Bab 1
"Bibi, sudah kuputuskan. Aku bersedia meninggalkan keluarga Cakrawala untuk tinggal di luar negeri bersamamu."
Suara bibi di ujung panggilan telepon terdengar gembira.
"Ya, Adelia. Bibi bakal segera urus visamu. Mungkin butuh waktu sekitar sebulan. Sekarang gunakan waktumu buat bertemu teman-temanmu karena setelah menetap di Tobajo, kalian mungkin bakal jarang bertemu. Jadi, bicaralah yang banyak sambil berpamitan."
"Terutama pamanmu yang telah merawatmu sejak kecil. Jangan lupakan kasih sayangnya dan pastikan berterima kasih dengan sepatutnya."
Adelia mengiakan dengan nada pelan beberapa kali.
Setelah menutup telepon, dia beranjak dari balkon ke ruang tamu dan tanpa sadar melirik foto di meja.
Cahaya senja membara seperti api, menampakkan kehangatan pada wajah kedua orang di foto.
Jarvis Cakrawala yang berusia 17 tahun mendorong ayunan Adelia yang berusia tujuh tahun sambil tersenyum hangat. Ujung rok Adelia berkibar tertiup angin, menyibak bunga-bunga tulip di taman.
Meskipun telah lama berlalu, Adelia masih ingat betapa bahagianya masa itu.
Sayangnya, hubungan mereka telah berubah. Dia dan Jarvis tidak bisa kembali seperti dulu lagi.
Memikirkan hal itu, kesedihan terlintas pada mata Adelia. Dia memandang ke kejauhan, mengenang masa lalu yang makin menjauh.
Keluarga Kumala dan keluarga Cakrawala merupakan sahabat selama beberapa generasi, karena Jarvis lebih tua sepuluh tahun dari Adelia. Jadi, dia memanggilnya "Paman".
Pada usianya yang ketujuh, orang tua Adelia menjadi korban dalam kecelakaan pesawat. Lalu, Jarvis mengajaknya untuk tinggal bersama keluarga Cakrawala.
Mungkin karena iba melihatnya kehilangan orang tua pada saat masih kecil, Jarvis selalu mengajak Adelia ke mana pun dia pergi dan merawatnya sendiri.
Setiap hari Jarvis membacakan dongeng pengantar tidur, mengantar dan menjemputnya dari sekolah, dan setiap melihat barang yang baru atau menarik, Jarvis pasti akan membelikannya. Hari demi hari, anak kecil yang diajaknya pulang telah menjadi gadis yang anggun.
Karena sifatnya yang lembut dan perhatian, sejak kecil Adelia selalu lengket dengan Jarvis.
Menginjak usia remaja, tidak mengherankan jika Adelia jatuh cinta pada pria yang menemaninya tumbuh dewasa.
Pada usianya yang ke-17, Jarvis mengadakan pesta ulang tahun yang meriah untuk Adelia seperti tahun-tahun sebelumnya.
Jarvis mabuk berat selama pesta dan Adelia menemaninya istirahat.
Melihat pria yang disukainya berada tepat di depannya, Adelia tidak bisa menahan diri untuk menciumnya.
Jarvis seketika membuka mata dan mendorongnya ke ujung sofa.
Adelia bingung dengan perbuatan Jarvis. Baginya sekarang adalah kesempatan yang tepat untuk menyatakan perasaannya pada Jarvis.
Namun, pada mata Jarvis pernyataan Adelia bertentangan dengan etika.
Jarvis merasa konyol dan murka.
"Adelia! Kamu nggak sadar kalau aku pamanmu?"
"Aku memang memanggilmu Paman, tapi kita nggak semarga dan nggak berhubungan darah."
Melihat Adelia yang tetap keras kepala, ekspresi Jarvis menegang.
"Aku sepuluh tahun lebih tua darimu! Kamu baru 17 tahun, nggak bisa bedakan antara perasaan suka dan cinta, kamu bahkan nggak mengerti apa itu suka!"
Adelia biasanya menurut, tetapi sekarang dia sangat keras kepala.
"Jadi, aku ditolak karena masih kecil? Nggak masalah, aku juga bakal tumbuh dewasa. Aku bakal buktikan kalau aku bisa bedakan perasaan cinta dan suka!"
Adelia sudah lupa bagaimana pertengkaran itu berakhir.
Sejak saat itu, Adelia selalu menyatakan perasaannya setiap ulang tahunnya.
Meski Jarvis selalu menolaknya setiap tahun, Adelia tetap pantang menyerah.
Sebulan lagi usianya yang ke-21.
Namun, tahun ini dia tidak berencana untuk menyatakan perasaannya lagi.
Karena sebulan yang lalu, Jarvis mengenalkan kekasihnya pada Adelia.
Adelia sangat terpukul, sambil menahan air matanya dia bertanya apa Jarvis hanya meminta seseorang untuk berpura-pura sebagai kekasihnya supaya Adelia menyerah.
Jarvis meliriknya dengan sinis dan suaranya terdengar dingin.
"Jangan mimpi. Aku sudah cukup umur, wajar kalau aku punya pacar."
Matanya yang dingin dan suaranya yang cuek sangat melukai Adelia.
Dia menangis semalaman. Pikirannya kacau dan terus mengingat kembali berbagai kenangan selama ini.
Saat fajar menjelang, bibinya yang tinggal di luar negeri mengirim pesan.
"Adelia, kamu mau tinggal di luar negeri bersamaku?"
"Sebenarnya saat keluarga Kumala tertimpa musibah, aku pengin mengajakmu pergi. Tapi waktu itu karierku belum stabil dan masih tertekan habis melahirkan sehingga aku nggak memikirkan hal lain. Sekarang kamu sudah dewasa, nggak nyaman kalau masih tinggal di keluarga Cakrawala, 'kan? Kondisiku juga sudah membaik, jadi apa kamu mau berkumpul sama keluarga bibi?"
Adelia tidak membalas pesannya.
Dia tidak ingin meninggalkan Jarvis dan ingin mencoba lagi.
Namun, selama setengah bulan, Jarvis sering mengajak kekasihnya Elina Jayati di hadapannya, seolah sengaja pamer.
Bergandengan tangan, berpelukan, berciuman, dan melakukan semua kemesraan yang biasa dilakukan pasangan kekasih.
Semalam Jarvis bahkan membiarkan Elina menginap dan mengajak ke kamarnya.
Adelia duduk terdiam di lantai bawah hingga pukul tiga pagi. Baru setelah melihat lampu di kamar Jarvis mati, Adelia mendengar suara samar yang penuh kemesraan dari dalam.
Dia menutup mulutnya dengan erat, air matanya menetes tanpa suara dan membasahi sofa.
Pada saat itu, Adelia akhirnya memutuskan untuk menyerah.
Menyerah untuk menyukai Jarvis.