Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 4

Rhea tertegun sejenak, lalu menggeleng. Dia tersenyum cerah. "Om, tenang saja. Aku masih bisa menyelesaikan masalah kecil seperti ini sendiri. Kalau kantorku sudah kelewatan, aku janji akan langsung panggil kamu untuk bantu aku. Biar mereka ketakutan setengah mati!" "Cepat balik kerja, aku pergi dulu." Yasa mentertawakan keceriaannya. Senyumnya makin lebar seiring punggung Rhea yang menjauh. Ya, gadis kecil di rumahnya memang bukanlah bunga rapuh yang tumbuh di rumah kaca. Begitu tiba di kantor, Sandi keheranan. Entah mengapa, suasana hati bosnya terlihat sedang bagus. Siapa sangka saat bosnya mendadak bertanya, "Sandi, aku ganteng nggak?" Sandi hampir tersandung. Meski kebingungan, dia tetap mengangguk tulus. "Ganteng banget, seperti Dewa." Yasa mengernyitkan dahi dan kembali bertanya, "Apa aku terlihat lembut?" Sandi terdiam. Lembut bukan kata yang cocok untuk Yasa. "Kadang-kadang ... ya, Anda cukup …" Yasa langsung mengusir dengan nada dingin. "Keluar!" tegurnya. Sandi terdiam. "Suasana hatinya macam cuaca, bisa berubah kapan saja," gerutunya dalam hati. … Rhea baru tiba di kantor saat mendengar orang-orang dari departemen lain tengah membicarakan dirinya dan Cavero. Rupanya, insiden kemarin sudah tersebar luas. "Apa Rhea serius putus hubungan dengan Kak Cavero?" "Benar! Semua orang di tim Cavero tahu, kok. Sekarang, semua pekerjaan di tangan Rhea langsung diberhentikan." "Rhea itu berpikir apa, sih? Cavero itu aktor muda berbakat. Dia merintis dari nol sampai menjadi aktor besar seperti sekarang. Masa depannya pasti cerah banget. Yang paling penting, dia juga selalu mendukung Rhea. Kalau aku di posisinya, aku nggak akan pernah putus hubungan dengan Cavero. Pasti aku sembah dia setiap hari." Seseorang tertawa sinis. "Tadi, aku lihat Rhea turun dari mobil mewah. Pasti dia sudah dapat cowok kaya yang baru. Cewek cantik memang enak, ya. Gampang banget dapat cowoknya." Rhea terdiam sejenak, mengejek dalam hati. Mengandalkannya? Lalu, bagaimana dengan sumber daya yang dia dapatkan lewat keluarga Latif demi Cavero? Namun, dia tidak pernah mempermasalahkan itu sejak dulu. Sekarang, usai berniat memutus hubungan, tidak berguna lagi untuk mengungkit masa lalu. Rhea berjalan tenang melewati sudut hingga memasuki jarak pandang mereka semua. Beberapa orang itu langsung bungkam. Rhea melirik gadis terakhir yang berbicara, seorang bintang yang tengah naik daun. Rhea tersenyum kecil. "Kamu memang sedikit lebih jelek dibandingkan aku." Setelah dia lewat, gadis itu langsung meledak. "Bukankah dia cuma yatim piatu tanpa ada yang bela? Cewek kelas bawah masih saja nggak tahu malu dan sok suci. Dia pasti sering tidur dengan cowok pakai tampang cantiknya!" Asistennya buru-buru menghampiri Rhea yang baru saja masuk kantor. "Kak Rhea, aku nggak bisa urus proyek film kamu. Aku akan bicara pada Kak Cavero biar kamu bisa balik secepatnya. Oke?" Rhea mengangkat sorot matanya. "Nggak usah. Aku sudah putuskan untuk keluar dari studionya Cavero." Biasanya, studio bintang didirikan oleh artis yang ingin lepas dari agensi lamanya. Namun, karena kontrak dengan perusahaan serta saham milik Cavero saat ini, seluruh urusan di studio itu tetap dikelola langsung oleh perusahaan sekalipun studio itu terlihat mandiri. "Jangan, Kak Rhea. Jangan gegabah begitu. Bukannya kamu paling suka …" Asisten itu menyadari dia telah mengatakan hal yang salah dan buru-buru mengubah ucapannya. "Memang Kak Cavero setuju kalau Kak Rhea pergi?" Rhea tersenyum mengejek. Semua orang, termasuk asistennya sendiri, merasa Cavero bisa mengendalikannya. "Dia nggak berhak ambil keputusan untukku." Saat itu, Cavero hadir di ambang pintu. Raut wajahnya lebih dingin dari kemarin. "Bukannya sudah kubilang untuk menenangkan diri dulu? Jadi, ini hasil menenangkan dirimu?" Dahi Rhea mengernyit. Tanpa sadar, matanya tertuju ke pergelangan tangan kiri Cavero. Kosong. Selama ini, dia telah mendampingi Cavero. Sebagai kekasih sekaligus rekan seperjuangan. Hubungan yang tadinya begitu erat, telah menjadi asing sejak kemarin. Sikap Cavero bagai orang yang tidak lagi dia kenal. Asisten kecil itu tidak berani bicara saat melihat ketegangan antara mereka. Cavero meliriknya dengan tatapan dingin. "Keluar." "Kak Rhea …" Dia terlihat gelisah. "Kamu keluar dulu," balas Rhea. Begitu pintu tertutup, sorot mata asing dalam tatapan Rhea langsung menusuk hati Cavero. Tatapannya perlahan turun, lalu berhenti pada bibir Rhea yang merah merona dan menggoda. Wanita itu punya wajah yang sangat menawan. Tatapan matanya yang berbinar membuatnya makin memesona. Selain memiliki kepribadian yang menarik, inilah salah satu alasan utama mengapa selama ini dia begitu menyukai Rhea. Nada suaranya agak melembut. "Rhea, jangan seperti ini. Aku sudah jelaskan. Aku cuma anggap Celia sebagai adik." "Dua hari lagi aku harus kembali ke lokasi syuting. Jadi, tolong bersikap baik, katakan sesuatu yang baik untukku, dan kita anggap masalah ini selesai. Oke?" Rhea merasa mual mendengar itu. "Cavero, daripada menghabiskan energi untukku, lebih baik kamu pergi dan pacari Celia saja." Melihat Rhea begitu keras kepala, Cavero pun naik pitam. "Rhea, aku sudah bilang, aku dan dia nggak ada apa-apa. Kalaupun ada, kamu juga harus mengerti." "Sekarang, aku ada di posisi begini dan dihadapkan pada begitu banyak godaan tiap harinya. Kalau sesekali aku melangkah terlalu jauh, nggak akan ada yang bisa menggantikan kamu di hatiku. Apa ini masih belum cukup?" Rhea mendongak kaget, bertanya-tanya bagaimana dia bisa mengucap kata-kata tidak tahu malu seperti itu dengan tenangnya. Namun, hal itu juga menyadarkannya tentang sesuatu yang jauh lebih serius. Jika Cavero bisa mengatakan hal seperti itu, mungkin hubungannya dengan Celia jauh lebih mesra daripada yang dia bayangkan. "Apa untungnya kamu cari masalah terus seperti ini? Kamu tahu betapa kejamnya dunia hiburan ini, menjatuhkan orang yang lemah dan menyanjung yang kuat. Kalau kita bertengkar, menurutmu, bagaimana orang-orang di sini akan memperlakukanmu? Bagaimana bisa kamu bertahan tanpa aku?" Ekspresi tidak percaya makin terlihat jelas di wajah Rhea. Dia menarik napasnya dalam-dalam, berusaha untuk menenangkan diri. Namun, tangannya yang agak gemetar ketika mengambil surat pengunduran diri dari tasnya sungguh mengungkap perasaan aslinya. Lidahnya terasa pahit. "Jika perusahaan nggak mengizinkan aku pindah dari tim kamu, aku akan mengundurkan diri. Mulai sekarang, kita jalan masing-masing." "Rhea, berani-beraninya kamu!" Cavero mengangkat tangannya, tetapi kembali menurunkannya. 'Kucing bandel!' omel Cavero dalam hati. Saat itu, dia sempat terpikir memberi pelajaran. Pada akhirnya, dia tidak tega. Cavero menahan amarahnya dan berniat untuk membujuknya lagi. Namun, Steve tiba-tiba meneleponnya. Cavero menjawab panggilan itu, mendengarkan beberapa kalimat, dan ekspresinya menjadi lebih suram daripada sebelumnya. Terdengar ketukan di pintu setelah teleponnya ditutup. "Kak Cavero, Pak Steve menyuruh saya memanggil Kak Rhea." Cavero mendengar itu dan hanya bisa tertawa dingin karena marah. "Rhea, aku nggak tahu kamu punya kemampuan sehebat ini. Masalah sepele begini saja sampai membuat petinggi perusahaan ikut campur." Steve juga tidak mengerti. Hanya segelintir orang di perusahaan yang tahu hubungan Rhea dan Cavero, salah satunya adalah para petinggi perusahaan. Jadi, ketika Rhea mengajukan permohonan pindah tugas, para petinggi tidak berniat terlibat sejak awal. Lagi pula, itu hanya pertengkaran kecil antara sepasang kekasih. Mereka juga tidak menggenggam alasan untuk menyinggung Cavero. Namun, tidak seorang pun menyangka bahwa Direktur Utama Hanson akan menerima telepon dari Yasa selaku CEO Grup Latif. Dalam telepon itu, Yasa meminta mereka memenuhi semua permintaan Rhea tanpa pengecualian. Direktur Utama Hanson pun tidak bisa berkata apa-apa. Siapa pun yang menelepon, harus diikuti. Setelah tahu bahwa Rhea punya hubungan dengan orang penting seperti itu, departemen lain tentu enggan terlibat. Akhirnya, mereka melempar masalah ini kepada Steve, wakil direktur paling junior. Mau tidak mau, Steve harus menurut. Hening. Keheningan itu seketika menyelimuti suasana, bagai malam yang sunyi. Asisten yang baru saja mengetuk pintu merasa ada yang aneh. Dia menelan gugup ludahnya. "Kak Rhea, Pak Steve masih menunggu Anda." Rhea pun mengangguk sopan, hendak melewati Cavero. Namun, pria itu spontan menarik pergelangan tangannya.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.