Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 2

Entah kapan Safira kehilangan kesadaran, dalam tidurnya yang tidak tenang, dia terseret ke dalam mimpi tentang masa-masa SMP. Tulisan pertamanya, sebuah jurnal medis, membuat hatinya meluap oleh kebanggaan saat dia membawanya pulang. Namun, keluarganya hanya melihat sekilas, tidak mengerti, dan melemparkannya ke sisi ruangan. Hanya ibunya yang membaca dengan penuh perhatian, membelai kepalanya dengan lembut, dan memujinya dengan kasih sayang yang tulus. Dengan rasa penasaran, Safira bertanya, "Ibu, apakah Ibu benar-benar bisa memahami jurnal ini?" Dengan nada lembut dan penuh kasih, ibunya berkata sambil menggelengkan kepala, "Ibu nggak mengerti isi tulisanmu, tapi nama kamu di sana, itu selalu membuat ibu bangga." Sore itu berakhir dengan manis, menjadi kenangan yang terus diingat Safira bertahun-tahun. Kini, tulisan-tulisannya telah menghiasi berbagai jurnal ternama. Namun, sosok penuh kasih yang dulu selalu membelai kepalanya dan memujinya dengan tulus kini telah tiada. "Ibu ...." Safira perlahan terbangun, merasakan sisa air mata yang masih membasahi sudut matanya. Yang pertama dia lihat adalah seorang pemuda dengan raut wajah penuh kekhawatiran. Sosok itu adalah Arlo Ishan, juniornya yang tengah magang di rumah sakit. "Kak Safira, keluargamu benar-benar kejam!" seru Arlo dengan suara rendah yang penuh emosi. "Petugas darurat bilang nyawamu hampir hilang, tapi mereka tetap berpesta tanpa sedikit pun peduli padamu." "Selama dua hari kamu nggak sadarkan diri, nggak ada satu pun dari mereka yang datang menjengukmu." Mendengar keluhan Arlo yang dipenuhi kemarahan, Safira tetap tanpa ekspresi, seolah kata-kata itu tidak mampu menyentuhnya. Reaksi dinginnya justru menimbulkan rasa iba di hati Arlo. Tidak ada yang lebih memilukan daripada hati yang telah mati rasa, mungkin inilah yang dirasakan Safira saat ini. "Kak Safira, aku sudah belikan bubur untukmu, makanlah sedikit." Arlo tidak memberi Safira kesempatan untuk menolak. Dia segera menyuapkan bubur daging ke mulut Safira. Safira hanya bisa membuka mulut dan menelan dengan perlahan. Dalam kesunyian itu, bayangan Arlo mulai mengabur, bertumpang tindih dengan sosok penuh kasih yang ada di ingatannya. Ketika ibunya baru saja meninggal, Safira tenggelam dalam keputusasaan, memeluk erat foto mendiang ibunya. Dia menolak makan, minum, atau pergi ke sekolah, hingga akhirnya Edwin, ayahnya, melampiaskan amarahnya dengan memukulnya tanpa ampun, meninggalkan luka di tubuhnya. Adiknya hanya bisa berjongkok di sudut, gemetar ketakutan tanpa berani mengeluarkan suara. Di tengah kekacauan itu, Leo menerobos masuk, melindungi Safira dengan tubuh kecilnya. Leo membawanya pulang, menyuapinya dengan penuh perhatian. Saat itu, Leo adalah satu-satunya cahaya yang menerangi kegelapan hidup Safira. Safira tidak pernah membayangkan bahwa seseorang yang pernah berjanji untuk hidup bersamanya selamanya kini telah jatuh cinta pada orang lain. "Safira, siapa dia?" Suara dingin yang tiba-tiba memotong lamunannya, memaksa Safira kembali ke kenyataan. Leo berdiri di pintu kamar rumah sakit, ekspresinya kelam dan berat. Dia telah mengambil keputusan untuk mengakhiri hubungan dengan Safira demi cintanya kepada Nidya, tetapi saat melihat Arlo dengan lembut menyuapkan bubur kepada Safira, rasa sakit yang tidak terjelaskan muncul di hatinya. Seolah-olah ada sesuatu yang semestinya menjadi miliknya, tetapi telah dirampas begitu saja oleh orang lain. Saat Arlo hendak memberikan penjelasan, Leo tiba-tiba maju dan menampar mangkuk bubur dengan keras. Pecahan porselen bertebaran di lantai, salah satunya melukai lengan Safira. Darah mengalir deras dari goresan panjang itu, membuat Safira menggigil dalam rasa sakit. Namun, Leo tidak menunjukkan sedikit pun perhatian padanya. Tatapan Leo yang penuh kebencian hanya tertuju pada Arlo, suaranya dingin saat dia berkata, "Keluar dari sini." Sikapnya itu seolah-olah Safira hanyalah mainan miliknya yang tidak boleh disentuh oleh orang lain. Namun, saat menerima panggilan telepon yang tiba-tiba, ekspresi Leo berubah drastis. "Nidya merasa sangat bersalah, depresinya kambuh, dan dia mencoba bunuh diri dengan menelan obat. Aku harus menemaninya untuk cuci lambung. Setelah itu, aku akan kembali menemui kamu, oke?" Nada suara Leo tidak mengandung permintaan, hanya pemberitahuan dingin. Safira, dengan lengan yang masih berdarah, menatap wajahnya tanpa emosi. Senyum pahit muncul di bibirnya. "Baiklah," jawabnya pelan. 'Apa yang perlu disedihkan?' 'Leo, delapan hari lagi, dan kamu nggak perlu berpura-pura lagi.'

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.