Bab 8
Tiba-tiba, bel pintu berbunyi.
Hugo langsung menarik Winona dari sofa dan berkata, "Cepat sembunyi di kamar, orang tuaku datang."
"Kenapa harus sembunyi? Aku kan harus 24 jam ..."
Winona masih kebingungan, tetapi belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Hugo sudah mendorongnya masuk ke kamar dan menutup pintu.
"Orang tuaku itu polos. Kalau tahu aku secepat ini berhubungan dengan cewek lain, pasti mereka khawatir."
Hugo berkata dari balik pintu,
"Tapi kita kan nggak pacaran. Aku ini cuma harus sama kamu 24 jam ..."
Winona mencoba membela diri, tetapi Hugo tidak menghiraukannya. Dia menarik napas dalam, menenangkan diri, lalu melangkah ke pintu dan membukanya.
Di depan pintu berdiri sepasang suami-istri paruh baya.
Wanita itu bertubuh kecil, tetapi penampilannya sangat rapi dan sopan, mencerminkan latar belakang pendidikannya.
Pria di sampingnya kurus dengan kulit gelap, wajahnya memancarkan kejujuran dan rendah hati.
"Hugo, cepat bawa ini ke dapur. Yang ini oleh-oleh dari rumah, taruh di kulkas. Dan yang ini ..."
Begitu masuk, Driana langsung menyodorkan kantong-kantong besar ke tangan Hugo.
"Astaga, Bu. Kulkasnya sudah nggak muat lagi."
Hugo mengeluh.
Driana melirik Hugo tajam, lalu membawa sendiri dua kantong yang tersisa ke kulkas.
"Kalau tinggal sendiri, harus belajar beres-beres. Lihat kulkas kamu ini, berantakan sekali. Ini daging dari kapan? Sudah berjamur! Mau Ibu buang, ya."
Sementara itu, Harsa berdiri di dekat pintu, memegang beberapa kantong belanjaan dengan wajah serius seperti biasa. Ia mengamati sekeliling apartemen Hugo dengan cermat, seolah sedang mencari sesuatu.
Hugo, yang melihat ayahnya seperti sedang mencari sesuatu pun mulai bertanya penasaran.
"Ayah, apakah Ayah mata-mata?"
"Ayah tadi dengar Ibu bilang, di telepon ada suara perempuan. Teman kamu ada di sini?"
"Nggak ada," jawab Hugo cepat-cepat. "Itu suara dari TV."
"TV? Orang di TV manggil nama kamu?"
Harsa menatap Hugo dengan curiga.
Saat ini, suara Driana terdengar dari dapur.
"Harsa, kok masih berdiri aja? Sini bantu aku potong sayur. Hugo, tadi Ibu dengar suara sesuatu jatuh di kamar kamu. Biar Ibu bereskan dulu, ya."
"Ah, oke." Baru saja Hugo menjawab, bulu kuduknya langsung berdiri.
Dengan cepat, dia berlari ke kamar, melangkah lebih dulu sebelum ibunya.
"Eh, Bu, aku ini sudah dewasa. Kamarku itu privasi, nggak boleh sembarang masuk, dong."
Driana memelototi Hugo.
"Privasi apa yang Ibu nggak tahu? Apa kamarnya berantakan banget?"
"Aku sendiri saja yang bereskan. Sekarang juga, oke? Ibu sama ayah mending masak dulu. Aku lapar banget!"
Hugo hampir memelas seperti anak kecil.
Driana masih menatap pintu kamar dengan curiga, tapi akhirnya menunjuk Hugo. "Bereskan yang bersih. Nanti Ibu cek."
Setelah itu, dia berbalik menuju dapur.
Hugo segera membuka pintu kamar. Di dalam, dia melihat Winona sedang tengkurap di lantai, setengah tubuhnya masuk ke bawah tempat tidur seperti sedang mencari sesuatu.
"Kamu ngapain?"
Hugo bertanya dengan suara pelan.
Suara Winona terdengar dari bawah tempat tidur. "Aku cari makanan. Di kamar ini bahkan nggak ada biskuit. Aku lapar banget."
Hugo hampir tertawa kesal. "Kamu ini cuma mikir makan, ya? Tahan dulu, nanti setelah orang tuaku pergi, aku buatkan makanan enak. Sekarang jangan ribut, jangan bergerak. Kalau mereka tahu, kita bakal repot."
"Huh …"
Winona perlahan merangkak keluar dari bawah tempat tidur. Di tangannya, ada beberapa majalah yang dia temukan.
"Hugo, lihat deh, aku nemu harta karunmu."
Winona mengangkat beberapa majalah di tangannya dengan ekspresi penuh kemenangan, seperti sedang memamerkan sebuah piala.
Saat Hugo melihat sampul majalan-majalah dengan gambar 18+ yang sangat mencolok, wajahnya langsung memerah.
Hugo buru-buru mencoba merebut majalah-majalah itu, tetapi Winona dengan gesit mengelak.
Winona berubah seperti saat dia di kampus, tangannya sibuk membolak-balik halaman majalah dewasa itu, sementara matanya memandang Hugo dengan tatapan penuh ejekan.
"Wah, nggak nyangka ternyata Hugo punya hobi begini. Hmm, kamu suka banget ya sama stoking, ya?"
Winona mengangkat alis sambil tersenyum jahil.
Dia melangkah mendekati Hugo perlahan, tangannya yang lentik membuka salah satu halaman majalah dan dengan sengaja memperlihatkan gambar-gambar vulgar di depan wajah Hugo.
"Kembalikan bukunya! Itu bukan buat kamu lihat!" Hugo berbisik geram, wajahnya merah padam karena malu.
"Menurutmu, siapa yang lebih cantik, aku atau cewek-cewek di majalah ini? Kalau kamu punya pacar secantik aku, kamu masih butuh majalah ini nggak?"
Winona tersenyum lebar, nada suaranya penuh godaan.
Hugo seperti mau meledak. Dengan gerakan cepat, dia melompat ke arah Winona untuk merebut majalah itu. Namun, karena terlalu terburu-buru, kakinya terpeleset, dan dia malah melemparkan gadis itu hingga jatuh ke ranjang.
Tubuhnya menempel pada tubuh Winona hingga membuat Winona tak mampu berdiri.
Dia memang suka menggoda lewat kata-kata, tetapi semua itu hanya untuk menyamarkan diri demi menyelesaikan tugasnya dengan lebih baik.
Namun, saat ini, gadis itu terpaku menatap Hugo yang berada di atas tubuhnya, sejenak dia bahkan lupa untuk melawan.
jantungnya berdebar keras, dan napasnya mulai tidak teratur.
Mata Hugo, yang gelap dan dalam, begitu dekat dengannya. Napasnya yang hangat menyentuh leher Winona, membuat tubuh gadis itu bergetar tanpa sadar.
Hugo sendiri juga terbelalak.
‘Sial.'
Ini 'kan adegan khas drama TV!'
Hugo hanya bisa mengerang dalam hati.
Sayangnya, dia tidak menyadari sesuatu yang lebih buruk telah terjadi. Pintu kamarnya perlahan terbuka.
Harsa berdiri di ambang pintu, menyaksikan pemandangan yang sangat tidak terduga ini.
Putranya, Hugo, sedang menindih seorang gadis cantik di atas ranjang.
…
Harsa terdiam, berdiri kaku di depan pintu sambil menatap putranya yang tengah menindih seorang gadis.
Setelah itu …
Ekspresinya berubah makin muram.
"Hugo …"
"!!!"
Hugo terkejut setengah mati, tubuhnya langsung melompat turun dari atas Winona.
Dengan panik, dia mencoba menjelaskan. "Nggak! Tunggu, tunggu! Ayah, ini bukan seperti yang Ayah pikirkan! Aku bisa jelaskan ... eh, maksudku, ini cuma salah paham!"
Winona, yang masih berbaring di tempat tidur, juga terlihat bingung. Wajahnya memerah, matanya hanya terpaku pada Hugo tanpa berkata apa-apa.
Melihat ini, ekspresi Harsa semakin gelap.
"Hugo, bukannya sudah diberi uang bulanan yang banyak? Kenapa kamu masih nggak tahu beli buah untuk di rumah? Harsa, kamu ngapain berdiri di depan pintu kamar anak kita?"
Saat itu, Driana mendengar suara ribut-ribut, lalu berjalan mendekat untuk melihat. Begitu melihat sekilas, mangkuk yang dipegangnya langsung jatuh ke lantai.
"Bu, aku dan dia bukan seperti yang Ibu kira!"
Hugo makin panik. Dia menarik tangan Winona agar berdiri. "Cepat bantu aku jelasin!"
Winona menunduk dengan wajah merah, suaranya lembut dan malu-malu.
"Dia ... dia yang duluan memulai."
Hugo terdiam.
Dia melihat ekspresi ayah dan ibunya.
Lalu, dia menatap Winona.
Kemudian, mendongak ke langit-langit, dan menepuk dahinya.
Tamat sudah.
…
…
Sepuluh menit kemudian.
Hugo dan Winona duduk di sofa ruang tamu.
Sementara Harsa dan Driana duduk di sisi kanan dan kiri mereka, bak dua penjaga yang mengawasi dengan cermat.
"Hugo, katakan sejujurnya! Ada apa sebenarnya ini? Siapa gadis ini? Apa hubungan kalian? Dan kenapa kamu tindih dia di ranjang tadi?"
Hugo rasanya ingin menangis. Dengan suara tersendat, dia mencoba menjelaskan, "Ayah, Ibu, ini Winona. Dia teman sekelasku. Kami benaran nggak sengaja jatuh tadi. Jadi, jangan salah paham …"
Namun, Winona sudah sepenuhnya pulih dari keterkejutannya. Kali ini, sifat aslinya sebagai ratu drama mulai mengambil alih.
"Paman, Bibi, halo, namaku Winona. Aku pacarnya Hugo."
Ucapannya bagaikan bom yang diledakkan di ruang tamu rumah Hugo.
Hugo berusaha menjelaskan, tetapi Winona tak memberinya kesempatan untuk berkilah.
Dengan santai, dia merangkul lengan Hugo, lalu bersandar manja di bahunya, memamerkan ekspresi penuhi kebahagiaan.
"Paman, Bibi, setelah Hugo putus, aku memberanikan diri buat nyatakan cinta ke dia. Dia menerimanya. Barusan di kamar, kami cuma terbawa suasana. Maafkan aku, ini salahku."
Kedua orang tua Hugo terdiam, merak saling berpandangan sejenak.
Keringat dingin mulai membasahi punggung Hugo. Kali ini, dia benar-benar tamat. Orang tuanya pasti akan menganggapnya sudah jatuh dalam pergaulan bebas.
Baru putus, langsung punya pacar baru.
Ini benar-benar terlalu cepat.
Namun, di luar dugaannya, setelah mendengar pengakuan Winona, Harsa yang tadinya terkejut hanya mendengus pelan, lantas berujar dengan suara dalam.
"Hugo, apa maksud semua ini?"
Hugo merasa hampir pingsan. Dia menutup wajah dengan kedua tangan, rasanya ingin sekali lenyap dan menghilang ke dalam tanah.
Salah satu alasan dia tidak ingin orang tuanya salah paham adalah karena dia dan Winona mungkin hanya memiliki waktu seminggu untuk bersama.
Setelah seminggu, hanya ada dua kemungkinan yang terjadi.
Entah Winona akan membunuhnya sebagai orang yang terinfeksi, atau Winona akan menyelesaikan misinya dan kembali ke organisasi.
Meninggalkannya tanpa hubungan apa pun.
Apakah dia akan bergabung dengan organisasi itu atau tidak, masih menjadi tanda tanya besar. Bagaimanapun, dia melihat tidak ada masa depan untuknya dan Winona.
"Ayah, Ibu, dengarkan aku dulu! Ini benar-benar cuma salah paham. Winona ini cuma temanku. Kami benar-benar nggak …"
Namun, Winona jelas tidak akan membiarkan kesempatan emas ini berlalu begitu saja. Dia langsung menunjukkan ekspresi menyedihkan, matanya mulai berkaca-kaca, seakan hampir menangis.
"Hugo, kok kamu bilang begitu sih? Apa bagimu aku cuma teman biasa? Kamu sendiri sudah janji akan tanggung jawab sama aku …"
‘Kapan aku bilang begitu?'
Mendengar kata-kata itu, wajah Harsa dan Driana langsung berubah drastis.
"Omong kosong!" Hugo membentak dengan nada tegas.
Bentakan itu membuat Hugo hampir jatuh dari sofa.
"Apa yang sebenarnya sudah kamu lakukan ke gadis ini?"
"Paman! Jangan … jangan salahkan Hugo. Aku … aku semalam … melakukannya dengan suka rela …"
Hugo hampir menangis. Rasanya seper nasib sial tujuh turunan menimpanya sekaligus. Winona adalah wujud kutukan paling parah.
"Nak, jangan takut." Driana duduk di samping Winona dan menenangkan. "Ceritakan ke Bibi, apa Hugo sudah berbuat jahat sama kamu?"
Winona terisak pelan, tetapi tangannya tetap memeluk lengan Hugo.
"Bibi … Hugo nggak jahat ke aku. Kami tidur seranjang atas dasar suka sama suka."
Ya ampun!
Hugo merasa ingin bertepuk tangan, meski hanya dalam pikirannya. Ini permainan manipulasi tingkat tinggi.
Namun, masalahnya, bagaimana dia harus menjelaskan situasi ini? Faktanya, semalam mereka memang tidur seranjang.
Kalau Winona dibiarkan terus bicara, jangan-jangan dia akan membahas soal borgol juga!
Orang tuanya terlalu polos untuk menerima penjelasan 'gaya hidup modern' seperti itu.
Akhirnya, Hugo menundukkan kepala dengan lesu. Dengan suara pasrah, dia berkata, "Baiklah, Ayah, Ibu … aku akan tanggung jawab."