Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 6

Perut Meira ditusuk dengan pisau buah. Dia menatap ibunya dengan tidak percaya. Di hadapannya, Maya menggenggam pisau buah erat-erat dan menusukkannya ke tubuhnya. Seketika itu juga, darah membasahi gaun Meira. "Mati kamu. Seharusnya kamu sudah mati sejak dua tahun yang lalu!" "Kenapa kamu harus muncul lagi? Kenapa kamu masih mau menghancurkan kami? Kakakmu lompat dari gedung sampai jadi koma, ayahmu nggak tahan dengan semua tekanan ini dan masuk ICU. Dokter bilang sudah nggak ada harapan ...." Di dalam mata Maya, terpancar kebencian yang sangat dalam. Maya datang kali ini dengan satu tujuan, yaitu membunuh Meira. Meira merasa otaknya kosong. Maya mencabut pisau buah itu dan menusuknya lagi. Tepat saat itu, Bibi Lina datang membawa kue yang baru keluar dari oven dan terkejut melihat kejadian ini. Dia berteriak dan berlari mendekat. Maya tertabrak dan jatuh ke tanah. "Bu Maya, apa yang kamu lakukan?" teriak Bibi Lina. Maya masih menggenggam pisau dengan kencang. Menyadari bahwa dia tak bisa menyerang lagi, Maya mengangkat pisau buah dan menempelkannya ke lehernya sendiri. Meira yang bereaksi paling cepat, menggunakan seluruh tenaganya untuk menerjang ke depan. Pisau itu hanya menggores leher Maya sedikit, lalu jatuh ke tanah. Bibi Lina dengan cepat mengambil pisau itu dan melemparkannya ke kolam yang tidak jauh dari situ, agar Maya tidak bisa mengambilnya lagi. Kemudian, dia memanggil pengawal dan dokter. Meira tergeletak di rumput, darah membasahi tubuhnya. Sebelum menutup mata, dia masih berkata, "Ibu, maafkan aku, semuanya salahku, maafkan aku ...." Maya merintih kesakitan, berteriak pilu sambil mencengkeram dan menarik rambutnya sendiri dengan sekuat tenaga. .... Rumah Sakit. Meira masih berada dalam perawatan. Dia kehilangan banyak darah, sementara kanker yang dideritanya selama ini sudah melemahkan tubuhnya. Kemungkinan besar, dia tidak akan bertahan. Mendengar kabar ini, Aryan segera datang, dan Yuna menemaninya. Aryan tampak tenang setelah mendengar penjelasan dokter, tetapi gerakan tangannya mengungkapkan kegelisahannya. Yuna sengaja bertanya kepada Bibi Lina yang ada di sampingnya. "Apa yang sudah dia lakukan sampai ibunya sendiri mau membunuhnya? Bahkan keluarganya sendiri saja nggak bisa menerima dia. Memang kita harus lebih banyak berbuat baik." Bibi Lina berdoa dengan penuh kesungguhan. Tangannya terlipat di depan dada, dan ketika mendengar kata-kata Yuna, dia tak tahan untuk menjawab. "Nyonya ini orang yang baik, pasti ada kesalahpahaman." "Kalau ibunya saja berharap dia mati, dia pasti bukan orang baik. Mungkin dia telah melakukan hal yang sangat kejam, sampai ibunya nggak tahan dan menusuknya." Bibi Lina hanya melirik Yuna tanpa berkata apa-apa, melanjutkan doanya untuk Meira. Operasi ini berlangsung selama tujuh jam. Meira berhasil bertahan hidup. Tujuh hari kemudian. Dia terbangun. Dia terlihat seperti mayat hidup, matanya tidak lagi bercahaya. Aryan sudah beberapa kali datang menemuinya, tetapi Meira hanya menatap ke luar jendela. Dia hanya menunggu kematiannya. Entah ke surga atau neraka, yang penting dia tidak ingin hidup di dunia yang sama dengan Aryan. Namun, sepertinya Tuhan masih ingin memberinya cukup napas untuk bertahan. Pada suatu sore. Meira akhirnya mulai pulih, dan wajahnya kini sedikit lebih segar merona. Aryan datang menemuinya dan mulai bercerita tentang keluarganya. "Kakakmu sudah sadar, pabrik kecilnya berjalan lancar. Ayahmu hanya mengalami tekanan darah tinggi, nggak ada masalah serius. Ibumu sekarang di panti jompo, ada perawat yang menjaganya ...." Sebenarnya dia ingin mengatakan, "Kamu bisa tenang sekarang, keluargamu baik-baik saja." Namun, dia bicara berbelit-belit dan tidak bisa mengatakannya dengan jelas. Meira menatapnya, lalu berkata pelan, "Terima kasih." Nada suaranya dingin, dan terasa jauh. Hati Meira, rasanya benar-benar mati. Aryan menggigit bibir, setelah itu mereka berdua diam. Sampai Aryan hendak pergi, baru Meira mulai berbicara. "Aryan, aku benar- benar nggak terlibat dalam kematian kakakmu. Aku nggak pernah cemburu dengan hubungan kalian ...." Aryan tidak menghentikan langkahnya, dan menghilang di pintu. Meira meneteskan air mata, berbisik dengan lirih. "Dia mencintaimu sebagai keluarga, aku mencintaimu sebagai kekasih. Kalau ada satu orang lagi yang mencintaimu, aku akan senang, mana mungkin aku cemburu? Tapi cintaku sama kamu, cukup sampai di sini saja." Tengah malam. Dengan tubuh yang berat, Meira memanjat ke atap. Tak lama lagi, akhirnya dia akan terbebas.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.