Bab 3
Setelah meninggalkan vila, Jane langsung kembali ke perusahaan.
Ketika Jane baru selesai menangani berita skandal di salah satu properti perusahaan, teman masa kecilnya yang bernama Andy Sirto menelepon.
"Halo, tebak aku di mana," seru Andy dengan ceria. Suara musik di sana nyaris memecahkan gendang telinga Jane.
Mereka berteman sejak kecil sehingga sangat akrab. Begitu mendengar suara Andy, suasana hati Jane yang murung selama berhari-hari menjadi sedikit lebih riang.
Jane tersenyum seraya berucap, "Aku iri sekali denganmu, bisa main setiap hari."
"Seperti kamu nggak bisa main saja."
Andy mengeluh, "Kamu selalu bilang mau kerja setiap aku ajak, macam kamu jadi budak Grup Harna. Kevin yang jadi CEO pun nggak sesibuk kamu! Mau ketemu kamu juga harus antre."
Jane tertawa karena keluhan Andy yang dibuat-dibuat. Lalu, Jane berpikir lagi. Jane akan melanjutkan studi di luar negeri sebentar lagi sehingga tidak punya waktu untuk bertemu dengan Andy. Dia seharusnya pergi menemui Andy malam ini.
Akan tetapi, Andy sepertinya berada di bar.
Kevin tidak suka dia pergi ke bar.
Dulu, setelah ujian nasional berakhir, teman-teman sekelas memutuskan untuk pergi ke bar usai acara makan perpisahan. Alhasil, Jane mabuk dan nyaris dibawa pergi oleh orang lain. Untungnya, Kevin segera datang bersama pengawal. Jika tidak, konsekuensinya tak terbayangkan.
Sejak itu, Kevin dengan keras melarang Jane untuk pergi ke bar dan tempat sejenisnya.
Apakah Kevin tetap akan cemas dan marah jika tahu dia pergi ke bar hari ini?
Jane menundukkan kepala dan menyeringai sinis. Kevin sudah tidak peduli dengannya. Buat apa dia masih berkutat?
Jadi, Jane bertanya, "Di mana kamu? Aku ke sana sekarang."
Andy seakan-akan mendengar hal ajaib. Dia meledek Jane, "Aneh bin ajaib. Nona Jane mau ke bar? Sepakat, ya! Aku tunggu di Bar Senja, sampai jumpa nanti!"
"Oke, dasar cerewet," tukas Jane sambil tersenyum. Setelah panggilan telepon diakhiri, Jane pergi ke Bar Senja.
Dalam perjalanan, Jane pergi ke mal terdekat untuk mengganti pakaian kerjanya yang tidak senada dengan bar.
Andy terdiam selama 30 detik ketika melihat Jane yang memakai gaun sabrina pendek.
"Astaga."
Andy memegang dagunya seraya berkata dengan lebai, "Sudah berapa lama nggak lihat kamu berpakaian seperti ini? Ada apa? Masa membangkangmu telat? Kamu memutuskan untuk melawan pamanmu yang kuno itu?"
Andy juga menjadi saksi mata tentang insiden bar setelah ujian nasional. Kevin melampiaskan kemarahan pada Andy dengan mengadu pada orang tua Andy sehingga Andy ditahan di rumah sepanjang liburan. Hanya memikirkannya pun membuat Andy ketakutan.
Hati Jane sedih, tetapi dia berpura-pura santai dan menyangkal, "Dia nggak bisa mengaturku."
Andy juga tersenyum. "Serius?"
Sejak kecil, Andy telah menyaksikan bagaimana Jane mengikuti Kevin sepanjang waktu.
"Buat apa aku membohongimu?" Jane memelototi Andy. Dia menuang segelas bir dan duduk di sofa. Lalu, Jane berkata dengan jengkel, "Dia sudah nggak peduli denganku. Tapi nggak apa-apa, aku akan ke luar negeri sebentar lagi. Kalaupun dia mau mengaturku, sudah nggak bisa."
Andy tidak memperhatikan kesedihan Jane, tetapi menangkap poin penting lainnya.
"Apa? Ke luar negeri?" Andy terkejut. "Bukannya kamu ingin sekali kerja di Grup Harna? Kenapa tiba-tiba mau pergi?"
Karena Kevin akan menikah.
Jane patah hati dan sedih.
Jane tidak ingin membodohi dirinya lagi, tidak ingin terus mengganggu Kevin.
Oleh karena itu, Jane membuat keputusan. Jane takut dirinya terlalu berhati lembut sehingga memutuskan untuk meninggalkan tempat menyedihkan itu.
Akan tetapi, Jane tidak dapat mengungkapkan semua itu pada Andy.
Jane tahu bagaimana sifat Andy. Jika dia memberi tahu Andy, Andy pasti akan mendukungnya dan mencari masalah dengan Kevin tanpa peduli benar atau salah.
Jane tidak ingin hal itu terjadi.
Jane minum bir dan berkata dengan cuek, "Nggak kenapa-napa. Universitas Puris memberiku tawaran yang sangat bagus. Aku dan orang tuaku merasa kesempatan ini nggak boleh dilewatkan. Setelah dipikirkan, kami merasa melanjutkan studi adalah pilihan terbaik bagiku."
"Aku juga setuju." Andy bersulang dengan Jane dan berujar, "Terserah siapa yang mau jadi direktur Grup Harna. Kamu pintar, harus banyak sekolah. Kalau kamu dapat penghargaan akademi, aku bisa pamer di status WhatsApp."
Jane tertawa terbahak-bahak. Jane bersulang dengan Andy dan meneguk segelas bir itu. Jane tersenyum saat berucap, "Terima kasih atas doamu!"
Obrolan mereka makin seru. Hanya sebentar saja, mereka sudah menghabiskan dua botol bir.
Jane berdiri dengan kepala pusing dan beserdawa. "Aku, aku mau, kencing."
"Kencing! Aku bantu!" Andy juga sudah mabuk. Andy merangkul bahu Jane dengan intim sambil berjalan ke toilet.
Mereka berjalan sempoyongan sambil bercanda tawa. Mereka sama sekali tidak memperhatikan ada tatapan dingin yang tertuju pada mereka dari area VIP lantai dua.
Kevin meletakkan kedua tangan di pagar pembatas sambil memegang gelas bir. Kevin menengok ke bawah dengan ekspresi kaget.
Kevin tidak sadar tangannya memegang gelas bir dengan terlalu kuat. Mitra kerja sama di samping menjadi gelisah karena ekspresi Kevin menjadi dingin, takut dirinya salah bicara.
Pria itu bertanya dengan waswas, "Pak Kevin, kontrak itu ...."
"Hubungi dia, datang ke perusahaan di lain waktu." Kevin menyodorkan kartu nama asistennya. Lalu, Kevin menaruh gelas bir di meja dan hendak pergi.
Pria itu segera mengikuti Kevin. "Pak Kevin buru-buru ke mana? Apa terjadi sesuatu? Apa perlu kubantu?"
"Nggak perlu."
Kevin yang jangkung dan berkaki panjang turun ke lantai satu dengan cepat. Dia berujar dengan suara dingin, "Anak kecil membangkang, aku bisa tangani sendiri. Jangan ikuti aku."
Nada suara Kevin dingin menyeramkan. Pria itu langsung berhenti dan mengiakan, tidak berani mengikutinya lagi.
Pria itu menatap sosok punggung Kevin dengan heran.
Apakah ada anak kecil di Keluarga Harna? Mengapa dia belum pernah mendengarnya?
Ada koridor remang sebelum toilet. Dua pemuda yang mabuk itu berjalan sempoyongan, tetapi tersesat di tengah koridor.
Kevin mengernyit sembari menatap tangan Andy yang merangkul pinggang Jane. Dua detik kemudian, Kevin memegang pergelangan tangan Andy dan menariknya ke belakang. Tangan Kevin yang lain membawa bahu Jane ke belakang hingga ke dalam pelukannya.
Andy terhuyung dan tersungkur. Andy mendongakkan kepala dan menghardik, "Siapa? Siapa yang menjatuhkanku? Keluar!"
Jane dengan linglung mencengkeram kerah baju Kevin dan berteriak, "Sudah kutangkap! Beraninya kamu menganiaya temanku? Aku pu ...."
Jane berhenti seketika.
Jane dengan bengong menatap pria yang memeluknya, yang kerah bajunya dia cengkeram.
Wajah itu begitu tegas dan tampan. Jakun yang seksi naik turun karena marah. Mata hitam itu menatapnya dengan marah.
Paman!
Jane langsung melepaskannya dan berdiri tegak.
Kevin mengernyit dan menggertakkan gigi saat bertanya, "Apa yang kalian lakukan di sini?"
Andy tersadarkan dan bergegas berdiri. Andy tersenyum menyanjung saat berkata, "Paman Kevin, kami, kami hanya bersenang-senang, nggak macam-macam. Serius, percayalah padaku!"
"Apa ayahmu tahu kamu main ke tempat seperti ini?" tanya Kevin dengan sikap mendominasi.
"Nggak tahu! Kumohon, Paman Kevin, jangan beri tahu ayahku!" Andy menyatukan dua tangan dan memohon.
"Pergi." Kevin memperingatkannya, "Kalau aku lihat kamu lagi, jangan harap kamu bisa keluar rumah!"