Bab 5
Sigit menatap Susan dengan bingung, tidak mengerti apa yang sebenarnya membuatnya marah.
"Kamu sedang bersama Cahyo, terus aku harus bertanya apa? Bukankah sebelumnya kamu selalu mengeluh kalau aku mengganggumu dengan telepon saat kamu bertemu teman-temanmu? Jadi, kali ini aku nggak telepon. Lagi pula, bukannya kamu bilang kamu dan Cahyo hanya teman, nggak ada hubungan lain?"
Penjelasannya terdengar masuk akal, membuat Susan tidak bisa berkata apa-apa.
Susan ingin menjawab, "Bukan begitu." Biasanya Sigit tidak akan tidur begitu saja saat Susan pulang larut tanpa kabar, setidaknya ada sapaan singkat.
Namun, alasan itu membuat Susan tidak bisa mengungkapkan apa yang ada di benaknya.
Susan tidak mengerti mengapa reaksi Sigit seperti ini, tetapi kemudian Susan teringat unggahan Cahyo di media sosial malam itu dan akhirnya memahami situasinya.
"Kamu kesal karena unggahan Cahyo di media sosial."
Nada suaranya penuh keyakinan, tetapi Sigit menggelengkan kepala. "Aku nggak kesal."
Susan merasa lega dan tidak memedulikan apa yang dikatakan Sigit. Dia merasa pria itu hanya keras kepala saja, sehingga gadis itu langsung menjelaskan.
"Aku dan Cahyo sudah saling kenal bertahun-tahun. Membantunya merayakan ulang tahun itu hal yang wajar. Komentar di bawah unggahan itu juga cuma candaan, nggak perlu kamu anggap serius."
Kantuk mulai menyerang lagi. Sigit bahkan tidak mendengarkan penjelasan Susan dengan saksama, hanya menjawab sambil lalu, "Mm, aku tahu. Kamu istirahat saja dulu."
"Apa yang aku katakan itu benar. Kamu nggak perlu marah soal ini." Susan mendengar nada acuh Sigit dan kehilangan kesabaran dalam menjelaskan.
Sigit menghela napas panjang dengan kelelahan, mencoba menahan rasa frustrasi. Dia benar-benar lelah dan tidak ingin terus berdebat.
"Jadi, bagaimana caranya agar kamu percaya kalau aku nggak marah?" Sigit mengambil ponselnya, mencari unggahan itu, dan memberikan tanda "suka" di depan Susan. "Sudah, sekarang kamu percaya?"
Susan terdiam. Dia menatap Sigit, seolah-olah mencoba memastikan apakah pria itu benar-benar tidak marah.
Setelah beberapa saat, gadis itu menyerah dan duduk di samping Sigit. Dia mencoba memeluk pinggang Sigit, tapi Sigit diam-diam bergeser sedikit ke samping.
Rasa kaget terlihat di mata Susan. Dia tidak menyangka Sigit akan menolak sentuhannya.
Namun, rasa kecewa karena penolakan itu segera berubah menjadi rasa jengkel. "Bukannya kamu bilang kamu nggak marah?"
Sigit memejamkan matanya, enggan menatap gadis itu lagi, tetapi memberikan alasan yang sulit dibantah.
"Aku capek banget bekerja hari ini."
Susan mengatupkan bibirnya. Akhirnya, tanpa berkata apa-apa, dia bangkit dan berjalan keluar kamar.
Keesokan paginya, saat Susan keluar dari kamar, Sigit sudah duduk sarapan. Melihat tidak ada sarapan baginya, Susan pun bertanya, "Punyaku mana?"
Tanpa menoleh, Sigit menyelesaikan sarapannya perlahan, baru menjawab. "Sebelumnya, sarapan yang aku buatkan jarang kamu makan. Kupikir kamu nggak terlalu suka. Mulai sekarang aku nggak akan buatkan sarapan lagi. Kalau ada yang mau kamu makan, belilah sendiri ke bawah."
Susan tertegun. Dia tidak menyangka alasannya akan seperti itu.
Dia merasa belakangan ini Sigit sangat aneh, tetapi tidak tahu apa yang salah. Akhirnya, dia hanya mengira Sigit masih kesal soal Cahyo.
Saat berbicara lagi, nada suara Susan lebih lembut dari biasanya.
"Bukannya kamu dulu ingin sekali pergi ke taman hiburan? Hari ini aku temani, jangan marah lagi."
Sigit, yang sudah berkali-kali mengatakan tidak marah, tidak ingin menjelaskan lebih lanjut. Toh dia sudah bicara, tetapi Susan tetap bersikeras.
Tentang taman hiburan, dulu Sigit memang sangat ingin pergi.
Karena yatim piatu sejak kecil, tidak pernah ada yang mengajak Sigit ke taman hiburan. Setelah menjalin hubungan dengan Susan, Sigit sering mengajak dan mengundangnya untuk pergi bersama.
Namun, setiap kali, Susan menolak dengan alasan terlalu kekanak-kanakan, tempat itu hanya untuk anak kecil. Dia sibuk bekerja, dan tidak tertarik pada taman hiburan.
Mengingat hal-hal itu, kali ini giliran Sigit yang menggelengkan kepala.
"Sudahlah, itu cuma tempat untuk anak kecil, 'kan. Aku nggak mau pergi."