Bab 6
Rhea tidak menyangka tebakannya tepat.
Dia sudah memikirkannya matang-matang sebelum datang ke sini dan ingin mengatakan semuanya secara langsung.
Namun, ketika benar-benar berhadapan dengan Galih dan istrinya, dia justru bingung bagaimana memulainya.
Bukan karena masih menyimpan rasa untuk Cavero, tetapi karena ketakutannya melihat mereka kecewa.
Galih menghela napas panjang. "Ratna sudah lihat waktu Cavero si bocah nakal kasih gelang cendana yang susah payah kamu peroleh ke cewek lain di festival film kemarin. Sudah dua hari dia marah karena itu."
"Huh. Masuk dulu, baru kita bicara."
Rhea merasa begitu tertekan mendengar pria itu menghela napas.
"Cavero benar-benar nggak tahu diri. Mestinya, kamu biarkan saja aku beri dia pelajaran, biar dia tahu kalau gelang itu sangat berharga bagi Rhea karena susah payah didapatkannya."
"Dia memang anak didikanmu, tapi Rhea juga muridmu. Kenapa kamu bela Cavero terus, tapi nggak peduli sama Rhea? Kenapa kamu diam saja?"
Setelah lama tidak mendengar apa pun, Ratna berbalik dengan marah dan bersiap untuk mengomeli Galih lagi.
Namun, begitu menoleh, dia langsung bertemu tatap dengan Rhea. "Rhea?"
Bertahun-tahun mendalami seni dan budaya klasik, Ratna tetap terlihat anggun di usianya yang tidak lagi muda. Kecantikannya di masa muda masih bisa dilihat dari raut wajahnya.
Dia pun buru-buru bangkit, sementara Rhea membantunya berdiri dengan sigap. "Bu Ratna, ini aku."
Dia tidak menangis saat putus dengan Cavero, tetapi dia tidak bisa membendung air matanya sekarang.
"Aduh, sayangku. Kamu pasti sedih banget, ya?" Ratna pun memeluknya penuh kasih.
Ratna ikut sakit hati dan nyaris menangis ketika mendapati tubuh Rhea sedikit gemetar saat terisak di pelukannya.
Nada bicaranya serasa tertekan dan cemas. "Bilang padaku kalau kamu sakit hati, aku akan bantu lampiaskan amarahmu."
"Cavero itu sudah keterlaluan! Dia sama sekali nggak menghargaimu. Kalau sampai putus, aku akan …"
"Ehem!" Dehaman Galih memotong ucapannya. "Makin lama malah makin jauh dari topik pembicaraan."
Dia menghela napas dan ikut menghibur meski hatinya sama-sama sakit. "Rhea, jangan terlalu sedih. Dunia hiburan ini penuh kepalsuan, belum tentu dia nggak menghargai hubungan kalian. Kalian sudah melalui banyak hal bersama. Kalau ada masalah, seharusnya kalian duduk bersama dan bicara baik-baik."
"Kita semua tahu sikapnya memperlakukan kamu dulu. Rasanya nggak berlebihan kalau bilang dia begitu hati-hati menjagamu, bahkan kamu diperlakukan bak benda paling berharga untuknya."
Sayangnya, Ratna tidak puas dengan perkataan suaminya. "Dulu, ya, dulu! Rhea itu pacarnya, Cavero perlu memperlakukannya dengan baik. Apalagi, selama ini Rhea sudah menemaninya melalui begitu banyak kesulitan. Masa begitu saja Cavero nggak tahu?"
"Aku setuju kalau kamu bilang dunia hiburan penuh kepalsuan dan aku juga bisa terima kalau Cavero kasih hadiah lain, tapi gelang ini beda. Kamu tahu bagaimana Rhea dapat itu, 'kan?"
"Waktu itu, Cavero bekerja mati-matian demi meraih ketenaran hingga sakit parah, bahkan sempat koma. Rhea terus merawatnya siang dan malam, tapi kondisinya nggak kunjung membaik. Makanya Rhea minta gelang itu sebagai bentuk harapan terakhir. Mungkin itu dianggap takhayul, tapi itu adalah bentuk ketulusan hati Rhea!"
"Mana mungkin Cavero berani memperlakukan dia seperti itu?" Ucapan terakhir Ratna terdengar penuh emosi.
Galih terdiam, tidak bisa membantah.
Namun, dia juga tahu, perjalanan Cavero serta Rhea selama ini penuh liku dan tidak mudah bagi mereka untuk sampai di titik ini.
Menghancurkan hubungan seperti ini serasa tengah melakukan dosa besar.
Ratna menarik Rhea untuk duduk di sisinya. Rhea jauh lebih lega setelah sekian lama menangis.
Dia menggeleng dengan mata berkaca-kaca. "Aku sudah tahu kebenarannya. Aku datang ke sini untuk kasih tahu kalian bahwa aku sudah putus dengan Cavero. Mulai sekarang, kita nggak akan ada hubungan apa-apa lagi."
"Aku harap, kalian nggak kecewa padaku."
Ratna menggenggam tangannya sejenak, makin sedih perasaannya ketika melihat Rhea. "Anak bodoh, ini bukan salahmu. Bagaimana mungkin kami bisa kecewa padamu?"
Kemudian, Ratna melirik pada Galih. Meskipun dia sempat menyarankan untuk putus, saran itu karena dia sedang marah dan terbawa emosi.
Dalam hatinya, dia setuju dengan pendapat Galih. Mereka berdua memang perlu bicara baik-baik.
Mereka menyayangi Cavero dan Rhea dari lubuk hati yang paling dalam. Mereka juga berharap agar keduanya bisa menikah dan memiliki anak.
"Rhea, apa keputusanmu sudah bulat? Kalau boleh jujur, gurumu ada benarnya. Kalian berdua perlu bicara baik-baik. Kalau harus, aku dan Galih bisa memanggil Cavero ke sini, memberinya pelajaran, lalu menyuruhnya meminta maaf padamu. Jangan ambil keputusan hanya karena emosi. Kalau nanti kamu menyesal, semuanya sudah terlambat," nasihat Ratna pad Rhea usai berpikir sejenak.
Rhea menggeleng pelan. "Aku datang hari ini setelah pertimbangan matang untuk semua hal. Putus dengan dia bukan keputusan mendadak. Aku juga sudah mengajukan pengunduran diri dari timnya di perusahaan. Setelah ini, aku akan fokus membimbing para pendatang baru dan mengembangkan minatku soal penyutradaraan serta fotografi. Ini juga bentuk balas jasaku untuk bimbingan Pak Galih selama ini."
Galih tertegun. Awalnya, dia mengira Rhea mendasarkan keputusannya dengan emosi semata. Justru muridnya ini sudah memikirkan semua dengan sangat matang.
Ratna terdiam sesaat, lalu menggenggam tangan Rhea lebih erat lagi dengan ekspresi penuh kasih. "Aku tahu kamu anak yang bijaksana, tapi kalian sudah melewati banyak hal bersama. Kamu pasti nggak tergantikan di hatinya. Kalau sekarang dia belum paham, bukan berarti nggak akan pernah mengerti. Kamu yakin nggak mau dipertimbangkan lagi?"
Rhea mengangkat sorot matanya, terlihat begitu tegas. "Bu Ratna, aku bukan gadis lemah yang bergantung pada pria. Aku juga nggak mau membuang hidupku untuk menunggu seseorang yang nggak pasti. Itu nggak guna."
"Tapi, kamu sangat mencintainya, apa kamu benar-benar rela melepasnya?"
Ucapan itu membuat lidah Rhea terasa kelu. "Kalau dia nggak cinta sama aku, tentu aku nggak akan cinta dia. Itu adil."
"Mungkin mulanya akan sulit, tapi pelan-pelan aku akan membuang semua perasaan itu dari hatiku."
Ratna tersenyum kagum ketika menatap mata Rhea yang penuh tekad.
Dia sudah lama tahu, Rhea yang kemungkinan terlihat lemah, justru lebih kuat daripada orang lain. Rhea bagai bunga yang tumbuh di tebing curam, berdiri kokoh melawan angin dan tidak tergoyahkan.
Galih dan Ratna menyadari keputusan Rhea sudah bulat dan tidak ada yang bisa mengubahnya.
"Rhea," panggilnya penuh kasih sayang. "Kelak, kalau kamu sedang susah hati. Jangan pendam sendiri, ya. Meski aku dan gurumu sudah nggak begitu aktif dalam dunia hiburan, kami masih bisa kamu ajak bicara."
Kata-kata itu membuat sepasang mata Rhea kembali berkaca-kaca. Semua kepahitan yang dia rasakan dua tahun terakhir serasa siap meledak sekaligus.
Ratna pun meminta Rhea untuk makan malam bersama. Dia memanfaatkan kesempatan itu untuk menggali sedikit informasi hingga tahu bahwa Cavero dan Celia memiliki hubungan lama sebagai teman masa kecil.
Ekspresi Ratna langsung berubah dingin begitu Rhea pergi.
"Jangan marah dulu. Mungkin ada salah paham di sini. Gadis itu minta sesuatu di depan banyak orang dan kebetulan Cavero punya hubungan baik dengannya. Mungkin Cavero cuma nggak mau mempermalukannya di depan umum," ujar Galih, mencoba untuk menenangkan.
"Nggak mau buat gadis itu malu, tapi dia nggak peduli perasaan Rhea. Kalau orang lain tahu gelang yang selalu dia pakai itu dari Rhea, terus dia kasih ke teman masa kecilnya. Bagaimana pendapat orang tentang Rhea?"
"Apa mereka pikir cuma dua orang ini yang punya hubungan, tapi Rhea nggak punya? Jangan kasih aku alasan kalau cinta pertama itu nggak tergantikan. Aku nggak suka Cavero yang plin-plan begitu. Sekarang, cari tahu yang sebenarnya terjadi," ujar Ratna, makin geram.
Galih tidak berani menunda, membuatnya lekas menelepon untuk menyelidiki. Barulah dia tahu bahwa Cavero terus memberi dukungan dan sumber daya kepada Celia dua tahun terakhir.
Ekspresi Ratna makin terlihat tidak senang. "Aku kira, Cavero orang yang bisa diandalkan, makanya aku setuju Rhea dengannya. Nggak disangka, dia nggak bisa menjaga perasaan. Aku sudah bilang, Rhea sayang banget sama dia. Jadi, nggak seharusnya dia mengecewakan Rhea seperti ini."
"Kamu juga! Kenapa kamu nggak cari tahu ini semua dari dulu? Karena kelalaianmu, Rhea sangat menderita."
Galih merasa sangat tertekan dimarahi istrinya, tetapi dia tidak berani membantah.
Ratna, selaku seniman opera senior yang dikenal dengan sikap tenangnya, tiba-tiba menggebrak meja. Sudah bertahun-tahun dia tidak menunjukkan emosinya seperti ini.
"Sekarang juga telepon Cavero dan suruh dia ke sini! Rhea mungkin bisa menahan diri, tapi aku nggak bisa!"