Bab 2
Derap langkah dari luar pintu tiba-tiba membuyarkan lamunan Adelia.
Adelia mendongak dan langsung bertatapan dengan Jarvis.
Melihatnya duduk sendirian di meja makan, Jarvis refleks melihat ke arah jam dinding yang menunjukkan hampir pukul 11.
Dia agak mengernyit, tetapi tidak mengatakan apa pun dan langsung berjalan ke lantai atas.
Tidak sepatah kata pun yang terucap, sikapnya dingin seperti orang asing.
Adelia merasa getir, tetapi dia tetap memanggilnya.
"Paman, makan malam …"
Jarvis menjawab dengan suara dingin tanpa menghentikan langkahnya.
"Aku sudah makan sama Elina. Sudah berulang kali kubilang nggak usah menungguku."
Setelah mengatakannya, dia membanting pintu keras-keras.
Adelia merasa terguncang dan matanya terasa pedih.
Sebelumnya Jarvis tidak pernah berbicara dengan nada seperti itu.
Jarvis tahu setelah kehilangan keluarganya, Adelia takut sendirian dan benci makan sendirian. Meskipun sibuk dengan tugas sekolah atau pekerjaan, Jarvis selalu pulang untuk menemaninya makan. Saat dia ke luar negeri pun selalu pulang cepat hanya untuk memastikan Adelia tidak kehilangan nafsu makan dan tidak mengalami masalah.
Tidak berubah selama lebih dari sepuluh tahun.
Namun, sejak Adelia menyatakan perasaannya untuk pertama kali, semuanya berubah.
Jarvis mulai menjaga jarak darinya, terus lembur dan pergi ke luar kota agar tidak bertemu dengannya. Dia juga tidak lagi memberikan kejutan atau hadiah, menarik kembali perhatian dan kasih sayangnya.
Setelah kemunculan Elina tatapan Jarvis padanya kian dingin, hampir seperti orang asing.
Adelia memahami alasannya, tetapi tidak punya cara untuk mengubah keadaan.
Dia hanya bisa mencicipi makanan yang hampir dingin dengan sendok dan menelannya seperti mengunyah lilin.
Di meja penuh dengan berbagai macam hidangan, tetapi Adelia hanya bisa merasakan rasa pahit.
Setelah cukup kenyang, Adelia membereskan semuanya sebelum pergi ke depan pintu kamar Jarvis dan mengetuknya dengan pelan.
Jarvis mengernyit saat membuka pintu, suaranya terdengar kesal.
"Bukannya sudah kubilang jangan ganggu kalau nggak ada urusan?"
Adelia menggigit bibir sambil mengepalkan tangan.
"Paman, aku mau ganti kamar."
Jarvis menatapnya dengan agak heran, tetapi dia tidak terlalu menghiraukan.
"Pindah aja kalau mau."
Adelia mengangguk, lalu kembali ke kamarnya.
Melihat jendela prancis yang menjulang hingga ke lantai dan berbagai perabotan mewah, serta lemari yang penuh dengan pakaian, sepatu, dan tas, Adelia merasa agak takjub.
Kamar ini adalah kamar terbesar dan paling terang di vila yang sebelumnya adalah kamar Jarvis.
Saat dia pindah ke keluarga Cakrawala, Jarvis dengan sukarela memberikan kamar ini padanya dan mengusap rambutnya sambil berkata, "Adelia adalah tuan putri kita, sudah seharusnya tinggal di kamar terbaik."
Sekarang Adelia akan segera pergi dan Elina mungkin menempati kamarnya kapan saja.
Dia hanya anak angkat yang menumpang di rumah orang, tidak berhak menempati kamar terbaik yang seharusnya digunakan oleh tuan rumah.
Itulah sebabnya, Adelia berniat untuk ganti kamar. Guna memberikan ruang dan untuk menghitung barang-barangnya.
Pada hari berikutnya, Adelia memindahkan semua barangnya ke kamar kecil di ujung lorong yang dahulunya merupakan ruang kerja Jarvis.
Setelah membersihkan kamarnya, Adelia membawa dokumen dan turun untuk mengurus visa.
Saat melewati ruang tamu, Adelia hanya menyapa Jarvis dengan membungkuk, tidak lagi menyapa dengan antusias seperti biasa.
Jarvis tidak terbiasa dengan sikap Adelia yang tenang.
Melihat Adelia pergi sambil menundukkan kepala dan diam, Jarvis merasa Adelia sepertinya telah banyak berubah sehingga dia memanggilnya.
"Di luar hujan deras, kamu mau ke mana? Aku bakal mengantarmu."
Sudah lama Adelia tidak mendengar tawaran dari Jarvis sehingga dia agak terkejut.
"Hari ini Natal, kamu nggak pergi kencan?"
Adelia bergumam. Jarvis tidak mendengar dengan jelas, kemudian balik bertanya.
"Apa?"
Adelia mengepalkan tangan dan menundukkan pandangan.
"Kemarin aku lihat di berita kalau Paman beli kalung berlian seharga puluhan miliar di rumah lelang. Paman pasti berniat memberikannya pada Elina, 'kan?"
Jarvis terdiam dan tanpa sadar menjawab.
"Kalung itu untuk …"
Bunyi bel pintu menyela ucapannya.
Tak lama kemudian, Elina yang berambut panjang bergelombang menjuntai hingga pinggang, mengenakan gaun rajut kecil, riasan yang sempurna masuk ke dalam, lalu menggenggam tangan Jarvis dengan manja.
"Jarvis, aku sudah siapkan hadiah Natal buatmu, tebak apa?"
Sesuai dugaan Adelia.
Dia menundukkan kepala, sudut bibirnya tersenyum getir.
Mungkin karena sudah memutuskan untuk pergi, jadi saat mendengar mereka akan berkencan, Adelia tidak merasa sakit hati seperti sebelumnya. Dia hanya mundur beberapa langkah untuk memberi jalan.
Jarvis juga tidak menjelaskan lagi. Dia menggandeng Elina keluar sambil memanggilnya untuk ikut.
"Jangan sembarang pergi. Mau ke mana, biar kuantar."
Adelia tertegun sejenak, lalu menjawab dengan patuh.
"Makasih, Paman."
Kali ini, dia benar-benar berterima kasih padanya.
Tak lupa dengan tulus memanggilnya paman.