Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 3

Mata Safira yang kosong bertemu dengan tatapan Leo yang gelisah. Saat teringat Nidya, yang juga tengah dirawat di rumah sakit, Leo menggertakkan giginya. Tanpa sepatah kata, dia berbalik dan meninggalkan ruangan dengan langkah yang tegas. Arlo menyaksikan semuanya dengan mata yang terbelalak. Diam-diam, dia telah lama menyimpan rasa terhadap kakak seniornya, Safira. Namun, dia tahu bahwa Safira memiliki seorang pacar yang sudah dikenal sejak kecil. Hubungan mereka terlihat begitu harmonis, hingga membuat Arlo hanya mampu menyembunyikan perasaannya. Dulu, Arlo selalu merasa iri pada Leo, meskipun dia belum pernah bertemu dengannya. Sekarang, dia tidak menyangka bahwa di saat Safira berada di titik paling rapuh dan membutuhkan dukungan, pria itu justru memilih untuk menemani wanita lain. Luka di lengan terus mengeluarkan darah, tetapi sorot mata Safira tetap kosong, seolah rasa sakit itu tidak berarti apa-apa. Arlo berdiri terpaku, bibirnya bergetar karena iba yang tidak tertahankan. Dia tidak bisa membayangkan betapa dalam luka yang ditinggalkan Leo, hingga Safira yang dulu bersinar kini tampak begitu hampa. "Kak Safira, aku akan ambil kain kasa untuk mengobati lukamu." Setelah lukanya dirawat dengan hati-hati, Safira meminta Arlo membantunya menyelesaikan proses keluar dari rumah sakit. Sebelum mereka pergi, Arlo dengan lembut menarik tangan Safira. Arlo tahu bahwa keluarga Catra tidak lagi menerima keberadaan Safira. Dia pun mengusulkan, jika Safira memilih untuk tetap tinggal di rumah sakit .... Dia tidak keberatan merawatnya. Safira hanya tersenyum kecil sambil menggelengkan kepala. Dia tidak ingin melibatkan Arlo dalam masalahnya. Cukup dia yang terluka, tidak ada orang lain yang harus ikut merasakannya. .... Setelah pulang ke rumah, Safira mendapat pesan dari ayahnya. [Nidya baru saja selesai cuci lambung, dia butuh ditemani, jadi kami nggak akan pulang.] [Aku sudah meninggalkan makanan di dapur. Makan sendiri kalau lapar.] Di meja makan, hanya tersisa beberapa piring berisi sisa sayur hijau yang hampir habis, potongan lemak daging, dan sup dingin yang tak lagi menggugah selera. Itu bukanlah makanan yang disiapkan untuk Safira, melainkan hanya sisa dari hidangan Nidya sebelumnya. Safira menatap makanan itu dengan ekspresi datar. Dia sudah lama terbiasa dengan perlakuan seperti ini. Sejak kedatangan Nidya, perhatian Edwin sepenuhnya tertuju padanya. Dengan alasan bahwa Nidya tumbuh besar di daerah terpencil dan kurang gizi, makanan terbaik harus diberikan padanya. Sementara itu, Safira dianggap harus mengalah karena lebih tua, dituntut dewasa, bahkan hingga menyerahkan segala miliknya. Safira bukan tipe yang gemar bertengkar, sehingga dia hanya bisa diam saat melihat Nidya merebut segala hal, bahkan kamar yang dulu miliknya. Kini, Safira hanya tinggal di loteng sempit yang penuh angin bocor, tidur di atas tempat tidur kayu yang keras. Mungkin di mata Edwin, Nidya yang pandai berbicara manis dan pandai mengambil hati adalah gambaran ideal dari seorang anak perempuan yang dia dambakan Pintu terbuka perlahan, dan Yordan masuk dengan kantong di tangannya. Ketika pandangannya bertemu Safira, dia berhenti sejenak, kemudian mengerutkan kening, ekspresinya berubah menjadi penuh rasa jijik. "Aku pulang hanya untuk mengambil perlengkapan mandi Kak Nidya." "Kak Leo juga meminta aku menyampaikan bahwa hubungan kalian sudah selesai. Dia ingin berpisah baik-baik. Nidya butuh dia sekarang karena depresinya kambuh, jadi dia tidak bisa meninggalkannya." "Ini barang yang dulu kamu berikan padanya. Dia memintaku untuk mengembalikannya." Yordan mengeluarkan sebuah perekam kaset dan menyerahkannya kepada Safira. Perekam kaset itu adalah hadiah pertama yang dia berikan kepada Leo. Dulu, sebagai anak kecil, Safira tidak mampu membeli barang-barang mahal. Dia dengan sabar menyisihkan uang sakunya selama setengah tahun untuk menghadiahkan benda tersebut kepada Leo, lalu merekam banyak lagu favorit Leo di dalamnya. Safira tidak pernah melupakan bagaimana Leo memeluknya dengan air mata saat menerima hadiah itu, berjanji untuk menjaganya dengan sepenuh hati. Namun, janji itu kini hanya tinggal kenangan yang telah dia lupakan. Dia bahkan enggan untuk mengembalikan hadiah itu secara pribadi.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.