Bab 4
Setelah Susan pergi, Sigit tidak tinggal diam. Dia langsung kembali ke kamar dan membuka laptopnya.
Setengah bulan lagi dia akan pergi ke Lyndon, jadi dia harus menyewa tempat tinggal lebih dulu. Sambil mencari resep masakan lokal, dia mulai berlatih memasaknya di rumah.
Ke depannya, dia akan hidup sendirian di luar negeri, setidaknya dia harus terbiasa sejak awal.
Saat berbaring kembali di tempat tidur, Sigit dengan santai membuka ponselnya. Dia melihat sebuah unggahan media sosial dari Cahyo setengah jam yang lalu.
"Terima kasih karena kamu selalu hadir di setiap momen penting dalam hidupku."
Di bagian bawah unggahan itu, ada foto bersama. Dalam foto tersebut, Susan duduk di sebelah Cahyo, menatapnya dengan pandangan penuh kelembutan, sesuatu yang belum pernah dilihat Sigit sebelumnya.
Susan dan teman-teman dekatnya semua memberikan tanda suka pada unggahan tersebut. Bahkan, komentar pertama pun datang dari Susan.
"Aku sudah berjanji, dan aku nggak akan mengingkarinya."
Teman-teman dekat Susan juga meninggalkan komentar. "Melihat kalian bahagia, kami juga ikut senang."
Namun, suasana damai di kolom komentar itu berubah dengan adanya komentar terakhir. "Jangan unggah lagi, nanti Sigit lihat dan mulai ribut lagi."
Awalnya, Sigit memang pernah protes.
Saat itu, dia belum tahu bahwa Cahyo adalah cinta pertama Susan. Dia hanya mengira mereka teman baik. Jadi, ketika menyadari perhatian dan kepedulian Susan yang tidak biasa pada Cahyo, dia hanya mengingatkan secara baik-baik. Bagaimanapun, meski mereka teman, tetap perlu menjaga batas sebagai lawan jenis.
Jelas-jelas itu teguran yang wajar, tetapi Susan langsung cemberut. "Kami cuma teman, bergaul biasa saja, apa yang perlu dijaga?"
Bahkan, teman-temannya pun berkata, "Jangan pelit begitu. Masa hak pacarmu untuk berteman saja mau kamu ambil? Terlalu perhitungan, deh."
Sigit tidak mengerti. Kenapa hanya karena dia menyarankan Susan menjaga jarak dengan Cahyo, semuanya malah menyalahkan dirinya dan menganggap dia terlalu berlebihan?
Hingga akhirnya, Sigit tidak sengaja mengetahui bahwa Cahyo bukan hanya sekadar teman, melainkan cinta pertama Susan yang sulit dilupakan. Karena ibu Susan tidak suka, mereka putus hubungan, dan Cahyo pun pergi ke luar negeri.
Baru setelah itu, Susan menerima tawaran perjodohan dan setuju untuk menjalin hubungan dengan Sigit.
Akhirnya, Sigit mengetahui semuanya.
Pantas saja Susan memperlakukan Cahyo dengan begitu istimewa. Pantas saja teman-teman Susan tidak pernah menyukai Sigit. Bahkan, ketika dia meminta Susan untuk menjaga jarak dengan Cahyo, mereka begitu marah.
Ternyata, sejak awal, satu-satunya orang yang benar-benar disukai Susan hanyalah Cahyo.
Di mata teman-teman Susan, Sigit hanyalah "pencuri" yang merebut posisi Cahyo. Karena itu, mereka merasa bahwa Cahyo adalah pasangan sejati Susan. Hanya bersama Cahyo-lah Susan bisa bahagia.
Terbangun dari lamunannya, Sigit memilih untuk tidak melakukan apa yang disarankan teman-temannya. Alih-alih mengonfrontasi Susan, dia lebih memilih untuk mematikan ponselnya dan tidur.
Ketika Sigit terbangun, hari sudah larut malam. Dia terbangun karena Susan mengguncangnya dengan keras. Begitu membuka mata, dia melihat Susan berdiri dengan wajah masam.
Sigit mengambil ponsel di meja samping tempat tidur, melihat waktu, dan langsung merasa jengkel.
Dia menarik napas panjang untuk meredakan kekesalannya, lalu menatap Susan. "Ada apa?"
Tanpa diduga, ketika Susan berbicara, suaranya terdengar dingin, jelas menunjukkan rasa tidak puasnya.
"Sigit, kamu masih ingat kalau aku pacarmu? Aku pulang selarut ini, dan kamu bahkan nggak meneleponku sekali pun? Pacar teman-temanku saja menelepon mereka dan menyuruh mereka cepat pulang. Tapi kamu? Satu pesan pun nggak ada. Sebenarnya apa maumu?"