Bab 9
Malam telah menyelimuti Kota Luminara. Di sebuah gang tua yang sepi, seorang pria berlari terhuyung-huyung sambil menekan luka di perutnya. Darah terus merembes dari celah jari-jarinya, meninggalkan jejak merah pekat yang mencolok di sepanjang jalan yang dilewatinya.
"Tolong! Bukan pintunya … tolong bantu aku!"
Pria itu berteriak putus asa sambil mengetuk keras pintu-pintu rolling yang terkunci rapat di kedua sisi jalan.
Namun, sebagian besar toko di area itu sudah lama tutup dan dibiarkan terbengkalai. Tak ada siapa pun yang mendengar atau merespons panggilannya.
Tiba-tiba, dia merasakan emebusan napas panas di tengkuknya, disertai aroma busuk yang menusuk hidung.
Dengan tubuh bergetar, pria itu perlahan menoleh ke belakang. Dari celah dinding yang retak, muncul kepala monster yang tampak mengerikan, lengkap dengan deretan gigi tajam dan berkilauan.
Monster itu menyeringai, menampakkan taringnya yang tajam.
Pria itu terkejut hingga jatuh terduduk, tetapi moster tersebut tak memberi kesempatan baginya untuk melarikan diri. Tubuhnya yang besar melompat keluar dari celah dinding.
Ia menerkam leher pria itu.
Namun, tepat ketika deretan taring itu hampir menancap kulitnya, sebuah peluru melesat cepat, menembus leher monster tersebut.
Dampaknya begitu kuat hingga tubuh monster itu terpental di udara, terhempas jauh ke belakang.
Darah berwarna hitam pekat menyembur dari luka monster itu, beberapa mengenai wajah pria yang sudah ketakutan.
Dia hampir kehilangan kesadaran.
Pria misterius dengan topi koboi berjalan mendekat dengan langkah tenang. Wajahnya tertutup bayang-bayang topi, sementara pistol di tangannya masih mengepulkan asap dari moncong.
Monster itu meronta-ronta, tubuhnya mulai membesar dan berubah bentuk. Dengan raungan keras, ia kembali menyerang pria bertopi koboi.
Pria itu mendengus dingin, "Berisik."
Dengan tenang, dia mengangkat pistol dan menembak. Sebuah peluru menghancurkan salah satu kaki monster tersebut.
Dengan tangan yang cekatan, dia mengokang pistolnya tiga kali berturut-turut. Dalam sekejap, keempat anggota tubuh monster itu tertembus peluru, membuatnya terkapar di tanah. Darah merah pekat memancar deras dari luka-lukanya.
Pria bertopi koboi mendekati monster yang nyaris tak bergerak, lantas berbicara dengan nada datar, "Semoga jiwamu tenang dan terbebas dari penderitaan. Tembakan ini adalah belas kasihku."
Setelah berkata demikian, dia melepaskan satu tembakan lagi, menghancurkan kepala monster itu berkeping-keping.
Dia menyarungkan pistolnya dan mengeluarkan sesuatu dari leher monster yang putus, sebuah kristal hitam yang berkilau.
Pria itu memandang kristal tersebut dengan ekspresi serius, lalu menghela napas kecil. Dia lantas menyimpan kristal itu ke dalam sakunya sebelum mengeluarkan ponsel dan berjalan mendekati pria yang terluka parah.
"Halo, kalian kasih informasi yang salah, ya?"
Pria itu berkata santai sambil menyelipkan ponsel di antara bahu dan lehernya. Dengan satu gerakan cepat, dia merobek pakaian pria yang terluka untuk memeriksa lukanya.
"Kenapa? Kamu nggak ketemu monsternya?"
"Monsternya memang ada. Tapi, cuma Kelas Pengintai. Bukannya dibilang bakal ada Kelas Pionir?"
Dia perlahan berjongkok di depan pria yang terluka tersebut, lalu tanpa basa-basi menarik pakaiannya. Hal itu membuat korban ketakutan hingga merangkak mundur.
Ketika melihat luka panjang di perut pria itu,
Pria bertopi koboi mengeluarkan selembar jimat kuning dari saku celananya.
"Coba cari lagi di sekitar situ. Ini misi dari Serikat Penakluk Gabungan, seharusnya nggak salah."
"Hehe, baiklah. Oh ya, korban luka di sini biar aku yang urus. Terus, Inti Kristal Kelas Pengintai ini aku ambil ya, mau kujual."
"Carlos, itu melanggar aturan."
Suara di earphone terdengar menghela napas panjang, tetapi dia tahu perkataannya tak akan menghentikan pria itu. Lagi pula, dia paham betul bahwa Carlos benar-benar butuh uang.
"Lain kali, jangan bicarakan soal ini di komunikasi resmi."
"Kebanyakan aturan! Sudahlah, aku urus korban dulu."
Setelah menututp telepon, pria bertopi koboi langsung menempelkan jimat kuning itu ke dahi korban. Dalam sekejap, korban merasa pusing hebat, diikuti rasa kantuk yang luar biasa.
Pria bertopi koboi itu mulau melafalkan mantra dengan nada misterius, "Segala yang kamu lihat cuma ilusi. Saat pagi tiba, kamu akan melupakan segalanya."
Tak butuh waktu lama, korban akhirnya tak tahan lagi dan jatuh pingsan.
Pria itu kemudian memanggul korban di pundaknya, membawanya ke pinggir jalan dan menempatkannya di tempat yang aman. Setelah itu, dia kembali ke arah mayat monster.
Sambil menatap darah yang berceceran di tanah, dia menyalakan sebatang rokok dan terdiam sejenak, tenggelam dalam pikirannya.
…
…
Di sisi lain, suasana di rumah Hugo justru sangat hangat dan penuh keakraban.
Ibu Hugo telah menyiapkan berbagai hidangan lezat yang yang diimpikan Hugo. Kali ini, Winona tak perlu lagi menunggu hingga tengah malam untuk makan.
Bisa dibilang ini situasi yang menguntungkan kedua belah pihak.
Untungnya, kedua orang tua Hugo tidak terus-menerus mengajukan pertanyaan yang menyudutkan.
Winona berhasil menyelamatkan keadaan. Dengan bakat aktingnya yang luar biasa dan otaknya yang cerdas, dia menjawab setiap pertanyaan dengan lancar.
Dari bagaimana mereka bertemu hingga akhirnya menjalin hubungan, semua dijelaskan dengan begitu meyakinkan.
"Kamu jangan-jangan memang mata-mata? Kok aktingmu bagus banget?"
Hugo berbisik curiga ke Winona di sela-sela makan malam.
Winona memutar matanya malas dan menjawab dengan suara pelan, "Itu keterampilan dasar buat bertahan hidup."
Melihat kedua anak muda itu berbisik-bisik, Driana pun ikut senang.
"Kok malah bisik-bisik? Coba bilang, biar kami juga dengar."
Mendengar itu, keduanya buru-buru saling menjauh, dan kembali fokus makan.
Suasana di meja makan makin meriah. Driana mulai menceritakan berbagai kenangan masa kecil Hugo, membuat Winona tertawa terpingkal-pingkal.
Winona juga berbagi cerita tentang bagaimana Hugo yang sangat pendiam di kampus. Bahkan pernah saat ditunjuk untuk menjawab pertanyaan, dia hanya diam hingga membuat seluruh kelas cemas.
Selama makan, Driana tak henti-hentinya mengambilkan makanan untuk Winona.
Namun, di tengah kehangatan itu, Hugo menyadari sesuatu. Ketika Winona menikmati hidangan lezat dan mendapat perhatian penuh kasih dari Driana, matanya tampak berkaca-kaca, seolah berusaha menahan air mata.
Hugo tak tahu apa ini emosi tulus, atau hanya bagian lain dari akting sempurna iblis kecil ini.
Namun, apa pun alasannya, hati Hugo terasa melunak sejenak.
Suasana makan malam makin terasa akrab. Driana kemudian bertanya dengan nada penasaran, "Winona, orang tuamu kerja di bidang apa, ya?"
Tentu saja, pertanyaan itu tak bisa dihindari.
Hugo diam-diam mengeluh dalam hati. Namun, dia tahu ibunya pasti menanyakan ini karena merasa cukup senang dengan Winona. Jadi, dia tak bisa berkata apa-apa.
Tanpa diduga, Winona terlihat sedikit ragu sebelum menjawab.
Sendok di tangannya terhenti di udara, binar mantanya tampak muram. Dengan suara pelan, dia berkata, "Ibuku meninggal waktu aku masih kecil. Ayahku kerja sebagai buruh di proyek pembangunan untuk menghidupiku."
Gadis ini benar-benar pandai mengarang cerita. Sampai-sampai menciptakan kisah yang begitu memilukan.
Hugo mengumpat dalam hati, tetapi ekspresi ibunya langsung berubah menjadi kasihan dan bersalah.
Sebagai wanita yang sentimental, Driana dengan cepat meletakkan sumpitnya dan berkata penuh penyesalan kepada Winona.
"Winona, maaf ya. Bibi nggak seharusnya menanyakan ini."
"Nggak apa-apa, Bibi. Selama kalian nggak memandang rendah kondisi keluargaku, aku sudah bersyukur."
Winona tersenyum hangat.
"Kami juga bukan keluarga kaya, Nak. Jadi, kamu nggak perlu pikirkan itu."
Meski raut wajah Harsa masih tampak serius, nada suaranya menjadi lebih lembut.
Makan malam itu berlangsung dengan sangat hangat. Bahkan Harsa, yang biasanya kaku dan jarang bicara, tampak lebih rileks dan sesekali ikut bercengkerama.
Hugo merasa agak bingung ketika melihat orang tuanya asyik mengobrol dengan Winona.
Sejenak, dia merasa seperti orang luar, tetapi hatinya dipenuhi perasaan hangat dan puas.
Setelah makan malam selesai, Hugo membantu ayahnya mencuci piring di dapur. Sementara itu, Winona menemani Driana di ruang tamu untuk menonton TV.
Tawa riang terus terdengar dari ruang tamu, membuat Hugo yang sedang mencuci piring merasa terkejut dan tak habis pikir.
Winona benar-benar hebat. Dalam waktu singkat, gadis itu berhasil merebut hati ibunya.
Saat mereka kembali ke ruang tamu, dia melihat Winona dan Driana sudah bercengkerama dengan hangat. Mereka duduk berdekatan, tertawa-tawa seperti sepasang ibu dan anak yang sudah lama tidak bertemu.
Sekitar pukul sembilan malam, Driana dan Harsa tidak menunjukkan tanda-tanda ingin menginap.
Sebelum pergi, Driana berkata pada Hugo bahwa besok dia akan mengunjungi kerabat dan baru akan kembali dalam dua hari untuk memasak makanan untuknya lagi.
Hugo sebenarnya ingin menahan mereka lebih lama, tetapi pasangan itu sepertinya sudah mantap dengan keputusan mereka.
Tak punya pilihan lain, Hugo pun mengantar kedua orang tuanya bersama Winona hingga ke mobil.
Sebelum masuk ke dalam mobil, Driana menggenggam tangan Winona dengan penuh perhatian, memintanya untuk makan yang banyak dan menjaga kesehatan.
Di hadapkan dengan perhatian Driana yang bergitu tulus, Winona tampak sangat tersentuh.
Dia hanya mengangguk pelan sambil tersenyum, lalu memeluk Driana seperti putri yang berat melepaskan ibunya.
Namun, sesaat setelah mereka masuk rumah lagi, Winona langsung menunjukkan sisi lain dirinya.
Dia menjatuhkan tubuhnya ke sofa dengan santai, mengangkat kedua kakinya, lalu mengambil sekantong keripik kentang dan mulaih melahapnya. Sementara itu, tangannya yang lain sibuk mengganti saluran TV dengan remot.
Hugo yang melihat pemandangan itu hanya bisa menghela napas. Matanya tanpa sengaja tertuju ke arah rok pendek Winona, yang nyaris memperlihatkan sesuatu. Dia buru-buru mengalihkan pandangan dan berkata dengan nada penuh keluhan, "Kamu itu bisa nggak, sih, sedikit lebih anggun? Tadi di depan orang tuaku, kelihatannya kayak gadis sopan dari keluarga terpandang. Eh, sekarang malah begini, aslinya langsung kelihatan."