Bab 11
Hanya tersisa kami berdua.
Ini adalah pertama kalinya aku bertemu Charles lagi sejak kami berpisah.
Setelah hari itu, kukira kami berdua tidak akan bertemu dalam waktu yang lama.
Akan tetapi, rasanya seperti langit sengaja mempermainkanku. Tidak hanya kami bertemu dengan begitu cepat, tetapi kami juga bertemu dalam situasi seperti itu.
Aku menatap Charles yang mendekatiku selangkah demi selangkah dengan alis berkerut, aku tanpa sadar ingin mundur.
Akan tetapi sebelum aku bisa mundur, dia menarik pergelangan tanganku dan melemparkanku ke meja kasir.
Kemudian, dia berdiri di depanku dengan tangan di lenganku dan mencondongkan tubuh sambil menatapku, "Kamu telah menjodohkanku dengan Arelia, terus kamu dijodohkan dengan siapa?"
"James atau keluarga kaya di Kota Lurin lainnya?"
Menurut apa yang Charles katakan, rasanya aku seperti sebuah barang dengan harga yang jelas.
Walaupun dia sudah pernah mengatakannya sekali dan mengetahui aku hanyalah orang dengan niat jahat baginya, aku tetap merasa marah karena dihina.
Aku menatapnya sambil tersenyum dan sengaja memprovokasinya, "Menurutmu siapa yang akan kupilih?"
"Valen!"
Charles menggertakkan gigi dan memanggil namaku.
Aku mengangkat tangan dan perlahan mengulurkannya ke arah wajah Charles. Saat hendak menyentuh wajahnya, aku mendorongnya menjauh, "Tapi nggak peduli siapa yang kupilih, aku nggak akan pernah memilihmu."
Senyumanku menghilang dan aku melangkah keluar dengan ekspresi dingin.
Setelah keluar dari toko, Cecilia menghampiri dan memegang tanganku, "Val, kamu baik-baik saja?"
Aku menggelengkan kepalaku, tetapi aku tidak ingin pergi berbelanja lagi.
"Ayo pulang."
"Oke."
Cecilia segera memanggil sopir keluarganya dan kami berdua segera pergi.
Saat kami pergi, sebuah tatapan mata terus tertuju padaku.
Aku tidak menoleh ke belakang, aku hanya ingin pergi dari tempat ini secepatnya.
Setelah kembali ke rumah Cecilia, awalnya aku ingin langsung kembali ke kamar. Akan tetapi, orang tua Cecilia kembali dari luar kota untuk menemani putri kesayangan mereka pada malam ujian masuk universitas.
Cecilia sangat senang. Setelah melihat orang tuanya, dia memeluk mereka dan memanggil orang tuanya dengan manja.
Aku berdiri di sana, seketika tidak tahu harus berbuat apa.
Setelah tercengang sekitar sepuluh detik, aku diam-diam keluar dari ruang tamu.
Kepala pelayan Keluarga Kilen ingin memanggilku, jadi aku memberi isyarat diam padanya dan berjalan keluar dengan langkah cepat.
Orang tua Cecilia berkecimpung dalam dunia politik, tetapi nenek moyang mereka telah mengumpulkan sejumlah kekayaan. Meskipun sudah tidak berkutik dalam dunia bisnis, mereka masih menduduki peringkat tinggi di Kota Lurin.
Orang tuanya sangat baik dan sopan kepadaku, tetapi ini adalah hari yang langka bagi mereka untuk bersatu kembali dan tidak pantas bagiku sebagai orang luar ada di sana.
Aku mengirimkan pesan pada Cecilia yang mengatakan aku ada di rumah Keluarga Guria dan tidak perlu mengkhawatirkanku.
Setelah pergi dari rumah Cecilia, aku memilih hotel secara acak untuk menginap.
Pada malam hari, aku mandi dan berbaring di atas kasur untuk tidur lebih awal.
Aku telah mempelajari banyak soal pertanyaan dalam beberapa hari terakhir dan aku sangat percaya diri dengan ujian besok.
Akan tetapi aku selalu memikirkan apa yang terjadi hari ini, serta keengganan dan penyesalan di kehidupanku sebelumnya.
Aku merasa sangat bingung dan jengkel, tetapi aku harus memaksakan diri untuk menahan semua emosi ini dan menghadapi ujian besok dengan baik.
Setelah berguling-guling di atas kasur beberapa kali, aku memejamkan mata dan berusaha keras untuk istirahat.
Beberapa hari ke depan akan menjadi ujian masuk universitas yang menegangkan.
Setiap hari aku tidur dan bangun lebih awal, makan tepat waktu dan menjalani awal baru dalam hidupku di tengah kesibukan.
Pada hari ujian masuk universitas berakhir, Pak Willy yang menjadi antar jemputku datang menjemputku di gerbang sekolah.
Dia berdiri di luar mobil. Setelah melihat sosokku, dia berjalan ke arahku dan berkata, "Nona, Tuan menyuruhku untuk mengantarmu kembali."
Aku menatap Pak Willy dan tidak segera mengikutinya.
Benny bahkan tidak meneleponku selama berhari-hari dan sekarang tiba-tiba menyuruh seseorang untuk menjemputku.
"Nona." Pak Willy melihatku tidak bergeming dan membungkuk kepadaku.
Aku melirik ke arahnya dan berjalan menuju mobil.
Satu jam kemudian, aku pun sampai di rumah Keluarga Guria.
Aku turun dari mobil dan baru saja berjalan ke ruang tamu ketika aku mendengar Liana memanggilku dengan lembut dan ramah, "Akhirnya Val sudah pulang. Belakangan ini kamu sudah bekerja keras. Bibi menyuruh bagian dapur untuk menyiapkan es sarang burung, minumlah."
Aku mengganti sepatuku dan hendak menjawab ketika aku melihat James mengenakan kemeja merah muda yang sangat murahan dan tersenyum angkuh ke arahku, "Hai, apa kabar, Valen?"
Charles berkata setelah Keluarga Heisin memberikan proyek kepada Keluarga Guria, aku akan bersiap untuk bertemu James lagi.
Aku hanya tidak menyangka Benny begitu tergesa-gesa.
Sore harinya setelah ujian masuk universitas berakhir, orang itu sudah ada di rumah kami.
Aku merasa James tidak menyukaiku, tetapi Benny tidak merasa demikian.
Benny turun dari atas. Setelah melihat James menyapaku dan aku tidak membalasnya, dia mengerutkan kening dan menghardikku, "Apa kamu nggak dengar Tuan Muda James menyapamu?"
Setelah mengatakan itu, dia tersenyum datar pada James, "Mohon Tuan Muda James jangan marah. Mungkin Val terlalu cemas menghadapi ujian akhir-akhir ini dan agak kecapekan."
"Iya, benar." Liana keluar dengan membawa beberapa mangkuk berisi es burung walet, "Mohon Tuan Muda James jangan marah. Val, kemari dan cobalah."
Aku tidak tertarik untuk berbasa-basi dengan mereka di sini. Aku sangat lelah karena ujian belakangan ini dan ingin mengistirahatkan otakku.
"Aku nggak mau makan. Aku akan naik ke atas dan mandi dulu." Setelah itu, aku berjalan ke atas dan menyapa James saat melewatinya.
Sekarang aku tinggal di rumah orang dan harus tunduk untuk memahami keadaan saat ini.
Sesampainya di pintu kamar tidur, saudara tiriku yang bernama Vioni tiba-tiba membuka pintu dan keluar.
Saat melihatku, dia mendengus dan berkata, "Nggak punya aturan."
Aku tidak tahu bagian mana diriku yang tidak punya aturan. Setelah mendengar ini, aku tidak terburu-buru menekan pegangan pintu, melainkan berbalik sambil bersandar di pintu dengan tangan terlipat dan bertanya padanya, "Siapa yang nggak punya aturan? Kok kamu bisa tahu kalau nggak punya aturan?"
"Siapa pun tahu!"
Vioni menungguku dengan garang, dadanya dibusungkan karena marah.
Aku menyipitkan mataku sambil menegakkan tubuh dan mendekatinya selangkah demi selangkah, "Aku nggak tahu, bagaimana kalau kita turun dan bertanya pada orang tuamu? Lalu kita bisa mencari tahu siapa 'mereka' itu."
Mungkin karena tidak menyangka aku akan membalasnya, Vioni terdiam selama beberapa detik sebelum mengangkat jarinya dan menunjuk ke arahku, "Beraninya kamu!"
Aku tersenyum, "Lihat saja aku berani nggak. Jangan memprovokasiku atau aku nggak tahu apa yang akan kulakukan."
Setelah mengatakan itu, aku membuka pintu dan masuk ke dalam kamar tidur.
Ruangan di hadapanku adalah tempat tinggalku selama lebih dari sepuluh tahun. Entah mengapa sekarang aku sama sekali tidak merasa seolah ini adalah kamarku.
Aku menarik napas dalam-dalam dan berjalan ke meja untuk duduk.
Hari ini aku kembali untuk mengambil kartu tempat aku menabung uang dan beberapa barang berharga.
Aku akan pergi ke Universitas Hanra untuk melapor pada akhir Agustus. Sebelum itu, aku bisa pergi ke Universitas Hanra untuk membeli rumah atas nama Cecilia.
Kelak saat berselisih dengan Keluarga Guria di, aku juga tidak akan punya tempat tujuan.
Selain itu dalam beberapa bulan terakhir, aku bisa memperoleh uang sebanyak mungkin dari Benny.
Aku bukan seorang penyelamat atau wanita mulia. Meskipun aku lebih suka tidak memiliki ayah seperti Benny, dia berkewajiban untuk membesarkanku setelah melahirkanku.
Sudah sepantasnya bagiku untuk menggunakan uangnya.