Bab 7
Takut sang istri makin marah, Galih langsung menghubungi Cavero tanpa menunda-nunda.
Ratna menarik napas panjang, menenangkan dirinya. "Rhea ingin fokus pada kariernya. Kamu paham soal sutradara dan akting. Selama kita masih punya pengaruh, bantu dia lebih banyak."
"Ah, kamu nggak usah khawatir soal itu. Rhea itu murid kesayanganku. Akulah yang paling sedih waktu dia berhenti menjadi artis karena Cavero. Apa kamu lupa kita pernah bertengkar gara-gara masalah ini? Aku marah karena kamu sembarangan menjodohkan mereka."
Dia menarik napasnya dalam-dalam. "Kalau sekarang dipikir lagi, aku juga menyesal."
Cavero tengah makan malam dengan Celia saat menerima telepon itu.
Celia baru memenangkan penghargaan besar dan langsung meminta Cavero mentraktirnya makan.
Sebenarnya, Cavero sedang kesal karena Rhea meminta putus. Ketika dia mendengar suara manja Celia di telepon, dia justru bergegas menyetujui ajakannya tanpa pikir panjang.
Kalau saja Rhea punya setengah kelembutan milik Celia dan sepenurut gadis ini, pasti lebih baik.
"Apa Rhea mencarimu?" tanya Celia, suaranya terdengar agak kecewa di tengah makan malam.
Cavero mengernyitkan dahi dan menggeleng. "Bukan. Guruku mendadak menyuruhku ke rumahnya. Aku harus pergi."
"Maksudmu, Pak Galih Zulkarnain? Aku selalu kagum padanya! Bisa nggak aku ikut kamu bertemu dengannya?"
Awalnya, Cavero ingin menolak, tetapi dia tidak tega saat melihat ekspresi antusias Celia.
Dia sampai mencubit pipi putih Celia. "Ayo, tapi ingat, di sana kamu harus jaga sikap. Guruku nggak suka orang yang suka memanfaatkan koneksi."
Celia memukul lengannya kesal, tetapi suaranya penuh harap. "Aku cuma ingin bertemu Pak Galih. Aku akan sangat puas kalau punya kesempatan main di film yang dia sutradarai, sekalipun hanya peran pendukung."
Cavero menatapnya lembut. "Kalau guruku kembali bekerja, aku akan berusaha membantumu dapat peran."
Galih tinggal di sebuah rumah kecil gaya Barat, dengan halaman depan yang cukup luas. Pintu masuknya pun hanya sebuah gerbang pagar sederhana.
Mereka yang sudah di rumah itu bisa melihat Cavero turun dari mobil lewat jendela.
Galih pun menasihati istrinya begitu mendapati Cavero turun dari mobil. "Tahan emosimu saat bicara dengannya. Aku masih berharap mereka berdua bisa berakhir baik. Rhea berhati lembut. Jadi, cukup suruh Cavero minta maaf baik-baik dan bujuk dia. Kelak harus bisa jaga sikap dan jaga jarak ..."
Belum selesai dia berbicara, Ratna kembali menggebrak meja dengan marah.
Galih terkejut. "Kenapa tiba-tiba begitu? Sudah kubilang, jangan marah dulu."
"Lihat siapa yang datang di luar sana, lalu bilang padaku, perlukah aku marah atau nggak!"
Ratna mencibir seraya menghentikan pembantu yang hendak membuka pintu. "Jangan bukakan pintu untuknya."
Ratna melihat jelas bagaimana Cavero turun dari mobil, lalu membukakan pintu untuk Celia.
Galih hanya melihat dua orang berdiri berdampingan di depan pintu. Celia agak mendongak saat berbicara dengan Cavero. Dia menatap pria di sebelahnya dengan ekspresi menggemaskan dan sedikit kekaguman.
Dilihat dari penampilan, mereka memang serasi sebagai pasangan.
Namun, Rhea lebih cantik dibandingkan Celia.
Galih mengeluarkan ponsel, kemudian mencari nama Celia di internet. Dia memilih sebuah foto, lalu dia bandingkan dengan orang yang ada di luar.
Pada akhirnya, dia menyimpulkan, "Itu memang Celia."
Usai bicara begitu, dahinya mengernyit. "Tapi, kita nggak ada hubungan dengan gadis itu. Kenapa dia ke sini?"
"Kenapa dia ke sini? Kamu benar-benar sudah tua, makanya pelupa!"
Ratna sungguh kesal hingga dadanya sesak. "Tentu saja dia ikut Kak Cavero-nya yang baik hati untuk cari koneksi!"
Galih terkekeh. "Silakan saja kalau kamu mau bela Rhea, tapi jangan sampai kamu sakit karena marah. Menurutmu, kita harus bagaimana? Aku ikut saranmu saja."
Cavero, yang ada di luar, sudah menekan bel untuk kedua kalinya.
"Kamu telepon dia dan bilang, kita baru pergi sebelum dia datang. Suruh dia tunggu di luar."
Dia pun melambaikan tangan. "Zara, sekarang, kamu kasih tahu kalau dia terlambat dan kami baru saja pergi sepuluh menit yang lalu. Suruh dia tunggu di luar."
"Tapi, Nyonya. Apa yang harus aku lakukan jika dia memaksa masuk?" tanya Zara ragu.
"Tahan dia di depan pintu. Jangan izinkan dia masuk! Bilang saja tunggu di luar sesuai perintahku!"
Galih langsung memahami maksud perkataan itu. Membiarkan dia menunggu di luar dianggap sebagai cara untuk membela Rhea.
Namun, tindakan ini cenderung lebih dekat ke bentuk peringatan daripada hukuman serius.
Zara buru-buru berlari ke depan dan meminta maaf pada Cavero. "Maaf, Cavero. Aku sibuk, makanya baru dengar kalau belnya bunyi."
Bahkan, dia tidak membuka pintu.
Cavero mengernyit. "Pak Galih sama Bu Ratna mana?"
Baru saja dia selesai bertanya, Galih langsung meneleponnya.
"Baik, Pak. Aku tunggu di rumah. Bapak sama Ibu santai saja. Oke, sampai nanti."
Setelah menutup telepon, Celia menoleh dan tersenyum. Senyumnya tampak polos dan tanpa dosa. "Kalau begitu, kita tunggu saja, ya. Lagi pula, hari ini nggak ada acara penting."
Cavero mengelus lembut kepalanya.
Kemudian, dia menoleh ke Zara. "Kalau begitu, kami masuk dulu, Kak Zara."
Namun, Zara sama sekali tidak berniat untuk membuka pintu. Dia tersenyum sopan sambil berkata, "Nyonya bilang, kamu harus tunggu di luar. Mereka akan segera pulang."
Cavero tampak terkejut. "Di luar?"
Galih dan Ratna selalu menyayangi dirinya dan Rhea, bahkan memperlakukan mereka seperti anak kandung.
Mereka yang menghubunginya untuk datang. Kalau memang ada urusan mendadak keluar, mengapa mereka tidak boleh masuk?
"Apa kamu tahu mereka ada urusan apa? Pergi ke mana? Kalau ada masalah, aku bisa bantu," tanya Cavero.
Zara menggeleng. "Aku nggak tahu, Pak Galih dan Bu Ratna cuma bilang mereka ada urusan."
Celia, yang berdiri di samping Cavero, turut merasakan ada yang tidak beres. Namun, dia berusaha menenangkan Cavero. "Kak Cavero, jangan terlalu dipikirkan. Mungkin mereka memang ada urusan mendesak. Kita tunggu saja di sini, cuacanya juga lagi nggak panas. Anggap saja sambil menikmati pemandangan. Tempat ini cukup bagus, kok."
Hari ini, Celia mengenakan gaun putih panjang dengan pita besar menghias bagian punggung. Rambutnya ditata separuh terurai, membuatnya terlihat manis dan polos. Penampilannya bagai mahasiswi yang masih duduk di bangku kuliah.
Dia terkenal pertama kalinya melalui drama bertema kampus, saat dia berperan sebagai gadis idaman. Para penggemar menjulukinya "Kekasih Nasional."
Cavero merasa agak tersentuh. Dengan lembut, dia merapikan rambut di sekitar telinga Celia yang berantakan tertiup angin.
Ratna hampir membanting cangkir yang dia pegang saat melihat kedekatan mereka berdua. Galih buru-buru menghentikannya. "Tenang, tenang! Itu porselen Janardana, lho. Mahal!"
Ratna mendengus kesal sambil mengentakkan cangkirnya ke atas meja.
Cavero dan Celia menunggu di luar selama satu jam penuh.
Dia melihat arlojinya, terlihat mulai tidak sabar.
Dia ingin menelepon dan bertanya, tetapi Celia mencegahnya.
Rambut di sekitar dahinya mulai basah karena keringat hingga menempel di kulitnya.
"Tunggu sebentar lagi. Kita sudah menunggu selama ini, jangan sampai Pak Galih marah. Nanti, kesan dia ke kita malah jelek."
Cavero menarik napas panjang, berusaha untuk meredakan kegelisahannya.
Sekitar setengah jam kemudian, tetangga di sebelah keluar dari rumah.
Dia tersenyum dan bertanya, "Mau bertemu Pak Galih, ya?"
Cavero hanya diam, sementara Celia menjawab singkat, "Ya."
"Wah, kadang aku iri sama Pak Galih dan istri. Meski nggak punya anak dan sekarang tinggal di rumah karena sudah pensiun, murid-murid masih sering datang untuk menjenguk. Tadi pagi, ada juga gadis cantik yang datang."
Tetangga ini memang ramah. Sulit baginya untuk berhenti kalau sudah mulai bicara. "Kalian tahu, nggak? Aku belum pernah lihat gadis secantik itu sebelumnya. Pak Galih itu sutradara film, aku malah penasaran, jangan-jangan gadis itu akan menjadi pemeran utama."
Cavero mengabaikannya, tetapi Celia justru tertarik dengan ucapannya ketika berkata belum pernah lihat gadis secantik itu, bahkan memuji kecantikannya di hadapan Celia.
Dia terdiam sejenak, lalu menjelaskan singkat tentang penampilan Rhea dan bertanya, "Apa dia orangnya?"