Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 4 Ke Sini, Amelia

"Kak Chris, Kak Chris lebih suka aku gemuk atau kurus?" tanyaku. Di usiaku yang masih 18 tahun ini, tubuhku masih muda dan sehat. Figur tubuhku cukup memesona. Aku menarik-narik rambut pendekku yang sepanjang telinga sambil terus bertanya tanpa kenal rasa malu, "Gimana kalau aku manjangin rambutku? Kak Chris suka rambut sepanjang apa? Sepinggang atau sepantat?" "Sudah selesai ngocehnya?" sahut Chris dengan ekspresi dingin. "Siapa yang mengizinkanmu memanggilku dengan sebutan 'kak'? Kamu itu teman sekolah Gerald, kamu masih kecil. Mulai sekarang, panggil aku dengan sebutan 'paman' seperti Gerald." "..." Aku pura-pura tidak mendengar dan tidak menyahut apa-apa. "Jawab, kamu dengar apa yang kukatakan nggak?" tanya Chris dengan aura selayaknya orang yang lebih tua. "Ya, ya, oke," gerutuku pelan sambil cemberut. "Kenapa sih kamu galak banget? Memangnya nggak bisa bersikap lebih lembut padaku? Padahal aku sudah memberimu ciuman pertamaku. Sudah dapat enaknya saja masih galak banget ...." Sebenarnya, panggilan apa yang kugunakan itu tidak penting. Yang terpenting adalah menaklukkannya sesegera mungkin. Di saat aku masih memikirkan bagaimana memanfaatkan kesempatan ini untuk mengungkapkan perasaanku, tiba-tiba ponsel Chris berdering. Entah siapa yang mengiriminya pesan. Yang jelas, ekspresi Chris yang semula cukup hangat mendadak berubah. Sorot tatapannya yang begitu tajam dan dingin sontak membuatku tidak berani bergerak. "Sudah selesai makannya?" Aku sontak termangu. "Kalau sudah, ayo kuantar pulang," kata Chris sambil bangkit berdiri hendak berjalan pergi. Aku bergegas berlari mengikutinya. Sepanjang perjalanan pulang, aku beberapa kali melirik Chris. Aku ingin sekali bertanya apa terjadi sesuatu, tetapi lidahku terasa kelu. Aku yang waktu itu. Aku bahkan tidak tahu nilai berapa ujian masuk universitasku. Chris bekerja sejak usia muda dan sekarang memegang posisi penting di Grup Molana. Sekalipun aku bertanya, memangnya aku bisa membantu apa? Daripada melakukan hal seperti itu, lebih baik aku diam saja dan tidak mengusiknya. "Sampai." "Dah, Paman ...." Aku bahkan belum sempat melambaikan tanganku. Chris sudah menginjak pedal gas. Aku menatap mobil hitam Chris yang melaju pergi dengan kencang sambil cemberut berdiri di depan pintu kompleks. Suara ibuku pun terdengar dari belakang. "Ke sini kamu, Amelia Nizina!" Aku sudah tahu ibuku marah. Karena ibuku hanya memanggil nama lengkapku saat sedang sangat marah. Aku tidak berani mengabaikan Ibu dan bergegas berlari menghampiri. "Kenapa, Bu?" Alih-alih menjawab pertanyaanku, Ibu membanting pintu rumah hingga menutup dengan kencang. Setelah itu, aku berjalan masuk ke dalam rumah. Ibuku pun menunjuk ke kotak paket di samping mesin penyeduh teh sambil bertanya, "Amelia, jelaskan baik-baik apa ini semua kepada Ibu! Kamu sebenarnya mau ngapain, sih!" Aku bergegas menghampiri Ibu tanpa sempat mengenakan sandal. Di dalam kotak paket itu, terdapat berbagai macam barang yang hanya boleh digunakan oleh pasangan yang sudah menikah. Ada pula selembar kartu kamar di dalam sana, beserta surat di atasnya. Di atas surat itu tertulis, "Ucapan terima kasih pribadi kepada Gerald". Tulisan yang tertera sekilas terlihat mirip dengan tulisanku. Sebuah surat pengakuan. Di sana tertulis betapa aku mencintai Gerald. Bahwa aku tidak peduli jika Gerald sudah memiliki kekasih karena aku tetap ingin menjadi milik Gerald. Lalu, terkait barang-barang di dalam kotak itu. Surat itu berbunyi, "Kuharap Geraldku tersayang akan menggunakannya padaku. Aku akan selalu setia menunggumu di kamar." Tanda tangan yang dibubuhkan juga berbunyi, "Amelia-mu." Apa-apaan ini? Siapa yang sedang menuduhku begini? Sejak kapan aku pernah mengirimkan barang-barang sampah seperti ini ke Gerald? Pantas saja ekspresi Chris berubah. "Ibu, aku bersumpah mati mengenaskan kalau sampai aku benar-benar mempersiapkan semua ini ...." Kuakui dulu aku memang menyukai Gerald. Namun, itu hanyalah rasa suka diam-diam. Hubunganku dengan Gerald tidak mungkin sampai sejauh ini, mengingat aku bahkan baru saja memberikan ciuman pertamaku kepada Chris. Untungnya, Ibu percaya padaku. Dia pun bertanya dengan tenang, "Kalau bukan kamu, terus siapa yang menyiapkan semua ini?" Sosok Valen langsung terlintas dalam benakku. "Ibu, bukannya salah satu teman sekolah Ibu ada yang bekerja di bidang forensik? Apa Ibu bisa meneleponnya? Aku mau periksa pemalsuan tulisan tangan!" Kesalahpahaman ini terlalu besar. Mana mungkin Chris akan percaya pada penjelasanku tanpa bukti yang mendukung?

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.