Bab 5
Lamunan Safira terhenti oleh bunyi notifikasi ponselnya.
Pesan itu berasal dari Nidya, yang mengunggah pembaruan status di media sosial dengan kabar baik: [Terima kasih atas perhatian semua orang, aku sudah membaik. Terima kasih Kak Leo, yang selalu ada saat aku membutuhkan. Aku akan menghabiskan sisa hidupku untuk membalas kebaikanmu.]
Foto yang melengkapi status tersebut memperlihatkan Nidya dan Leo di kamar rumah sakit, tangan mereka saling bertaut erat, terlihat begitu dekat dan serasi.
Safira melihatnya sebentar, mematikan layar ponsel, lalu meletakkan ponselnya di samping tanpa banyak peduli.
Hubungannya dengan Leo sudah berakhir.
Upaya Nidya untuk memamerkan atau memprovokasinya tidak berarti apa-apa. Itu tidak membuatnya terganggu, bahagia, atau sedih.
Setelah menyiapkan makan malam untuk dirinya sendiri, Safira memutuskan untuk menutup hari itu dengan tidur.
Rumah yang sunyi membawa tidur terlelap bagi Safira, sesuatu yang tidak pernah dia alami selama bertahun-tahun.
Saat pagi tiba, dia bangun lebih awal dari biasanya.
Dia menyeduh kopi secara manual, duduk di kursi rotan halaman rumah, mendengarkan siaran radio pagi yang sayup, dan meregangkan tubuhnya.
Setelah bertahun-tahun kehilangan dirinya dalam masalah keluarga, akhirnya dia menemukan kebebasan untuk menikmati hidup.
Dia sadar, sudah waktunya dia hidup untuk dirinya sendiri.
Safira kembali ke kamarnya usai sarapan, berniat mengumpulkan barang-barang pemberian Leo untuk dikembalikan.
Ketika semua sudah terkumpul, baru dia menyadari betapa sedikitnya barang yang diberikan Leo padanya.
Hanya barang-barang kecil, murah, dan tanpa nilai berarti.
Meskipun begitu, Safira pernah menganggap setiap barang itu berharga dan menyimpannya dengan hati-hati di dalam laci.
Namun kini, saat dia mengeluarkannya, barang-barang itu telah kusam, menguning, dan berjamur.
Seolah-olah waktu telah memudarkan nilai barang-barang itu, sebagaimana waktu memudarkan perasaan Leo terhadapnya.
Safira menggelengkan kepala.
Menyadari bahwa Leo tidak akan menerima barang-barang itu karena obsesinya terhadap kebersihan, Safira mengambil langkah tegas.
Dia memasukkan semua hadiah dan foto kenangan mereka ke dalam tong besi, lalu membiarkan api melahap semuanya.
Kobaran api melahap kenangan masa lalu, menghapus jejak indah yang pernah ada.
Setelah semuanya selesai, Safira beranjak mengurus proses cuti akademiknya.
Mengisi waktu sebelum keberangkatan, Safira berniat berwisata di dalam kota untuk menyegarkan pikirannya.
Saat dia asyik melihat panduan wisata, Leo muncul, tampak tidak tenang.
Safira terlihat santai, sementara Leo tampak dilanda gelisah.
Dia tidak bisa tidur semalaman setelah mendengar Yordan bercerita bahwa Safira yang acuh terhadap barang-barang yang dia kembalikan.
Leo selalu tahu bagaimana Safira mencintainya dengan sepenuh hati. Karena itu, dia sulit menerima kenyataan bahwa Safira menunjukkan sikap yang begitu dingin.
Namun, saat melihat tong besi di halaman dengan sisa-sisa hadiah dan foto yang terbakar, perasaan Leo runtuh seperti langit yang pecah di atas kepalanya.
Barang-barang yang dulu begitu berarti bagi Safira kini berubah menjadi benda yang dianggap tidak bernilai sama sekali.
"Kenapa kamu membakar semua hadiahku dan foto kita?"
Suara Leo terdengar agak bergetar.
Safira menata Leo yang tampak terguncang dengan tenang.
"Semuanya sudah tua dan mulai berjamur, jadi aku membakarnya."
Leo tertegun sesaat, sebelum tiba-tiba melontarkan dugaan yang tajam. "Kamu sengaja, 'kan? Kamu tahu aku akan datang, 'kan? Kamu hanya ingin menarik perhatianku, 'kan!"
"Safira, kenapa kamu selalu bersikap seperti ini?"
Ketika dia berbalik untuk pergi, matanya tanpa sengaja menangkap berkas cuti akademik yang tergeletak di atas meja teh.
Saat itu juga, pikirannya mendadak kosong.
"Kamu mau cuti kuliah? Hanya karena kami meminta paten itu diserahkan ke Nidya?"
"Jawab aku! Kamu mau pergi ke mana?"
Rasa takut yang tak beralasan tiba-tiba menyelimuti Leo, membuatnya mencengkeram lengan Safira begitu erat.
Meskipun Safira berada tepat di depannya, nyata di hadapannya, Leo merasa ada jarak yang tak terlihat, sesuatu yang membuatnya yakin Safira bisa menghilang selamanya dari hidupnya kapan saja.