Bab 10
"Sial." Cecilia langsung mengungkapkan ketidaksukaannya pada Arelia begitu melihatnya. Dia berbalik dan menarikku keluar, "Val, terlalu banyak pengganggu di sini. Ayo pindah toko."
Aku melirik ke arah Arelia. Berdasarkan pemahamanku tentang dia, dia pasti akan membuat kekacauan.
Karena suasana hatiku sedang baik dan aku tidak ingin membuang waktu dan tenaga dengan mereka.
Aku mengangguk kepada Cecilia, "Oke, ayo pergi."
Aku dan Cecilia berjalan keluar. Pengikut kecil Arelia melirik ke arah Arelia dan berkata dengan marah, "Masih berpura-pura sok? Siapa yang nggak tahu kamu akan bangkrut, tapi masih saja begitu sombong!"
Arelia memberi isyarat untuk menghentikan pengikut kecil itu, "Jangan bicara lagi."
"Siapa yang kamu bicarakan?" Cecilia berbalik dengan garang, kemudian berjalan menuju pengikut kecil itu dengan agresif. Dia mengulurkan tangannya untuk mendorong Arelia menjauh dan Arelia berteriak sambil menabrak gantungan baju di samping.
Pengikut Arelia yang lain bergegas membantunya, "Arel, kamu baik-baik saja? Cecilia, kenapa kamu memukul orang!?"
"Apa salahnya memukul kalian? Percaya atau nggak, aku akan menghajar kalian semua kalau nggak jaga mulut kalian!" Cecilia bergerak terlalu cepat. Sebelum aku sempat bereaksi, dia sudah bergegas ke hadapan orang lain dan mengangkat tangan untuk memukulnya.
Belum lagi kekuatan semua orang, mustahil aku dan Cecilia bisa mengalahkan mereka bertiga. Dengan aku dan Cecilia yang biasanya dimanjakan hingga tidak bisa mengangkat botol kecil air mineral, mustahil kami memiliki peluang untuk menang dalam bertarung.
Ditambah lagi kamilah yang memulai dulu
Menjelang ujian masuk universitas, aku tidak ingin Cecilia terpengaruh karena masalahku. Aku segera melangkah maju dan meraih tangan Cecilia yang hendak diayunkan sambil menggelengkan kepalaku padanya.
Akan tetapi, tindakanku membuat orang lain merasa aku pengecut.
Pengikut kecil itu terkekeh lagi dan mengacungkan jempol pada Cecilia, "Lihat, majikanmu lebih berpengetahuan darimu. Untuk apa bertindak liar di sini?"
Detik berikutnya, tamparan keras menghantam wajah pengikut kecil itu.
Setelah hidup kembali, aku mengerti aku tidak harus selalu bersaing dengan orang lain dan juga mengerti kalau aku tidak perlu membuang waktu dengan orang-orang yang tidak penting.
Oleh karena itu, aku berpura-pura tidak melihat semua trik kecil yang Arelia mainkan selama ini.
Akan tetapi, sepertinya toleransiku membuat mereka merasa kalau aku adalah wanita lemah yang bisa ditindas sesuka hati. Begitu lemahnya hingga teman yang bersamaku juga ikut ditindas.
Aku menamparnya dengan keras. Begitu tamparan itu mendarat, bekas tamparan muncul di wajah pengikut kecil itu.
Tidak ada yang menyangka aku akan memukul seseorang. Arelia adalah orang pertama yang bereaksi dan melindungi pengikut kecil itu dengan tidak percaya, "Valen, kenapa kamu memukul orang?"
Cecilia tanpa sadar berdiri di hadapanku, "Apa kamu nggak tahu siapa yang membuat masalah lebih dulu?"
Aku mengabaikan Arelia, menarik Cecilia ke belakangku dan melihat ke pengikut kecil itu, "Namamu Wendy, 'kan? Aku ingat kamu dibujuk untuk putus sekolah karena berkelahi setelah ujian bulanan terakhir kali dan cuma karena orang tuamu pergi ke kantor kepala sekolah untuk berlutut di hadapannya sehingga kepala sekolah nggak memaksamu untuk putus sekolah, 'kan?"
SMA Lurin adalah SMA terbaik di Kota Lurin, dengan siswa dari berbagai kalangan masyarakat di dalamnya. Ada orang seperti kami yang berasal dari keluarga kaya dan membayar biaya sponsor untuk masuk sekolah, juga ada orang seperti Arelia serta Wendy yang berasal dari keluarga biasa-biasa saja, tapi memiliki nilai bagus dan masuk sendiri.
Mungkin perbedaan antara orang kaya dan orang miskin terletak pada kenyataan bahwa kita memiliki lebih banyak pilihan dibandingkan mereka dan lebih percaya diri.
Ketika Wendy mendengar apa yang kukatakan, wajahnya tiba-tiba memucat.
Aku menatapnya dengan dingin, "Besok adalah hari ujian masuk universitas. Kusarankan kamu untuk jangan menimbulkan masalah atau kita akan coba siapa yang akan membayar akibatnya."
Setelah mengatakan itu, aku mengarahkan pandanganku ke wajah Arelia dan memberinya tatapan peringatan.
Arelia tertegun sejenak olehku dan langsung bereaksi dengan mata memerah, "Valen, kamu mengancam kami?"
"Arelia." Entah mengapa aku kehilangan seluruh kesabaranku untuk sesaat, tetapi aku masih berkata dengan sabar, "Sebenarnya kamu nggak melakukan hal-hal kecil ini padaku."
"Aku sudah berkali-kali mengatakan kalau aku nggak menyukai Charles lagi."
"Kamu nggak perlu memusuhiku dan nggak perlu mengawasiku."
"Kalau kamu cukup pintar, kamu harus belajar dengan giat dan berusaha keras memperbaiki diri."
"Kakek Charles nggak mempermasalahkan konsep status keluarga kalau dia menyukaimu, tapi ibu Charles belum tentu."
Aku berbicara perlahan dan bertanya-tanya mengapa mereka semua diam.
Aku merasa aneh dan tanpa sadar menatap Cecilia.
Cecilia juga melirik ke arahku dan ingin mengatakan sesuatu, tetapi dia mengurungkannya dan menelan ludah.
Mereka melihat ....
Sebelum aku memikirkan kata "hantu", aku mendengar suara dingin dan cibiran kasar Charles.
"Valen, kamu sangat pandai meramal masa depan. Entah apakah kamu bisa memprediksi kamu akan diterima di Universitas Hanra atau nggak."
Seketika aku merasakan keringat dingin mengucur di punggungku.
Mengapa Charles ada di sini?
Seberapa banyak dia mendengar apa yang baru saja kukatakan?
Meski aku tidak lagi menyukai Charles, bukan berarti aku bisa membicarakan urusan keluarga orang lain sesuka hati.
Aku merasa agak bersalah, tetapi lebih merasa canggung.
"Kenapa nggak lanjutkan ucapanmu? Valen, bukankah kamu pandai berbicara?"
Langkah kaki Charles semakin dekat dan setiap langkah seolah membuatku gelisah.
Aku menelan ludah dan berusaha menjaga ekspresiku sealami mungkin sebelum berbalik, "Apa lagi yang ingin Tuan Muda Charles dengar? Kenapa kamu nggak memberitahuku dan aku akan memberitahumu apa yang kamu inginkan?"
Meskipun aku tahu tidak baik membicarakan urusan orang lain, aku merasa bersalah kalau orang yang terlibat mendengarnya. Akan tetapi seburuk apa pun dirimu, tetap saja harus berusaha keras tidak dipandang remeh orang lain. Sekalipun aku tahu siapa yang salah, saat ini aku tidak bisa mengakuinya.
Selain itu, apa yang kukatakan juga demi dia dan Arelia.
Dengan suara keras, Charles menendang sebaris pakaian di sebelahnya.
Semua orang menggigil ketakutan, bahkan pelayan pun tidak berani berkata apa-apa saat melihat barangnya sendiri rusak.
Arelia juga sepertinya belum pernah melihat Charles begitu marah. Matanya memerah dan dia berbisik, "Charles ...."
"Keluar!"
"Charles ...." Arelia berbicara lagi.
Charles kehilangan kesabarannya dan menendang sebaris pakaian lainnya. Suaranya sangat dingin, "Semuanya keluar dari sini."
Arelia dan para pengikutnya bergegas pergi. Setelah Charles melemparkan kartu hitam ke meja depan, para pelayan juga pergi dengan bijak.
Pada akhirnya, hanya ada aku, Charles dan Cecilia yang tersisa di toko pakaian.
Cecilia memegang tanganku dengan erat seolah takut aku akan ditindas oleh Charles, tetapi nyatanya dia tidak berani memprovokasi Charles yang sedang marah.
Aku tahu amarah Charles ditujukan padaku, jadi aku berkata pada Cecilia, "Keluarlah dan tunggu aku. Aku akan segera keluar."
"Nggak bisa, aku ...."
Aku melirik ke arah Charles. Toleransinya telah mencapai ambang batas.
"Nggak apa." Aku menyela Cecilia dan memberinya senyuman santai, "Aku akan baik-baik saja, pergi dan tunggu aku. Sebentar lagi aku akan keluar."
Cecilia menatap Charles dengan hati-hati, kemudian mengangguk dan pergi dengan gelisah.