Bab 4
Sorot mata Safira penuh dengan cemoohan.
Setelah hatinya mati rasa, dia tidak lagi menyimpan harapan apa pun pada Leo.
Dengan tenang, dia berkata, "Oke, aku sudah tahu."
Reaksi datar itu membuat Yordan menatapnya dengan heran.
"Apakah hanya itu yang kamu rasakan terhadap Kak Leo, padahal dia dulu sangat peduli padamu?"
"Kak, sejak ibu meninggal, kamu jadi sangat aneh."
"Kak Nidya hampir kehilangan nyawanya karena kamu, tapi sampai detik ini kamu tetap bersikap acuh tak acuh terhadapnya."
"Aku yakin, dalam hatimu, kamu menyalahkan Kak Nidya karena merebut perhatian keluarga dan bahkan berharap dia mati, bukan?"
"Kak Nidya sudah melalui banyak penderitaan, tapi kamu masih saja iri. Sejak kapan kamu berubah jadi sekejam ini?"
Safira tersenyum sinis mendengar pernyataan itu.
Jika Nidya benar-benar ingin bunuh diri dengan obat, bagaimana mungkin dia bisa menghitung dosisnya dengan begitu akurat sehingga mereka menemukannya tepat waktu?
Selama bertahun-tahun, Nidya terus menggunakan trik-trik licik untuk merebut perhatian dan cinta keluarga, dan Safira sudah terbiasa.
Meskipun dia mencoba menjelaskan, semuanya akan tetap berakhir sama. Tanpa mengatakan apa pun, dia sudah dituduh sebagai pelaku.
Bahkan diamnya dianggap sebagai kesalahan.
Dengan suara yang tajam dan penuh kekecewaan, Yordan berkata sebelum keluar dari ruangan.
"Saat kecelakaan itu terjadi, aku berharap darah yang menyelamatkanku datang darimu, bukan dari Kak Nidya."
"Kamu adalah kakak kandungku, tapi saat aku paling membutuhkanmu, kamu nggak melakukan apa pun. Aku membencimu."
Dentuman pintu yang dibanting mengiringi kepergian Yordan yang bahkan enggan melihat ke arah Safira lagi.
Enam bulan yang lalu, Yordan ditabrak oleh mobil yang dikemudikan oleh pengemudi mabuk. Akibatnya, dia kehilangan sejumlah besar darah dan berada dalam kondisi kritis.
Ketika stok darah di rumah sakit menipis hingga kekurangan 1.400 mililiter, Edwin dan Safira maju untuk menyelamatkan Yordan.
Namun, Edwin hanya mampu memberikan 200 mililiter sebelum rasa sakit membuatnya berteriak dan meminta dokter menghentikan prosesnya.
Sebaliknya, Safira yang telah menyumbang 800 mililiter mulai kehilangan kesadaran.
Meski demikian, demi adiknya yang sekarat, dia memohon kepada dokter untuk mengambil total 1.200 mililiter darah darinya.
Setelah kembali sadar, dia mendapati dirinya terbaring di kamar rumah sakit tua, sendirian tanpa seorang pun menemani.
Edwin, demi membuat hubungan antara Yordan dan Nidya menjadi lebih baik, malah mengatakan bahwa yang telah menyumbangkan darah untuk Yordan adalah Nidya.
Safira menahan rasa sakitnya, memaksakan diri pergi menemui Yordan untuk menjelaskan segalanya.
Namun, yang dia terima hanyalah tamparan keras di wajahnya.
Sambil menangis, Yordan berteriak, menuduh Safira karena tidak ada di sisinya saat dia membutuhkan pertolongan.
Sebaliknya, Nidya telah mendonorkan banyak darah hingga nyaris kehilangan nyawa.
Meski merasa kecewa, Safira menyarankan Yordan untuk mengecek catatan transfusi darah rumah sakit jika ingin tahu siapa yang sebenarnya telah menyelamatkan hidupnya.
Namun, Yordan masih belum melakukannya sampai sekarang.
Yordan yakin sepenuhnya bahwa 20% darah dalam tubuhnya berasal dari Nidya.
Dalam pikirannya, Safira hanyalah seorang kakak yang tidak peduli, yang memilih untuk mengabaikannya saat dia berada di ambang maut.
Bahkan, setiap tindakan atau perkataan Safira hanya dianggap sebagai sesuatu yang memiliki maksud buruk.
Kini, Safira sudah muak, jadi tidak ingin menjelaskan apa-apa lagi.
Safira duduk termenung di sofa, di rumah yang sunyi tanpa jejak kehangatan keluarga.
Dari balik jendela, suara angin yang menderu seolah-olah ikut mengejek kesendiriannya. Dia menutup mata, kedua tangannya mencoba meredam semua suara dengan menutupi telinganya.
Namun, tekanan yang mengimpit batinnya tetap ada, menyerupai berat yang siap menghancurkannya kapan saja.
Dalam rumah ini, tidak ada orang yang peduli, tidak ada yang membutuhkan dirinya.
Safira akhirnya memilih untuk menghilang selamanya dari dunia mereka.