Bab 2
Malam ini, Sigit benar-benar sangat aneh.
Dalam hati Susan, hanya tersisa satu dugaan terakhir, "Kamu masih marah, ya?"
"Nggak sama sekali." Sigit tetap tenang, bahkan ada nada pasrah dalam suaranya.
Melihat ekspresinya yang tampak tidak berpura-pura, Susan tetap merasa agak gelisah. Dia melirik waktu di jam tangannya, lalu mengambil langkah mundur, "Sudah terlalu malam, aku temani kamu pergi, ya?"
Sambil berkata begitu, dia pun berjalan menuju pintu depan. Namun, suara Sigit yang terdengar jengkel terdengar dari belakangnya.
"Nggak perlu, aku mau kumpul dengan teman-teman. Kalau kamu ikut malah jadi merepotkan."
Gerakannya langsung terhenti mendengar ucapan itu. Matanya terlihat kaget, dia tidak menyangka akan ditolak.
Padahal pada beberapa tahun pertama mereka bersama, Sigit sering menawarkan untuk memperkenalkannya pada teman-temannya, tetapi Susan selalu menolak dengan alasan sibuk kerja. Sekarang dia sendiri yang menawarkan diri, tapi malah ditolak?
Saat dia hendak berbicara lagi, Sigit sudah berjalan melewatinya dan langsung keluar rumah.
Lokasi pertemuan mereka adalah di sebuah bar. Ketika Sigit tiba, beberapa orang di ruang VIP heboh menyambutnya.
"Wah, tamu langka nih! Angin apa yang membawa Pak Sigit datang ke sini hari ini? Kupikir kamu akan cari alasan lagi untuk nggak datang."
"Ya, tiap kali kami undang, kamu selalu bilang sibuk. Kami sempat mengira kamu benar-benar sudah meninggalkan kami demi wanita itu!"
Mendengar candaan mereka, Sigit merasa agak canggung. Dia tersenyum, lalu menyindir dirinya sendiri. "Dulu aku terlalu bodoh, menjauh dari teman-teman demi seorang wanita yang tidak mencintaiku, sampai kehilangan jati diri."
Dia pun duduk di tengah mereka, mengambil segelas minuman di atas meja, dan menenggaknya. Aroma alkohol mengalir di mulutnya, matanya menunjukkan sedikit kerinduan.
Sebenarnya, dulu dia juga sangat suka minum, hanya saja berhenti karena Susan tidak menyukainya.
Susan selalu mengira mereka bertemu melalui perjodohan, padahal bukan.
Sigit pertama kali bertemu dengannya di pemakaman orang tuanya.
Saat itu, Sigit baru berusia sepuluh tahun,
Namun, dia sendiri yang mengurus pemakaman kedua orang tuanya.
Semua kerabat memintanya untuk tidak bersedih dan fokus melayani tamu. Namun, saat harus mendorong kedua jenazah ke krematorium, Sigit akhirnya tidak tahan lagi. Dia berlari keluar dan menangis di sudut ruangan.
Saat itulah Susan menemukannya.
Susan adalah putri Ratna, sahabat ibu Sigit yang ikut datang. Melihatnya menangis tersedu-sedu, Susan tidak berkata apa-apa. Dia hanya duduk di samping Sigit dan menyodorkan permen.
"Mau makan permen?"
Sigit terisak sambil menerima permen itu, membuka bungkusnya, dan rasa manis susu menyebar di mulutnya. Namun, air matanya tetap mengalir deras. "Aku sudah nggak punya ayah dan ibu. Aku kangen sama mereka ... "
Susan juga baru berusia sekitar sepuluh tahun, tetapi terlihat sangat dewasa. Dia mengangkat tangannya dan mengusap kepala Sigit dengan lembut.
"Jangan takut. Mereka masih ada, hanya saja saat kamu di sekolah, mereka sedang bekerja. Saat kamu makan di rumah, mereka pergi dinas ke luar kota. Ketika kamu pergi mencari mereka, mereka kebetulan kembali ke rumah. Mereka selalu ada, hanya saja setiap kali kalian berselisih jalan."
"Tapi nanti, kalian pasti akan bertemu lagi."
Mendengar kata-kata itu, Sigit akhirnya mengangkat wajahnya dan memandang Susan dengan terpana.
Hari-hari setelah itu, Sigit menjalani malam-malam panjang tanpa ayah dan ibu dengan berpegang pada kata-kata tersebut.
Dia meyakinkan dirinya bahwa orang tuanya masih ada, hanya saja setiap kali mereka hanya berselisih jalan.
Dia berkata pada dirinya sendiri, suatu saat nanti, mereka pasti akan bertemu lagi.
Untuk waktu yang lama, Sigit tidak pernah melupakan kata-kata Susan, juga tidak melupakan gadis itu.
Meski yang dia tahu tentang gadis itu hanya sebatas namanya adalah Susan Setiadi.
Hingga bertahun-tahun kemudian, saat dia dewasa, Bu Ratna mengatur perjodohan antara dirinya dan Susan.