeras lagi dan dengan enggan menyetujuinya. Melihat mesranya mereka bedua, Adelia menundukkan kepala dan tersenyum tipis. Di dunia Jarvis, Elina memang memiliki tempat yang istimewa. Jarvis bahkan mengesampingkan semua alasan lamanya demi Elina. Tampaknya, pamannya sungguh menyukai Elina. Selama pamannya bahagia, meski orang di sisinya bukan lagi dirinya, Adelia bisa pergi dengan tenang. Di acara pesta, para tamu saling bersulang dan beramah-tamah. Adelia berdiri sendirian di pojokan. Dia diam-diam memperhatikan Jarvis yang sudah minum banyak gelas untuk Elina sambil minum jus. Beberapa perempuan berjalan sambil tertawa dan tidak sengaja menumpahkan anggur merah padanya, sebelum terus-terusan meminta maaf. Adelia tidak mempermasalahkan dan berencana membersihkan diri di kamar mandi. Sebelum pergi, dia menyerahkan ponsel dan tasnya pada Jarvis. Sepuluh menit kemudian Adelia kembali dan melihat Jarvis menatapnya sambil mengernyit, nada bicaranya terdengar heran. "Bibimu barusan telepon apa kamu lagi senggang. Aku bilang kamu sibuk dan bakal menelepon nanti." Mendengar kata "bibi", wajah Adelia menegang. Beruntung dia tidak mendengar tentang kepergiaannya ke luar negeri, jadi ekspresinya seketika berubah santai. Jarvis memperhatikan perubahan ekspresi Adelia dan bertanya. "Kapan kamu terakhir berhubungan sama bibimu?" "Dua minggu yang lalu. Bibi memintaku mengirim beberapa foto kakek dan nenek." Adelia menjawab asal-asalan. Jarvis kelihatan lega dan tidak meragukannya, lalu berpaling merapikan rambut Elina yang berantakan. Adelia mengambil kembali ponsel dan tasnya, kemudian kembali menunggu di pojokan. Namun, menara sampanye yang tinggi tiba-tiba tersenggol dan jatuh ke arah Adelia dan Elina. "Hati-hati!" Jarvis yang berada paling dekat, secara refleks menarik Elina dan melindungi dalam pelukannya. Prang! Suara menara sampanye yang runtuh terdengar keras, menghantam Adelia yang terlambat bereaksi sebelum akhirnya terjatuh ke lantai. Pecahan kaca berserakan ke mana-mana. Darah segar mengucur deras dari Adelia yang terjatuh di lantai. Gaun putihnya yang ternodai oleh darah terlihat mengerikan. Kejadian itu mendadak ini membuat orang-orang histeris. Elina menangis ketakutan meski tidak terluka. Melihat Adelia yang penuh darah di lantai dan Elina yang menangis ketakutan di pelukannya, Jarvis ragu sejenak sebelum membuat keputusan. "Kamu bawa dia ke rumah sakit." Jarvis memerintahkan pengawal di sampingnya, lalu menggendong Elina ke luar. Baru setelah keduanya menghilang dari pandangan, Adelia baru bisa berdiri dengan terhuyung-huyung di tengah tatapan penuh kasihan. Waktu menunjukkan pukul satu dini hari setibanya Adelia di rumah setelah mengurus lukanya. Dokter menjahitnya dengan beberapa jahitan dan menyarankan untuk rawat inap, tetapi Adelia menolak dan pulang setelah mengambil beberapa obat. Jarvis belum pulang. Adelia mematikan lampu dan berbaring di ranjang, menatap langit-langit yang gelap sambil melamun. Rasa sakit pada berbagai bagian tubuhnya membuatnya sulit tidur. Setelah bergolek sampai pukul tiga, dia baru bisa memejamkan mata sedikit. Lampu ruang tamu mendadak menyala. Jarvis kembali dengan aroma alkohol yang menyengat, langkahnya terhuyung saat menaiki tangga. Jarvis tidak kembali ke kamarnya, tetapi menuju ke ruangan paling ujung, bekas ruang kerjanya. Dia membuka pintu secara perlahan. Adelia tidak bisa tidur nyenyak. Dia berguling dan lukanya tergores, membuatnya mengerang dalam tidurnya. Erangan lemah itu terdengar oleh Jarvis. Dia mengikuti suaranya dan berjalan ke sisi ranjang, kemudian membungkuk dan memeluknya. Satu tangan menggeser piyamanya, menempelkan telapak tangan yang lembut di pinggangnya yang ramping. Sementara itu, tangan satunya mengangkat dagu Adelia dan menciumnya.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.