Bab 3
Pada awalnya, Bu Ratna sudah memperingatkan Sigit bahwa putrinya itu sebenarnya sangat baik, hanya saja sejak lahir sifatnya dingin. Jika mereka benar-benar berpacaran, mungkin akan butuh waktu lama untuk meluluhkan hati Susan.
Namun, Sigit tidak peduli.
Karena dia telah melihat sisi hangat Susan, dia bersedia mencari cara untuk membuat Susan menampakkan sikap hangatnya lagi.
Setelah berpacaran selama lima tahun, Sigit selalu memusatkan segalanya pada Susan.
Pakaian Susan tidak bisa dicuci dengan air. Setiap kali pulang kerja, hal pertama yang dilakukan Sigit adalah membawa pakaiannya ke penatu untuk dicuci kering.
Susan pernah berkata ingin bisa makan makanan hangat setiap kali pulang ke rumah. Maka, Sigit pun dengan rela berhenti dari pekerjaannya sebagai desainer perhiasan yang sangat dia cintai. Dia mencari pekerjaan sebagai pegawai administrasi dengan gaji kecil, tetapi dekat dengan kantor Susan, lalu pindah ke rumah gadis itu.
Susan tidak suka bau alkohol, jadi dia berhenti minum dan bahkan menjauh dari teman-teman lamanya.
...
Setelah kedua orang tuanya meninggal, Sigit merasa dirinya seperti tanpa rumah. Hidupnya seperti alang-alang, terbawa ke mana angin mengarah.
Namun, setelah berpacaran dengan Susan, tanpa sadar dia merasa memiliki tempat untuk bergantung. Dia merasa bahwa di mana Susan berada, di situlah rumahnya.
Jadi, Sigit berusaha sekuat tenaga untuk merawatnya.
Untungnya, usahanya tidak sepenuhnya sia-sia. Lama-kelamaan, sikap Susan mulai tidak begitu dingin kepadanya, dan ketika Sigit mengajukan beberapa permintaan, Susan tidak menolaknya. Seperti misalnya janji untuk saling bertukar hadiah saat pergantian tahun.
Namun, saat Sigit mengira semuanya mulai berjalan baik, muncullah bayang-bayang pria lain dalam kehidupan mereka.
Pria itu bernama Cahyo Sumadi, teman kuliah Susan.
Susan sangat menjaga kebersihan, tidak pernah membiarkan Sigit makan di dalam mobil. Sigit tahu Susan tidak suka, jadi dia tidak pernah melanggarnya. Namun, dia melihat Cahyo makan biskuit di mobilnya, dan Susan tidak mengatakan apa pun untuk menghentikannya.
Saat Sigit pertama kali berhasil membuat kue, dia membawanya dengan penuh semangat untuk berbagi dengan Susan, tetapi Susan langsung menolak sambil mengerutkan dahi, mengatakan dia tidak suka makanan manis. Namun, ketika makan bersama Cahyo, pria itu memindahkan semua makanan manis yang tidak disukainya ke piring Susan, dan Susan menerimanya dengan senang hati.
Teman-teman Sigit suka minum. Saat waktu senggang, mereka sering pergi ke bar. Ketika Susan tahu, dia mengerutkan dahi dan meminta Sigit untuk menjauh dari mereka, mengatakan dia tidak suka keramaian. Namun, ketika Cahyo mengatakan ingin pergi ke bar, reaksi pertama Susan bukan menolak, melainkan ikut menemaninya.
Hal-hal seperti itu terlalu banyak untuk dihitung. Setiap kali Sigit bertanya, Susan hanya mengatakan bahwa mereka hanya teman biasa, dan meminta Sigit untuk tidak bereaksi berlebihan.
Namun, sekarang kalau dipikir-pikir, sebenarnya itu semua hanya karena Susan tidak cukup mencintai Sigit.
Setelah menceritakan semuanya, Sigit merasa batu besar yang menghimpit hatinya telah terangkat, membuatnya akhirnya bisa bernapas lega. Sementara itu, teman-temannya terdiam.
Setelah hening beberapa saat, akhirnya seseorang memecah keheningan. "Kalau dia nggak suka sama kamu, kenapa kamu masih bertahan bersamanya?"
Sigit memandang Jodi yang berbicara, lalu tersenyum dan menggeleng, "Nggak lagi. Aku sudah memutuskan untuk berpisah dengannya, dan akan pergi ke luar negeri setengah bulan lagi."
...
Saat Sigit kembali ke rumah, Susan belum tidur. Begitu masuk, gadis itu langsung mencium aroma alkohol yang kuat di tubuh Sigit, membuatnya mengerutkan dahi.
"Bukannya aku sudah bilang aku nggak suka bau alkohol? Kalau kamu cemburu, katakan saja. Kenapa harus mabuk-mabukan begini?"
Sambil mengganti sepatu, Sigit langsung berjalan menuju kamar mandi. Ketika melewati Susan, dia berhenti sejenak dan berkata, "Aku minum karena aku mau, bukan karena kamu."
Susan mengusap pelipisnya, merasa sulit berkomunikasi dengan Sigit dalam keadaan seperti ini. Dia lalu memilih tidak berkata apa-apa lagi dan malah berjalan mendekat, bersiap membantu Sigit kembali ke kamar untuk beristirahat.
Namun, detik berikutnya, Sigit langsung menghindari tangan Susan yang terulur. "Kamu mau tidur di kamar utama atau kamar tamu?"
Mendengar nada penolakan dalam pertanyaannya, raut wajah Susan langsung berubah muram, sulit untuk percaya. "Kamu mau kita tidur terpisah?"
Sigit melambaikan tangan. "Bukannya kamu bilang nggak suka bau alkohol? Kalau begitu lebih baik tidur terpisah."
Setelah itu, tanpa memedulikan Susan, dia langsung masuk ke kamar utama.
Ketika selesai membersihkan diri, Sigit mendengar suara pintu kamar tamu dibanting keras.
Susan marah.
Kalau dulu, Sigit pasti akan panik, tidak tahu harus berbuat apa, dan buru-buru meminta maaf. Namun sekarang, dia tidak peduli lagi, dan langsung tidur.
Keesokan paginya, Sigit pergi ke kantor lebih awal untuk mengajukan pengunduran diri. Prosesnya sederhana dan cepat, sehingga ketika pulang, waktu baru menunjukkan tengah hari.
Begitu masuk rumah, dia melihat Susan membawa kue keluar. Tatapannya tertuju pada kue itu. Barulah Sigit teringat bahwa hari ini adalah ulang tahun Cahyo.
Melihat Sigit pulang, Susan tidak berhenti melangkah, juga tidak menoleh kepadanya. Dia langsung keluar rumah.
Sigit tidak berusaha menahannya karena dia tahu itu adalah tanda awal Susan ingin memulai perang dingin.
Sejak Cahyo kembali tiga tahun lalu, mereka telah berdebat tak terhitung banyaknya karena pria itu. Setiap kali perdebatan itu berakhir dengan perang dingin, Sigit selalu menjadi pihak yang meminta maaf terlebih dahulu hingga Susan luluh.
Akan tetapi, kali ini Sigit hanya mengalihkan pandangan, tidak lagi peduli pada emosi Susan.