Bab 10
"Sekarang waktunya santai."
Winona membalas dengan acuh tak acuh.
"Jadi, kamu sebenarnya cuma mau numpang makan saja?"
Awalnya Hugo hanya bercanda, tetapi Winona menoleh sambil mengunyah keripik kentang, memandangnya serius, dan mengangguk kuat-kuat.
Sudahlah, Hugo sudah tidak bisa berkata-kata.
"Aku mau mandi dulu."
Hugo bangkit dan pergi menuju kamar mandi, tetapi Winona malah ikut-ikutan berjalan di belakangnya. Bahkan mulai membuka pakaian.
"Kamu mau apa?"
Hugo langsung berbalik, wajahnya merona.
Sementara Winona hanya menatapnya polos, kulit putihnya bersinar dengan lembut di bawah cahaya lampu. "Bukannya sudah sepakat? Pengawasan 24 jam tanpa celah. Kamu mandi, aku juga harus ikut."
"Ini … ini! Nggak sopan banget! Paling nggak waktu mandi berikan ruang pribadi! Tadi pagi aku mandi sendiri, 'kan?"
Winona memiringkan kepala, berpikir sebentar, lalu mengangguk enggan. "Baiklah, Cuma waktu mandi. Di luar itu, nggak ada kompromi."
Hugo menghela napas lega, cepat-cepat masuk ke kamar mandi sebelum Winona berubah pikiran.
Tak lama kemudian, suara air mulai mengalir.
Sementara itu, Winona meringkuk di sofa, sudut bibirnya terangkat membentuk senyum tipis.
Tentu saja dia ingat Hugo sudah mandi sendiri pagi tadi.
Dia hanya sengaja menggoda pemuda itu.
Anak ini cukup lucu ketika malu.
Ketika tiba saat tidur, aturan tetap sama, satu selimut besar, berbagi tempat tidur, dan tangan Hugo terborgol. Meskipun Hugo protes, hasilnya tetap nihil.
"Selamat malam."
Wiona segera memejamkan mata setelah mengucapkan selamat malam kepada Hugo. Dalam hitungan detik, napasnya mulai teratur.
Benar-benar tepat waktu, tidak lebih dan tidak kurang.
Hugo pun mencoba memejamkan mata dan tidur.
Namun, entah kenapa tubuhnya terasa aneh. Rasanya seperti baru mengisi daya lima menit, tetapi tenaganya penuh selama 24 jam.
Hugo duduk perlahan, tetapi segera menyadari bahwa Winona tidak ada di sampingnya.
Dia memandang sekeliling, tetapi tidak menemukan gadis itu.
"Katanya pengawasan 24 jam?"
Hugo terkekeh kecil. Awalnya ia berpikir Winona pergi ke toilet, tapi setelah menunggu lebih dari sepuluh menit, gadis itu tidak juga kembali.
Hugo akhirnya turun dari tempat tidur, bersyukur karena malam ini borgol tidak terpasang di kepala ranjang.
Dia mengenakan jaket, keluar dari kamar, dan memeriksa toilet. Kosong.
Hugo beralih mendekati balkon dengan tenang, dia melihat ada siluet indah di sana.
Di bawah sinar bulan yang jatuh lembut, tubuh Winona tampak seperti dilapisi kilauan perak.
Gadis itu masih mengenakan gaun tidur berenda berwarna putih, terlihat seperti sosok dari mimpi indah.
Kain tipis gaunnya melayang tertiup angin malam, menampilkan lekuk tubuhnya yang sempurna.
Renda di bahu yang sedikit tersingkap menambah daya pikatnya.
Rambut hitam panjangnya tergerai, kontras dengan gaunnya, membuat kulitnya yang putih bersinar makin menonjol.
Winona berdiri dengan tangan bersandar pada pagar balkon, menengadah menatap langit malam.
Hugo menemukan, matanya yang indah memantulkan sinar bulan. Namun, dalam kilau itu tersirat secercah kesedihan.
Hugo terpesona, sampai tak sadar dia berdiri mematung terlalu lama. Tiba-tiba, Winona menoleh, memandangnya dengan tatapan dingin.
"Kalau lain kali kamu mencoba mendekat diam-diam seperti ini, aku akan membunuhmu."
Hugo tergagap, wajahnya tersipu, sambil menggaruk kepalanya, dia menjawab, "Nggak … aku cuma khawatir kamu nggak balik-balik …"
Huh.
Winona tertawa kecil, dan ekspresi dinginnya langsung mencair.
"Aku cuma bercanda."
Hugo sedikit tergelitik oleh senyuman itu.
Seolah lepas kendali, kakinya tanpa sadar melangkah menuju balkon dan berhenti di samping Winona.
"Nggak bisa tidur?"
Hugo bertanya dengan senyum malu-malu.
"Hm."
"Apa yang kamu pikirkan?"
"Ibu sama ayahmu orang baik, Hugo."
Ucapan Winona yang tiba-tiba membuat Hugo terdiam sejenak. Dia kemudian tersenyum canggung sambil berkata, "Ibu itu orangnya baik hati. Kalau Ayah, meskipun kelihatan dingin, sebenarnya dia hanya nggak pandai menunjukkan perasaannya. Mungkin sifat itu aku warisi darinya ..."
"Hugo."
Winona memotong ucapan Hugo. Dia menoleh, menatap Hugo dengan sorot mata serius, dan berkata perlahan.
"Kalau kamu terinfeksi, aku akan membunuhmu."
Hugo tak langsung menjawab.
"Kalau aku berubah jadi monster pemakan manusia seperti Andora, membunuhku memang tindakan yang benar."
"Tapi …"
Mata Winona tampak sedikit bergetar.
"Kalau aku membunuhmu, orangtuamu pasti akan sangat sedih."
Hugo tidak menyangka Winona akan berkata seperti itu. Dia selalu mengira gadis ini berhati dingin, semua yang dia tunjukkan hanyalah topeng. Namun, sekarang …
Tampaknya, Winona lebih rapuh dari yang dia bayangkan.
"Jadi, aku akan berusaha keras agar nggak berubah jadi seorang yang terinfeksi. Aku akan menjadi seperti yang kamu bilang ... apa itu, ah, seorang yang bangkit."
Winona tertawa kecil mendengar ucapan Hugo. "Kamu benar-benar bodoh. Itu bukan sesuatu yang bisa kamu ubah hanya dengan niat saja."
Setelah berkata demikian, Winona bersandar di tepi jendela, menatap ke luar. Keheningan menyelimuti mereka untuk beberapa saat, hingga akhirnya Winona sendiri yang memecah suasana.
"Aku nggak bohong soal apa yang aku ceritakan tadi."
"Hm? Apa?"
"Orangtuaku memang meninggal saat Gelombang Binatang Buas. Guruku yang merawatku setelah itu. Dia adalah segalanya bagiku, dan ya, dia memang buruh biasa."
Begitu rupanya.
Tampaknya Winona sangat peduli pada hal ini. Dia tampaknya tidak ingin Hugo anggap sebagai seseorang yang sengaja meraih simpati.
"Gurumu pasti sayang sekali sama kamu."
Hugo berkata sambil tersenyum.
Winona mengangguk dengan penuh semangat. "Guruku adalah orang terbaik di dunia ini."
Itu sebabnya dia menjadi seperti matahari kecil di kampus.
Setidaknya, kini Hugo mulai mengerti sesuatu sekarang.
Winona di kampus, Winona di hadapannya, dan Winona saat menjalankan tugas, semua itu bukan hanya sekadar akting.
Itu semua adalah Winona yang sebenarnya.
"Kalau dibandingkan dengan gurumu, siapa yang lebih kuat?"
Hugo bertanya spontan.
"Guruku adalah seorang senior yang bangkit, dia senior dalam organisasi. Sedangkan aku? Aku ini cuma setengah-setengah. Jujur saja, aku takut melawan monster. Kalau menghadapi yang terinfeksi sih masih bisa, tapi kalau melawan monster …"
Hugo paham. Orang tua Winona meninggal di tangan monster. Itu pasti meninggalkan luka mendalam di hati gadis itu, dan seseorang tidak bisa begitu saja menghapus bayangan kelam dari masa lalunya.
"Sepertinya aku memang nggak cocok untuk bertarung …"
Mendengar kata-kata Winona, Hugo meregangkan tubuhnya lalu dengan santai mendekatkan diri pada gadis itu.
"Tapi kamu tetap memilih untuk bertarung, menghadapi sesuatu yang bukan keahlianmu. Menurutku, itu sudah sangat luar biasa."
Winona menoleh sedikit, menatap Hugo, lalu tersenyum tipis dengan sorot mata penuh rasa bersalah.
"Hugo, apa aku salah hari ini? Aku tahu hubungan kita bukan seperti yang aku katakan di depan orang tuamu, tapi aku sengaja melakukannya. Maaf, kalau kamu mau, setelah masa pengawasan ini selesai, aku akan menjelaskan semuanya pada mereka."
Ucapannya membuat hati Hugo terasa sedikit hampa. Seminggu akan berlalu dengan cepat.
"Hugo, aku benar-benar menyukai orang tuamu ... aku tahu kedengarannya aneh, tapi saat bersama ibumu, aku merasa teringat pada …"
Winona menghentikan kalimatnya, suaranya mulai bergetar.
Hugo mengangkat tangannya, dengan lembut menghapus air mata di pipi gadis itu, lalu berkata setengah bercanda.
"Kalau kamu nggak keberatan, pengawasan seperti ini bisa terus berlanjut, kok."
"Apa kamu bilang?"
Mata Winona membelalak, terlihat jelas keterkejutannya. Kali ini bukan akting, melainkan perasaan tulus yang terpancar dari dirinya.
"Bukannya ini cuma soal menambah satu pasang sendok dan garpu di meja makan?"
Hugo berkata sambil menggaruk kepalanya, menampilkan senyum cerah.
Winona menggigit bibirnya pelan.
Tepat ketika dia hendak mengatakan sesuatu, pupil matanya tiba-tiba memancarkan sinar merah darah.
Kemudian, terdengar teriakan pendek dari gang di lantai bawah.
Hugo juga mendengar suara itu. Saat dia ingin mengintip ke bawah untuk melihat apa yang terjadi, Winona sudah lebih dulu berbalik dan berlari keluar rumah.
Hugo tahu pasti ada sesuatu yang tidak beres.
Setelah ragu beberapa saat apakah harus mengejar atau tidak, akhirnya dia memutuskan untuk mengikuti Winona keluar.
Dalam sunyi malam yang pekat, terdengar jeritan melengking dari sebuah gang gelap.
Lalu, suara seret yang mengerikan disusul dengan bunyi seperti seseorang sedang mengunyah daging.
Winona dan Hugo tiba di tempat kejadian, dan pemandangan yang mereka lihat membuat napas mereka tercekat.
Seorang wanita mengenakan mantel putih sedang diseret ke dalam bayangan gelap di ujung gang oleh sesosok monster.
Jejak darah berceceran di sepanjang jalan, meresap ke dalam kain mantel yang dikenakan wanita itu.
Dia sudah sekarat, benar-benar kehilangan kekuatan untuk melawan.
Dengan bantuan sinar bulan yang redup, keduanya akhirnya melihat wujud monster itu dengan jelas.
Makhluk itu memiliki tubuh bagian bawah seperti manusia, tetapi tubuh bagian atasnya menyerupai seekor kelabang, penuh dengan segmen yang menjijikkan. Kepala makhluk itu menampilkan wajah manusia yang terdistorsi, sementara tubuhnya yang mengerikan sedang melahap tubuh wanita itu dengan lahap.
Wanita itu tergeletak di tanah, otot-otot wajahnya masih berkedut dan gemetar.
Monster itu tampaknya sengaja tidak langsung membunuh korbannya. Sambil menikmati darah dan daging wanita tersebut, makhluk itu dengan kejam menepuk-nepuk kepala wanita itu.
Memaksanya mengeluarkan rintihan lemah.
Masih hidup tetapi menyaksikan dirinya perlahan dimakan hidup-hidup, itu adalah penderitaan dan keputusasaan yang tak tertandingi di dunia ini.