Bab 9
Satu kalimat yang diucapkan Nenek Safira bagai petir di siang bolong dan mengejutkan semua orang di meja makan.
Linda dan Hannah segera bertanya kepada Nenek Safira apa maksud kalimat tersebut.
Karena menyadari bahwa tidak ada gunanya lagi menyembunyikan kebenaran yang ada, Nenek Safira pun segera berkata kepada kepala pelayannya, "Ambilkan barang-barangnya!"
Di antara semua orang yang terkejut mendengar ucapan Nenek Safira, hanya Siena yang tampak tenang dan sibuk memakan makanan di depannya. Dia sama sekali tidak peduli dengan pernikahan Zane.
Tak lama kemudian, kepala pelayan pun datang membawa dua buku nikah.
"Pak Zane, ini buku nikah Anda yang baru saja diantar ke rumah," ujar kepala pelayan.
Tanpa melirik buku nikah itu sedikit pun, Zane berkata kepada Neneknya dengan penuh amarah, "Nenek, kalau Nenek nggak mau aku menikahi putri keluarga Trenz, paling nggak Nenek nggak usah menggunakan lelucon seperti ini padaku."
Namun, Nenek Safira terlihat serius dan berkata dengan tegas, "Aku nggak bercanda. Periksa saja buku nikah itu kalau kamu nggak percaya."
"Untuk apa aku memeriksanya? Aku bahkan belum pergi ke Kantor Catatan Sipil untuk mendaftarkan pernikahanku. Siapa juga yang ... "
Tunggu!
Kantor Catatan Sipil?
Dia melirik Siena dengan dingin dan segera mengambil buku nikah dari kepala pelayan.
Setelah membukanya, dia menyadari bahwa di dalam buku nikah itu tertera nama dan fotonya, serta foto Siena di atasnya!
"Siena!" seru Zane dengan penuh amarah.
Siena tampak sangat terkejut saat mendengar seruan tersebut sehingga tangannya gemetar dan sendoknya pun jatuh ke meja.
"Ada ... ada apa?" tanyanya dengan gagap sambil menatap Zane yang sudah naik pitam.
Seketika itu juga, Zane langsung menariknya dengan kasar.
"Sejak awal kamu sudah tahu soal buku nikah ini, 'kan?" serunya dengan marah.
Zane melempar buku nikah itu ke wajah Siena dan menendang meja di dekatnya dengan penuh amarah.
Siena mengambil buku nikah itu dengan bingung. Namun, begitu melihat isinya, dia langsung tercengang.
"Kenapa ... kenapa jadi begini? Bukannya aku menikah dengan Om Ashton? Kenapa aku ... "
"Nggak usah pura-pura!" teriak Zane dengan tatapan yang ganas seolah dia ingin melahap Siena hidup-hidup.
Siena menelan ludahnya dan berusaha untuk menenangkan pria itu. "Tenanglah, jangan marah padaku. Kita bisa langsung cerai saja."
"Cukup!" Zane meraih kerah baju Siena dan menatapnya dengan pandangan mengejek. "Sejak awal kamu sudah merencanakan pernikahan ini, apa kamu rela mengakhiri semuanya begitu saja?"
"Tentu saja! Dengan senang hati aku mau bercerai darimu!" ujar Siena dengan nada serius.
Sejak awal, dia tidak ingin menikah dengan anggota keluarga Lucian! Dia lebih tidak sudi lagi jika harus menikah dengan Zane!
Jika mereka berdua mengakhiri pernikahan konyol ini, mereka akan sama-sama untung.
Zane menyipitkan matanya perlahan.
Ketika melihat ekspresi tegas dan serius Siena, dia tiba-tiba melemparkan wanita itu ke lantai.
"Jangan coba-coba main-main denganku! Ayo pergi ke Kantor Catatan Sipil sekarang juga!"
Siena segera bangkit dari lantai, lalu berkata dengan tegas, "Oke! Ayo pergi ke sana sekarang juga!"
Ketika melihat wanita itu tampak lebih bersemangat dari dirinya, Zane mengernyitkan keningnya dalam-dalam.
Ada apa dengan wanita ini?
Apakah dia berpura-pura jual mahal atau dia sedang merencanakan sesuatu yang lain?
Tepat saat itu, ponsel di saku Zane tiba-tiba berdering.
Dia pun langsung mengangkat panggilan telepon tersebut.
"Pak Zane, ini saya, Tina."
Begitu mendengar suara Tina, kerutan di dahi Zane mulai mengendur. "Ada apa?"
"Apa Anda bisa datang ke rumah saya? Orang tua saya ingin berbicara dengan Anda tentang pernikahan kita."
"Oke, aku akan segera ke sana."
Siena menundukkan kepalanya dalam diam dan berpikir bahwa Zane dan Tina sepertinya memang saling mencintai.
Kalau begitu, dia harus segera mengakhiri pernikahan ini dan membiarkan mereka berdua bebas.
Ketika melihat Zane berjalan keluar, dia pun segera mengejarnya.
"Kita harus urus perceraian kita dulu!" ujar Siena.
"Kenapa kamu terburu-buru sekali? Hentikan sandiwaramu itu!" jawab Zane dengan nada mencemooh.
Siena terdiam beberapa saat, kemudian dia membalas dengan marah, "Kita harus bercerai sekarang juga! Kalau kamu nggak mau mengurusnya, itu artinya kamu pengecut!"
Zane tertawa dingin saat mendengar ucapan Siena. Baru kali ini ada orang yang berani mengucapkan kata-kata seperti itu di hadapannya.
Dengan senyum menyeringai, dia pun berkata, "Oke, tunggu aku beberapa jam lagi. Sekarang, aku harus pergi dulu. Kalau urusanku sudah selesai, aku akan membawamu ke Kantor Catatan Sipil untuk menceraikanmu!"
"Nggak perlu repot-repot. Aku bisa pergi ke sana sendiri! Aku akan menunggumu di sana! Datanglah secepat mungkin dan jangan sampai kantornya tutup!" ujar Siena dengan tegas.
Siena menambahkan kata-kata itu sambil menatap punggung Zane yang makin menjauh. Namun, pria itu hanya membalasnya dengan senyuman mengejek.
Dia pun kembali ke kamarnya dan melihat akta nikah itu dengan perasaan bingung.
Bagaimana bisa dia memiliki akta nikah dengan Zane? Apakah ini kesalahan dari petugas Kantor Catatan Sipil?
Tidak mungkin! Saat itu, mereka sudah menjelaskan sejelas mungkin bahwa Zane hanyalah wali dari mempelai laki-laki.
"Siena."
Saat itu, Nenek Safira tiba-tiba masuk.
Siena pun segera membantu Nenek Safira duduk di sofa.
Meskipun Siena tidak memiliki perasaan khusus pada Zane, dia sangat menghormati kebaikan Nenek Safira.
"Siena, barusan aku dengar kalau kamu mau bercerai dengan Zane."
Siena diam saja dan hanya menunjukkan akta nikah di tangannya sambil berkata, "Nenek, Nenek sudah tahu tentang akta nikah ini sejak awal, 'kan?"
Akta nikah tersebut dikeluarkan oleh Nenek Safira dan Nenek Safira terlihat tidak terkejut sama sekali. Jadi, jelas sekali bahwa beliau sudah tahu tentang pernikahannya dengan Zane.
Nenek Safira mengangguk, lalu berkata, "Memang benar aku yang menyuruh petugas Kantor Catatan Sipil untuk membuat akta nikah ini."
Siena menatapnya dengan bingung, lalu bertanya, "Tapi, kenapa? Bukannya Nenek memintaku untuk merawat Omnya Zane?"
Nenek Safira menepuk pundak Siena, lalu menghela napas seraya berkata, "Kami nggak tahu kapan dia akan sadar kembali. Kamu anak yang baik, jadi bagaimana mungkin aku tega membiarkanmu menjadi janda?"
"Meskipun Zane terlihat galak, sebenarnya dia baik hati. Dia bahkan nggak tega membunuh seekor ayam. Nenek yakin kalian berdua akan saling mencintai setelah bersama dalam waktu yang lama."
Siena tidak yakin apakah mereka akan saling mencintai.
Dia pun teringat akan sebuah berita tentang Zane.
Konon, seorang wanita kaya pernah jatuh ke pelukan Zane dalam keadaan mabuk. Keesokan harinya, wanita itu menghilang dari Janaira dan bisnis keluarganya pun hancur dalam waktu semalam.
Sejak saat itu, tidak ada seorang pun yang berani memprovokasi Zane.
Wanita yang menyukainya hanya berani membayangkan untuk hidup bersamanya, tetapi tidak ada yang benar-benar berani mendekatinya.
Itulah sebabnya Siena sangat panik saat menyadari bahwa pria yang tidur bersamanya adalah Zane.
Hanya bersandar di pelukan Zane sekali karena mabuk saja, karier seorang wanita bisa langsung hancur, bisnis keluarganya bangkrut, kehilangan tempat tinggal, dan bahkan lenyap begitu saja dari kota ini.
Jika Zane tahu bahwa dia tidur dengannya, pria itu mungkin akan mengulitinya hidup-hidup!
Media sering bergosip tentang orientasi seksual Zane, tetapi ada juga yang mengatakan bahwa pria itu sedang menunggu cinta sejatinya.
Kini, karena dia akan segera melamar Tina, sepertinya kabar terakhir itu lebih benar.
Setelah sadar dari lamunannya, Siena segera berkata kepada Nenek Safira, "Nenek, Zane sudah punya pacar, jadi pernikahan ini harus dibatalkan."
"Siena, apa kamu khawatir Zane akan memaksamu untuk bercerai dengannya? Tenang saja, selama Nenek ada di sini, pernikahan ini nggak akan bisa dibatalkan," ujar Nenek Safira dengan penuh perhatian.
Siena tersenyum kecut saat menyadari bahwa Nenek Safira sudah salah paham padanya. Jadi, dia pun buru-buru berkata, "Nenek, bukan itu maksudku. Karena Zane sudah punya pacar dan aku juga nggak mau menikah dengannya, lebih baik kami berdua mengakhiri pernikahan ini."
Ketika melihat ekspresi Siena yang tegas, Nenek Safira hanya bisa menghela napas panjang dan mengeluarkan sebuah surat perjanjian dari saku bajunya.
"Baca dulu surat ini sebelum kamu membuat keputusan."
Setelah mengucapkan kata-kata itu, Nenek Safira langsung pergi.
Siena membuka surat perjanjian itu dengan bingung, tetapi ekspresinya berubah di detik berikutnya.
Kediaman keluarga Trenz.
"Nanti pernikahannya kita selenggarakan di penginapan terbesar di Janaira saja."
"Hmm, semua keputusan mengenai pernikahan ini akan diserahkan kepada kedua orang tua kita."
"Mengenai besarnya acara pernikahan dan pemberian hadiah ... "
"Pak Raymond, tenang saja. keluarga Lucian pasti akan menyelenggarakan pernikahan terbesar untuk putri Anda dan tidak akan ada yang bisa menandinginya."
Alan membantu menjawab semua pertanyaan yang diajukan oleh keluarga Trenz.
Sementara Zane terus memperhatikan jam tangannya, seolah-olah dirinya sedang tergesa-gesa.
Keluarga Trenz merasa kurang senang melihat sikap Zane, tetapi mereka tidak berani mengungkapkan ketidakpuasan tersebut secara terang-terangan.
Dengan raut wajah sedih, Tina merangkul lengan Zane dan berkata, "Kita masih punya waktu beberapa hari sebelum hari pernikahan. Ayo kita buat foto pranikah!"
"Hmm." Zane menjawab singkat, lalu menepis tangan Tina. Kemudian, dia berkata kepada Alan, "Besok antar Nona Tina ke toko perlengkapan pengantin. Pesan saja apa pun yang dia suka. Kalau dia mau pakaian yang dibuat khusus pun juga nggak masalah."
"Aku masih punya urusan lain yang harus kuselesaikan, jadi aku harus pergi dulu. Kalau kalian ada permintaan lain, langsung beri tahu asistenku saja."
Pernyataan terakhir Zane jelas ditujukan kepada para orang tua Tina.
Orang tua Tina tampak sangat kesal dan ingin mengatakan sesuatu, tetapi mereka urung untuk berbicara.
Namun, ketidakpuasan di wajah orang tua Tina terlihat sangat jelas dan Alan pun segera menjelaskan, "Pak Zane sangat sibuk dan masih ada banyak urusan. Saya harap Bapak dan Ibu bisa memakluminya."
"Ada apa yang lebih penting dari urusan pernikahan? Sepertinya dia sama sekali nggak menghargai putriku," ujar Sarsa dengan kesal.
Alan pun hanya bisa diam.
Namun, Pak Raymond yang khawatir akan menyinggung keluarga Lucian segera menyenggol Sarsa agar berhenti berbicara sembarangan.
Tina pun menggigit bibirnya dengan raut wajah yang penuh kesedihan.
Di sisi lain, Siena mondar-mandir dengan gelisah di kamarnya.
Waktu penutupan Kantor Catatan Sipil tinggal setengah jam lagi. Dia berharap Zane sibuk mengurus urusannya sendiri dan melupakan rencana perceraian mereka.
Namun, harapannya pupus ketika kepala pelayan datang membawa ponsel untuknya dan berkata, "Nona Siena, Pak Zane ingin bicara dengan Anda."