Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 2

Setelah Jane pulang dan mandi, ponselnya berdering di atas kasur. Mery yang berada di luar negeri berseru dengan penuh semangat, "Sayang, Ibu lihat kamu sudah balas surat elektronik Universitas Puris. Kamu benaran mau kuliah di Negara Siras?" Jane menundukkan tatapan dengan sedih dan menyahut, "Ya." "Kenapa tiba-tiba?" Mery sepertinya merasakan suasana hati Jane yang murung. Dia bertanya dengan waswas, "Apakah terjadi sesuatu?" Jane tidak ingin membuat Mery khawatir. Jane berpura-pura berkata dengan senang, "Itu pun kabar gembira. Paman sepertinya akan menikah. Ada yang bisa menemani Nenek nanti. Aku juga nggak punya urusan di sini, lebih baik kuliah di luar negeri, sekaligus temani Ibu dan Ayah." "Bagus sekali! Bagaimana kalau Ayah dan Ibu pulang untuk menjemputmu?" seru Mery dengan girang. Sebelum Jane sempat menolak, Mery buru-buru berkata, "Dulu, kami sibuk dengan karier kami dan buru-buru ke luar negeri. Kamu masih kecil, urusan imigrasi juga susah. Kami terpaksa meninggalkanmu di dalam negeri. Untung Nenek Citra mau menjagamu. Kalau nggak, Ibu pasti menangis sejadi-jadinya. Ibu harus pulang untuk mengucapkan terima kasih pada Nenek Citra." Jane tidak punya pilihan selain setuju. Mery berbincang beberapa kalimat lagi sebelum mengakhiri panggilan telepon. Jane berjalan ke jendela dan menengok ke bawah. Lahan parkir di taman kosong, Kevin belum pulang. Jane bukan keponakan Keluarga Harna yang sah. Kevin dapat memanjakan dan menyayanginya tanpa batas, juga dapat berhenti kapan saja. Hanya saja, semua kasih sayang itu membuat Jane salah mengira bahwa Kevin menyukainya. Jane yang muda dan lugu pun membuat kesalahan. Di tengah malam bertahun-tahun lalu, Jane yang mabuk tanpa sadar naik ke kasur Kevin dan mengungkapkan cintanya, bahkan mencium Kevin secara paksa. Kevin yang sadarkan diri mendorong Jane dengan kuat dan pergi dengan wajah masam tanpa mengatakan apa-apa. Sampai sekarang, Jane masih mengingat tatapan mata Kevin malam itu. Terkejut, kecewa, dingin, kejam, bahkan ... jijik. Malam itu bagaikan garis cakrawala yang membentang di antara mereka. Kedinginan Kevin seperti gunung salju yang tidak dapat dilewati sehingga Jane tidak dapat mendekatinya. Jane mengembuskan napas dan memejamkan mata dengan penuh pikiran. Jane terus meronta dalam mimpi buruk. Saat Jane bangun, sudah hampir jam dua sore. Usai mandi, Jane makan siang dengan sederhana. Lalu, Jane pergi ke vila untuk mengunjungi nenek. Saat melewati taman, lahan parkir tetap kosong. Kevin belum pulang. Jane mengembuskan napas dengan getir. Setelah menyelesaikan prosedur penerimaan mahasiswa di Universitas Puris, keinginan Kevin akan terkabul. Kevin tidak perlu sengaja tidak pulang demi menghindarinya. Citra sedang tidak sehat dan butuh lingkungan yang tenang untuk memulihkan diri, maka Citra tinggal sendirian di vila Keluarga Harna. Jane akan mengunjunginya di waktu luang. Begitu sampai di depan pintu vila, Jane mendengar suara Citra di dalam. "Bodoh!" Citra mengentakkan tongkat ke lantai dan membentak, "Ibu sudah tua, sudah menjumpai banyak orang. Kamu nggak bisa melihat kenapa Lily cerai dan kembali padamu, tapi Ibu melihatnya dengan jelas!" Kevin berdiri sambil memegang tangan di belakang badan, memasang ekspresi kosong dan menundukkan kepala. Kevin tidak bersuara. Citra menasihatinya, "Kamu bersikap cermat dan tegas dalam urusan kerja, kenapa malah buta soal cinta? Wanita itu hanya akan menyakitimu!" Citra sudah tidak menyukai Lily dari sebelumnya. Apalagi Lily telah meninggalkan Kevin dan menikah dengan pria lain demi kekayaan. Begitu pria itu terpuruk, Lily buru-buru bercerai dan kembali pada Kevin. Sudah jelas apa motif Lily. Sayangnya, putranya yang mampu mengelola perusahaan dengan baik malah bodoh dalam masalah cinta! Ketika Citra ingin berbicara lagi, pintu berderit karena dibuka. Jane melangkah ke dalam. "Nenek belum minum sup biji teratai hari ini?" Jane tersenyum seraya berjalan ke sana dan bertanya, "Kalau nggak, kenapa Nenek marah-marah?" Citra menyukai Jane sejak dulu. Kemunculan Jane meredakan separuh kemarahan Citra. Citra berujar dengan tatapan mata lembut, "Dasar kamu, jangan kira Nenek nggak tahu apa yang kamu pikirkan." "Mana berani aku macam-macam di depan Nenek?" Jane menggandeng tangan Citra dan berjongkok di sampingnya. Jane tersenyum manis saat berucap, "Paman hanya bahas urusan kerja dengan Nona Lily. Aku melihatnya saat pergi ke sana kemarin malam. Manajer Nona Lily juga di sana. Artikel departemen hubungan masyarakat nggak semuanya palsu." "Serius?" Citra melirik Kevin. Jane mendongakkan kepala dan mengedipkan mata pada Kevin. Kevin segera memalingkan tatapan begitu bertatapan dengan Jane. Dia menjawab dengan suara dingin, "Ya." "Cih." Citra tahu betul. Dia menegur Kevin, "Semoga itu benar. Kalau nggak, kamu nggak akan mau Ibu turun tangan. Ada banyak keluarga elite di Kota Belini. Jangankan nona-nona elite, Lily bahkan nggak sebanding dengan Jane. Dia ...." "Aku sibuk hari ini." Kevin memotong perkataan Citra dengan wajah dingin dan suara berat, "Kalau Ibu nggak ada urusan lain, aku pergi dulu." Jane menundukkan tatapan. Bulu mata yang lebat menutupi kesedihan dalam matanya. Apakah Kevin tidak mau mendengar satu pun kritikan tentang Lily? Perlukah membelanya seperti ini? Dulu, bukankah dia juga sangat disayangi oleh Kevin? Kevin memanjakannya. Semua itu dihancurkan oleh dirinya. Citra melambaikan tangan dan berkata dengan jengkel, "Cepat pergi, bikin orang marah saja." Jane berujar dengan suara lembut, "Sampai jumpa, Paman." Kevin menatap Jane dengan cuek tanpa berbicara. Lalu, Kevin berbalik badan dan pergi. Citra menyuruh pelayan mengambilkan kue. Citra menyuruh Jane makan yang banyak karena Jane menjadi lebih kurus. Jane tersentuh hingga matanya merah. Tidak peduli bagaimana hubungannya dengan Kevin, nenek selalu menyayanginya. Seketika, Jane merasa tidak rela untuk pergi. Bukan karena Kevin, tetapi Citra. Setelah ragu sejenak, Jane berpamitan, "Maaf, Nenek. Aku mungkin nggak bisa sering datang lagi." Citra mengernyit dan bertanya dengan khawatir, "Ada apa?" "Aku akan melanjutkan studi di Universitas Puris," ucap Jane. Citra bertanya dengan kaget, "Sendirian?" Jane menggelengkan kepala. "Universitas Puris ada di kota yang sama dengan perusahaan orang tuaku. Aku bisa tinggal bersama mereka." Citra terdiam untuk beberapa saat. Lalu, Citra mengangguk sembari tersenyum. "Oke, oke. Bagus kalau kalian berkumpul bersama. Bagus kalau kamu melanjutkan studi. Jangan khawatir dengan Nenek, pergilah. Nenek mendoakanmu cepat lulus. Tentu saja, jangan lupa soal pernikahan." "Nenek, jangan meledekku," protes Jane. "Jangan buta seperti pamanmu!" Citra membelai rambut Jane dengan penuh kasih sayang. Dia berujar, "Kamu ini anak baik, harus cari pria yang menyayangi dan mencintaimu. Paham?" "Aku paham, Nenek." Jane mengobrol dengan Citra untuk waktu yang lama. Begitu melewati koridor vila saat pergi, banyak kenangan yang melintas di benak Jane. Jane paham, tetapi sangat sulit untuk melaksanakannya. Jane hanya memiliki satu hati dan hatinya sudah diisi oleh seseorang. Meskipun sulit untuk melupakan orang itu, Jane ingin berusaha melangkah ke depan, meninggalkan masa lalu, dan memulai hidup baru.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.