Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 3

Rhea merasa kurang enak badan, sehingga dia berbaring di sofa dan tanpa sadar tertidur. Dia terbangun dengan terkejut saat seseorang terasa menyentuh wajahnya. Rhea pun mencium samar-samar bau alkohol sebelum menyadari siapa yang duduk di depannya. Lampu di ruang tamu tidak menyala dan hanya ada cahaya redup dari pemandangan malam kota di luar. Yasa menatapnya dengan sorot yang dalam. Dia tidak memakai jas, dasinya agak longgar, dan kemeja pas badan yang dia kenakan pun samar-samar memperlihatkan tubuh berototnya. Pria itu mengangkat tangan. Jari-jarinya yang panjang kembali melonggarkan dasi dengan gerakan yang terlihat menggoda, tetapi masih menahan diri. "Om?" tanyanya, menyadari pria di hadapannya agak mabuk. "Kenapa tiba-tiba minum?" Rhea pun bangkit dan hendak membantunya kembali ke kamar, tetapi tangan hangat Yasa perlahan menyentuh wajahnya. Rhea terkejut, tidak berani bergerak sedikit pun. Saat itu juga, dia langsung menyesal karena Yasa tiba-tiba membungkuk dan mengangkat tubuhnya. Rhea terpaksa membuka kakinya dan duduk di atas pangkuan Yasa, saling berhadapan. Ini benar-benar mengerikan! Yasa menunduk. Dagunya menyentuh leher Rhea hingga napas hangatnya menyapu kulit wanita itu selembut bulu. Membuatnya mati rasa. Mereka seperti sepasang kekasih yang tengah berbagi kehangatan tubuh. Rhea merasa kepalanya hampir meledak. Dia tidak bisa menggambarkan perasaan itu, tetapi jantungnya serasa nyaris copot. Dia baru tersadar, lalu mendorong badannya ke belakang. Akan tetapi, Yasa terlihat tidak senang dengan gerakannya. Tangannya yang besar menahan pinggang Rhea, lalu menariknya lebih erat ke pelukan. Dia bisa merasakan suhu panas dari tubuh Yasa meski hanya melalui pakaiannya. "Jangan bergerak," ujar Yasa dengan suaranya yang serak, serasa tengah menahan sesuatu. Nada bicaranya begitu memikat, membuat Rhea tidak punya pilihan selain diam dalam posisi aneh itu. Sesaat kemudian, matanya membelalak ketika wajah pria itu mendekat. Napasnya seketika tercekat. Ciuman yang memaksa nan terkendali itu jatuh ke bibirnya. Ujung lidah yang hangat dan lembap itu perlahan membelai bibirnya, membuat tubuh Rhea menegang tanpa sanggup berpikir jernih. Tangan hangat pria itu berakhir menyelusup masuk dari bagian bawah pakaiannya dan bersentuhan langsung dengan kulitnya. Rhea baru menyadari yang mereka lakukan. Dia berusaha melepas diri, tetapi pria itu malah memeluknya lebih erat, bahkan nyaris ingin menenggelamkannya dalam pelukan. Di tengah panik, Rhea menoleh dan menggigit sisi leher pria itu. Pria itu mengerang kesakitan, memberi celah bagi Rhea untuk melepaskan diri dan segera bangkit. Yasa mengernyit, memegangi bagian lehernya yang digigit. Dia memijat dahinya, terlihat agak lebih sadar. "Om, aku tahu kamu pasti salah orang. Apakah kamu diam-diam pacaran?" Dia menatap gadis itu dengan mata yang masih sedikit kabur karena mabuk. "Rhea?" Jelas sekali Yasa tidak mengingat tindakan gila macam apa yang baru dia lakukan dan tidak mendengar yang baru saja diucapkan Rhea. Sementara itu, perasaan Rhea sudah campur aduk. "Om." Dia berusaha menenangkan diri. "Kamu mabuk. Cepat mandi dan pergi tidur, aku juga mau balik ke kamar." Yasa menatap Rhea yang hampir melarikan diri. Tatapan dingin di matanya terlihat seperti salju yang menumpuk di puncak gunung, membuat orang takut untuk mendekat. Dia jarang minum alkohol karena bisa membuat seseorang bingung hingga sulit mengambil keputusan paling tepat dalam waktu sesingkat mungkin. Yasa benci perasaan tidak berdaya itu. Namun, di pesta koktail hari ini, dia mendengar soal sikap Cavero di acara penghargaan tadi tanpa sengaja. Saat ini, Yasa adalah CEO perusahaan keluarga Latif. Pada usia 17 tahun, dia mengambil alih bisnis keluarga dan membawa keluarga Latif ke puncak kejayaan dalam waktu tiga tahun saja. Dia tegas dan kejam dalam menyelesaikan masalah, sehingga tidak ada yang ingin cari masalah dengannya. Namun, hari ini, kisah cinta gadis kecil itu justru membuat CEO yang terkenal dingin dan tidak berperasaan ini berulang kali kehilangan fokusnya. Rhea merasa gelisah. Usai membersihkan diri seadanya, dia berbaring di tempat tidur. Pikiran Rhea yang sebelumnya dipenuhi kemarahan karena pengkhianatan dan sikap kasar Cavero, kini hanya meninggalkan kenangan tentang ciuman memaksa nan terkendali dari Yasa. 'Gila!' 'Rhea, dia itu Om kamu!' 'Pikiranmu kotor dan sangat memalukan.' Setelah tidak tidur semalaman karena bergulat dengan pikiran, Rhea sangat lelah, seolah-olah semua energinya telah terkuras habis ketika bangun esok harinya. Dia sengaja bangun pagi-pagi sekali agar bisa pergi sebelum Yasa bangun. Sialnya, dia justru bertemu Yasa yang baru kembali dari olahraga pagi. Rhea agak mengerucutkan bibir ketika mereka bertemu tatap. 'Kalau tahu begini, mending tadi aku tidur lebih lama.' Ketahuan ingin menyelinap pergi, dia agak kesal saat berkata, "Om." Yasa agak mengernyit ketika melihat Rhea yang penampilannya sedang lesu. Dia sungguh tidak paham apa yang membuat Rhea tertarik pada pria tidak berguna sepeti Cavero. Namun, Yasa juga paham, perasaan sulit untuk dikendalikan, bagai rahasia yang tidak bisa dia ungkapkan. "Makan dulu." Nada bicaranya sedingin es. Satu kalimat perhatian sederhana saja sudah membuat ujung hidung Rhea terasa perih. Rasa sakit hati karena dikhianati hadir seperti badai yang menggulung di laut, menelannya hingga ke dasar. Dia menunduk, tidak berani membiarkan pria di depannya melihat matanya yang mulai merah. Yasa menaruh sarapan yang sudah dia siapkan di hadapan Rhea. Gadis itu bisa mencium aroma kayu yang khas di tubuh Yasa dengan jelas dari jarak sangat dekat. Pikirannya tiba-tiba menjadi kacau, lalu dia ingat kejadian semalam ketika Yasa menciumnya paksa. Semua kesedihannya terlupakan dan wajahnya seketika merona. "Om Yasa. Kamu, kamu …" 'Jauhi aku!' lanjut Rhea dalam hatinya. Yasa mengulurkan tangan untuk menyentuh pipi Rhea. "Kamu demam, ya?" Saat tangan Yasa menyentuh wajahnya, benak Rhea meledak bagai petir yang menggelegar. Dia buru-buru menepis tangan itu. Semalam, Yasa juga menyentuh wajahnya selembut ini. Namun, saat itu, tatapan pria tersebut penuh cinta dan gairah. Ekspresi Yasa langsung muram begitu melihat tangannya ditepis. Rhea tidak menyadarinya dan malah ragu-ragu saat bertanya, "Om, punya pacar nggak?" Jari-jari Yasa agak gemetar, lalu dia menariknya kembali, seolah-olah tidak ada yang terjadi dan duduk di sebelah Rhea. Dia menyeruput bubur miliknya, dengan tenang menjawab, "Kenapa? Apa Kakek menyuruhmu mendesakku untuk menikah?" Rhea buru-buru menggeleng. "Bukan begitu, tapi Kakek dan Nenek mendesakmu menikah demi kebaikanmu." Rhea sontak terdiam begitu Yasa menatapnya dengan tajam. "Makan, gih. Nanti aku antar kamu ke kantor." Sebenarnya, Rhea tidak ingin merepotkannya, tetapi dia memilih setuju usai mengingat ada urusan penting hari itu. Saat mereka hampir tiba di kantor, Yasa tiba-tiba bertanya, "Kamu masih mau kerja di sana?" Tangan Rhea yang beranjak membuka pintu mobil pun terhenti. "Om, sudah tahu semua?" Yasa tidak menjawab. Rhea berpikir sejenak, lalu berbicara, "Tenang saja, aku pasti akan menjauhi Cavero. Aku ingat pesan orang tuaku, orang yang selingkuh nggak bisa dimaafkan." Dia merasa Yasa tersenyum melalui tatapannya. "Apa yang kamu suka dari dia?" "Hmm? Mungkin karena dia ganteng." "Ganteng?" Melihat lawan bicaranya kebingungan, Rhea segera menyadari bahwa perkataannya tadi kurang tepat. "Kalau dibandingkan sama Om Yasa, jelas dia kalah jauh." Yasa terkekeh. "Kamu memang pandai bicara." Rhea tanpa sadar ikut tersenyum. "Aku cuma bicara jujur. Om Yasa lebih ganteng kalau senyum begini." "Kalau saja Om Yasa bisa lebih lembut sedikit, pasti nggak ada cewek yang bisa menolak Om Yasa." "Ya sudah, aku nggak mau buang-buang waktu Om Yasa. Aku juga harus bicara ke perusahaan untuk keluar dari tim Cavero. Kalau nggak bisa, aku mau langsung mengundurkan diri." Yasa mengangguk, lalu mengelus rambutnya dengan lembut. "Mengundurkan diri juga bagus. Kedua kakakmu kebetulan nggak mau ambil alih perusahaan. Kalau kamu punya waktu luang, aku akan mengajarkanmu mengelola perusahaan." Rhea langsung cemberut. "Mending Om cepat pergi, deh. Masa depanku belum pasti, biarkan kakak-kakakku dulu yang kelola perusahaan." Meski berkata begitu, hatinya tahu bahwa dia hanyalah anak angkat keluarga Latif. Budi baik keluarga Latif saja sudah kesulitan dia balas, bagaimana mungkin dia berani bermimpi soal mengelola perusahaan mereka? "Rhea." Rhea menoleh. "Kalau kantormu nggak bisa kasih kamu hasil yang memuaskan, aku bisa turun tangan menyelesaikannya."

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.