Bab 11
Hugo menelan ludah dan merasa mual.
Dia mungkin akan mendapat perlakuan yang sama seperti Andora bila tidak ada Winona semalam.
Hugo menoleh ke samping dengan gemetar dan bertanya pada Winona, "Apakah dia ... apakah dia masih bisa diselamatkan?"
Pertanyaan ini tentu saja pertanyaan bodoh.
Winona menggelengkan kepala dengan ekspresi datar, "Kecuali kalau kondisi fisiknya nggak biasa, seperti kondisi fisikmu."
Kemudian, dia mengangkat tangannya untuk mengundang sebilah sabit hitam pekat. Cahaya dingin sabit itu memenuhi udara.
Pada saat yang sama, monster yang telah merasakan kehadiran mereka, mengempaskan sisa-sisa jasad wanita itu, lalu meraung kencang memekakkan telinga dan menghambur ke arah mereka.
"Mundur ke belakangku, Hugo. Itu adalah orang yang terinfeksi, dengan kode nama Serangga Tangan Seratus."
Winona ingin menekan tangannya ke telinga, tetapi tersadar bahwa dia tidak membawa perangkat jemala. Dia pun hanya mengenakan gaun tidur.
"Kode nama Dewa Kematian, mulai berburu."
Setelah selesai berbicara, tubuhnya melesat maju secepat kilat. Dalam sekejap mata, tak ada jarak di antara dirinya dan monster itu.
Sabit hitam pekat itu dengan anggun membelah malam.
Cahaya dingin melintas, salah satu kaki depan monster itu putus. Monster itu roboh ke tanah diiringi suara keras.
Darah merah pekat menyembur dari lukanya, memercik ke pipi Winona.
Dia mengembuskan napas dengan pelan. Seberkas uap putih keluar dari bibirnya yang berwarna merah muda.
Detik berikutnya, sabit hitamnya berkilau lagi. Sabit itu dengan cepat membelah tulang belakang monster itu menjadi dua bagian.
Monster itu mengeluarkan jeritan pilu dan roboh dengan keras.
Winona menarik sabit itu dengan cekatan, lalu mengibaskan noda darah pada bilahnya.
Pertarungan berlangsung dengan cepat. Dia tidak menunjukkan tanda-tanda kelelahan sedikit pun. Napasnya tetap tenang dan tidak tersengal-sengal.
Hugo tercengang, semalam Winona memintanya untuk menutup mata sehingga dia tidak melihat gaya bertarung gadis muda itu. Kini dia makin takjub setelah menyaksikan pertarungan itu dari dekat.
Winona berjalan ke sisi wanita itu dan berjongkok. Kemudian, dia menggenggam kedua tangan wanita tersebut dengan lembut di dadanya.
"Semoga jiwamu beristirahat dengan tenang, dan tidak menderita lagi di kehidupan selanjutnya."
Wanita itu berkedip tanpa bisa mengucapkan sepatah kata pun. Lalu, cahaya dingin berkilau, sabit itu menebas leher sang wanita dan mengantarkannya ke perjalanan terakhirnya.
Kemudian Winona melangkah perlahan ke arah Hugo. Dia berkata dengan datar, "Aku akan memanggil tim logistik organisasi untuk membereskan ini. Kita sekarang..."
Belum selesai berbicara, tiba-tiba Winona merasakan sesuatu.
Aura yang sangat tidak asing baginya.
Hugo pun melihat munculnya celah dimensi di belakang Winona yang perlahan-lahan merobek udara.
"Awas!"
Hugo berteriak sambil berlari ke arah Winona.
Gadis itu menoleh perlahan, dan matanya beradu dengan mata monster yang menyembul keluar dari celah dimensi itu.
Matanya langsung menyipit.
Wajah monster itu langsung berubah menjadi menakutkan. Senyumnya menyeramkan, gigi tajamnya berkilau mengerikan di bawah sinar bulan.
Tiba-tiba, monster itu membuka mulutnya lebar-lebar dan menggigit kepala Winona.
Di saat genting itu, Winona segera tersadar dan refleks mengangkat sabit yang ada di tangannya.
Namun, sudah terlambat, dia hanya sempat menangkis. Monster itu menggigit bilah sabitnya.
Dua kekuatan pun membeku sesaat di udara. Kemudian, monster itu menggoyang-goyangkan kepala secara tiba-tiba dan membuat Winona beserta sabitnya jatuh menghantam dinding bata di belakangnya dengan keras
Brak!
Suara benturan keras bercampur dengan jeritan pendek gadis itu.
Winona merasakan kekuatan besar menyerbunya. Organ-organ dalam tubuhnya seolah-olah bergeser dalam sekejab. Rasa manis dan amis tiba-tiba memenuhi mulutnya.
Dia meluncur ke bawah dinding tanpa daya, dan duduk terkulai di atas tanah kotor. Dia berusaha keras untuk menopang dirinya agar tidak jatuh.
Winona tersentak kesakitan. Darah mengalir di dahinya dan penglihatannya menjadi kabur karena rasa sakit yang luar biasa.
Sabit di tangan sudah terlepas dari genggaman tangannya dan terlempar. Sabit itu jatuh ke tanah, tidak jauh dari situ.
Winona menolehkan kepalanya dengan lemah ke arah Hugo. Dia ingin melihat Hugo, tetapi dia mendapati penglihatannya sangat kabur. Dia pun sudah tidak bisa melihat di mana lelaki itu berada.
Dia hanya bisa berteriak sekuat tenaga, "...Hugo, cepat... lari..."
Monster bertubuh besar dan wajah yang menyeramkan perlahan-lahan muncul dari Celah Dimensi. Setiap inci tubuhnya menebar ancaman dan aura jahat.
Winona berusaha keras untuk duduk, tetapi kakinya terasa lunglai.
Bukan lukanya yang membuatnya patah semangat, melainkan rasa takutnya.
"Ini... ini bukan orang yang terinfeksi..."
Suaranya terdengar bergetar, dipenuhi rasa takut yang luar biasa.
Dia baru menyadari bahwa monster di depannya ini bukanlah orang yang terinfeksi tingkat rendah yang biasa dia buru, melainkan benar-benar ...
Binatang buas.
Monster binatang buas ini jelas cukup cerdas.
Setelah keluar dari celah, ia tidak segera melancarkan pembunuhan, melainkan membiarkan auranya membungkus seluruh penjuru lorong itu.
Ia menciptakan lingkungan berburu yang benar-benar menguntungkan.
Setelah melakukan semua hal itu, ia mendekati Winona perlah-lahan. Sambil mendekat, mulutnya mengunyah mayat orang yang terinfeksi yang dibunuh Winona. Matanya memancarkan cahaya kejam dan haus darah.
Winona berusaha bergerak mundur dengan gemetar.
Namun, dia merasakan seolah-olah sekujur tubuhnya berteriak kesakitan, dan bisa hancur kapan saja.
Tak disangka, setelah sekian lama dirinya masih saja merasa sangat lemah ketika berhadapan dengan monster itu.
Monster itu mendekat dan membuka mulutnya yang penuh dengan gigi tajam dan tetesan darah. Ia bersiap untuk melancarkan serangan mematikan kepada Winona.
Pada saat-saat genting itu, sebongkah batu melayang dan menghantam kepala monster itu.
Monster itu meraung murka dan langsung menengok ke arah batu yang melayang itu.
"Cepat lari!"
Terdengarlah suara teriakan Hugo dari arah samping, "Aku akan menahannya, cepat lari!"
Hugo melemparkan sebongkah batu lagi ke arah monster itu.
Monster itu benar-benar marah kali ini. Cahaya matanya tampak beringas. Ia meninggalkan Winona yang tidak berdaya di depannya, dan berbalik menyerang Hugo.
Winona mau tak mau merasa cemas melihat binatang buas itu mendekati Hugo.
Gadis itu menggigit bibirnya, berusaha keras menekan ketakutannya. Dia bergerak dengan gemetar dan mengulurkan tangan untuk menggapai sabit yang terjatuh di tanah sambil membisikkan kata-kata penyemangat untuk dirinya sendiri.
"Aku, aku bisa, aku nggak sama seperti dulu... aku bisa..."
Namun, tangannya gemetar ketika memegang sabit, sehingga dia tidak bisa mengangkat sabit itu dengan benar.
Perasaan sangat putus asa dan marah memenuhi hati Winona.
Kenangan datang menghantamnya seperti gelombang. Kenangan akan orang tua yang dibunuh oleh binatang buas, teriakan orang-orang yang melarikan diri, api yang menjulang tinggi dan bau amis yang membuat mual.
Namun, pekik memilukan membuat Winona tersadar, dan langsung menoleh.
Dia melihat Hugo telah ditangkap oleh monster. Tangannya dicengekram.
Monster itu sepertinya sangat suka menyiksa mangsanya. Saat menangkap Hugo, ia juga tidak langsung menggigit kepala pemuda itu.
Sebaliknya, ia mengoyak lengan Hugo dengan cakarnya yang tajam secara perlahan-lahan.
Darah mengalir deras, memercik di udara.
Winona merasakan cairan hangat yang amis menciprat ke wajahnya. Matanya menyipit dan tatapannya menjadi kosong.
Rasa sakit hampir membuat Hugo kehilangan kesadaran.
Pada saat itu.
Gelombang amarah yang sulit dijelaskan mulai bergolak di dalam hatinya.